Senin, 30 Desember 2013

teologi tentang sifat-sifat Tuhan


BAB 1
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
            Perlu diketahui bahwa dalam teologi Islam banyak pendapat mengenai sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat Allah itu adalah sesuatu yang ada pada diri Allah SWT. Dan dalam teologi Islam banyak argument yang berbeda dalam memaknai tentang sifat-sifat Allah tersebut.
Maka dari itu pemakalah akan menjelaskan tentang sifat-sifat Tuhan yang  berlainan itu menurut akiran-aliran teologi kepada umat islam, dan juga untuk memberi pandangan lain terhadap Islam bagi yang biasanya mengetahui sifat-siafat hanya dari sudut pandang hukum dan fiqih.
Pada makalah ini pemakalah akan menjelaskan secara rinci tentang sifat-sifat Allah, melalui berbagai macam buku-buku tentang aliran-aliran teologi yang memberikan argument melalui kekuatan akal yang berdasarakan wahyu dan hadis.


B.     RUMUSAN MASALAH
            Bertitik tolak dari uraian permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah:
  1. Bagaimana perbandingan pemikiran aliran-aliran teologi tentang sifat-sifat Tuhan?
  2. Bagaimana perkembangan pemikiran aliran-aliran teologi tentang sifat-sifat-sifat Tuhan ?
  3. Bagaimana kekuatan dan kelemahan pemikiran aliran-aliran teologi tentang sifat-sifat Tuhan?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perbandingan Pemikiran Para Teologis Tentang Sifat Tuhan Secara Umum
Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan berkuasa dan sebagainya tetapi bukanlah sifat dalam arti yang sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui” kata Abu al-Huzail[1], ialah Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri[2] yaitu Zat atau esensi Tuhan. Kata al-Jubba’i[3] ialah untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat pada satu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui[4]. Menurut Abu Hasyim[5] bahwa Tuhan mempunyai keadaan mengetahui. Tetapi sungguhpun            terdapat perbedaan paham antara pemuka-pemuka Mu’tazilah tersebut, mereka sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Menurut para pengikut Abbad ibn Sulaiman[6] yang berasal dari kelompok Abbadiyyah beranggapan bahwa, tidak boleh nenyatakan pada Allah itu terdapat atau tidak terdapat pengetahuan, terdapat atau tidak terdapat kekuasaan, terdapat atau tidak terdapat pendengaran dan terdapat atau tidak terdapat penglihatan, dan begitupun dengan sifat-Nya yang lain.[7]
Menurut Mu’tazilah Tuhan adalah Esa, bersih dari hal-hal yang menjadikan tidak Esa. Mereka mengesakan Tuhan dengan mengosongkan Tuhan dari berbagai sifat-sifat.[8]
Kaum Asy’ariah mengatakan bahawa Tuhan mempunyai sifat yang tidak dapat diingkari karena perbuatan-perbuatannya, disamping menyatakan bahwa Tuhan mengatahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya[9]. Dan menurut al-Baghdadi[10], terdapat konsensus di kalangan kaum Asy’ariah bahwa daya pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini kata al-Gazali[11], tidaklah sama dengan, malahan lain dari esensi Tuhan, tetapi terwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum Asy’ariah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena sifat-sifat tidak lain dari Tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa kepada paham banyak kekal.
Zat Tuhan itu adalah pengetahuan-Nya, dan demikian Tuhan sendiri menjadi pengetahuan, padahal Tuhan itu bukanlah pengetahuan, tetapi yang Maha mengetahui. Tuhan mengetahui dengan pengetahun, dan pengetahuan-Nya itu bukanlah Zat-Nya, semua ini sejalan dengan keterangan ayat-ayat Al-qur’an yang umumnya dipahami oleh para mufassir.[12]
Menurut Ahlussunnah Waljama’ah sifat-sifat yang dimiliki Tuhan tidak ada yang menyamai-Nya. Mensifati Tuhan dengan sifat kesempurnaan tidak akan mengurangi ke-Esaannya.[13]
Ahli Sunnah Waljama’ah menetepkan aqidah mereka tentang sifat-sifat Allah adalah: itsbat bilaa takyif[14](membenarkan tanpa mempersoalkan bentuknya) dan mensucikan tanpa menginkarinya. Dan Allah itu tidak pantas untuk divisualisasikan dan disamakan dengan makhluknya.[15]
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak yang mempunyai batas-batas tertentu, dapat menerima paham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.
Kaum Maturudiah golongan Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat banyak yang kekal. Mereka menyelesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan bukan melalui kekalan sifat-sifat itu sendiri dan Tuhan bersama sifat-Nya yang kekal, tapi sifat itu sendiri tidak kekal[16].
Al-Maturidiyah beserta para pengikutnya sungguh telah mempersempit kawasan pengukuhan terhadap sifat Allah dan hanya menyatakan delapan sifat saja yaitu: Hayat, Qudrot, Ilmu, Irodat, Sam’, Bashor, Kalam dan takwin.[17]
Golongan samarkand dalam hal ini kelihatnnya tidak sepaham dengan Mu’tazilah karena al-Maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tatapi pula tidak lain dari Tuhan.
Para pengikut aliran murji’ah berbeda anggapan tentang nama-nama dan sifat Allah dan sebagainya mempunyai anggapan yang bersesuaian dengan aliran Mu’tazilah, sementara sebagian lainnya bersesuaian dengan anggapan Abdullah ibn Muhammad ibn Kullab.[18]
Menurut aliran Kulabiyyah  bahwa Allah itu senantiasa bersifat Maha tahu, Maha Kuasa, Maha Hiidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mulia, Maha Agung, Maha Tinggi, Maha Besar, Maha Pemurah, Maha Pemurah, Maha Indah, Maha Esa, Maha Kekal, Maha Tersendiri, Maha Awal, Maha pemelihara, Maha Berkehendak, dan Maha Pembenci.[19]

B.     Perbandingan Pemikiran Para Ahli Teologis Tentang  Melihat Tuhan
Secara logika Tuhan bersifat immateri yang tak dapat dilihat dengan mata kepala. Dan inilah pendapat kaum Mu’tazilah.Sebagian argumen, Abd al-Jabbar[20], mengatakan bahwa Tuhan tidak mengambil tempat dan dengan demikian tidak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat[21]. Dan juga kalau Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala , Tuhan akan dapat dilihat saat ini juga di alam ini[22], tetapi kenyatannya tidak ada yang bisa melihat saat ini.
para pengikut  aliran Mu,tazilah bersepakat bahwa, Allah tidak dapat dilihat dengan penglihatan. Sekalipun begitu mereka berbeda beranggapan , apakah Allah dapat dilihat dengan hati sanubari? Abu al- Hudzail dan sebagian pengikut aliran Mu’tazilah berkata, ’’kami melihat Allah dengan hati sanubari , yang berarti dengan hati sanubari itulah kami mengetahui-Nya.’’ Sementara Hisyam al-Fuwathi dan Abbad ibn Sulaiman mengingkari hal ini.[23] 
Namun kaum Asy’ariah berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat karena Allah mempunyai wujud.[24] Paham ini sejajar dengan pendapat mereka bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum atau anthropomorphis[25], sungguhpun sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat jasmani manusia yang ada dalam alam ini. Tuhan bersifat mutlak yang dapat mengadakan apa saja. Sebaliknya akal manusia lemah dan selamanya tak sanggup memahami perbuatan dan ciptaan Tuhan. Apa saja, sungguhpun itu bertentangan dengan pendapat akal manusia, dapat dibuat dan diciptakan. Melihat Tuhan yang bersifat immateri dengan mata kepala, dengan demikian, tidaklah mustahil manusia akan dapat melihat Tuhan.[26]
Argumen yang dimajukan al-Asy’ari untuk memperkuat pendapat di atas adalah yang tak dapat dilihat hanyalah yang tak mempunyai wujud.Yang mempunyai wujud mesti dapat dilihat.Tuhan berwujud oleh karena itu dapat dilihat Seterusnya menurut al-Asy’ari, Tuhan melihat apa yang ada dan dengan demikian melihat dairi-Nya juga. Kalau Tuhan melihat diri-Nya. Dia akan buat manusia bisa melihat Tuhan[27].
Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang melihat Allah (ru’yah)[28], yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:
  1. Kelompok pertama ini, yang cenderung bersesuaian dengan anggapan-anggapan aliran Mu’tazilah, beranggapan: menafikkan anggapan bahwa Allah itu niscaya dapat dilihat dengan penglihatan mata.
  2. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa Allah itu niscaya dapat dlihat dengan penglihatan mata, da akhirat kelak.[29]
 Al-Baghdadi[30] berargumen lain  bahwa manusia dapat melihat accidents (al-a’ard)[31] karena manusia dapat membedakan antara putih dan hitam dan antara bersatu dan bercerai.Maut juga dapat dilihat yaitu dengan melihat orang mati. Kalau a’rad dapat dilihat maka Tuhan juga dapat dilihat[32].
Kaum Maturudiah dengan kedua golonganya  sepaham dalam hal ini dengan kaum Asy’ariah. Al-Maturidi juga berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat karena mempunyai wujud Menurut al-Bazdawi Tuhan dapat dilihat sungguhpun tidak mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat dan tidak terbatas[33].
Baik kaum Mu’tazilah apalagi kaum Asy’ariah tidak hanya memakai dalil akal,tetapi juga dalil-dalil dari Al-qur’an untuk memprtahankan pendirian masing-masing.
 Dalil Al-qur’an yang dibawa kaum Asy’ariah terdapat dalam Q.S. Al-Qiamah [75]: 22-23, yang berbunyi:
 ×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ                                                                                                  
Artinya:
“Wajah-wajah yang pada ketika itu berseri-seri memandang kepada Tuhan-Nya”[34].
            
Menurut al-Asy’ariah kata nazirah dalam ayat ini tak bisa berarti memikirkan, karena akhirat bukanlah tempat berpikir. Juga tak bisa berarti menunggu. Karena wujuh yaitu muka atau wajah tidak dapat menunggu, yang menunggu ialah manusia. Oleh karena itu kata nazirah mesti berarti melihat dengan mata[35].
Uraian di atas ditolak oleh kaum Mu’tazilah dengan mengatakan nazar tak berarti ru’yah karena orang arab berkata:
                        
  (Aku memandang ke bulan tetapi tak melihatnya)[36],

 dan ini tak bisa berarti:
               
   (aku melihat bulan dan tak melihatnya)[37].

Bagi kaum Mu’tazilah nazara di sini berarti memandang atau menanti-nanti. Kaum Asy’ariah juga mengemukakan ayat yang terdapat dalam Q.S. Al-A’araf [7]: 143, yang berbunyi:
$£Js9ur uä!%y` 4ÓyqãB $uZÏF»s)ŠÏJÏ9 ¼çmyJ¯=x.ur ¼çmš/u tA$s% Éb>u þÎTÍr& öÝàRr& šøs9Î) 4 tA$s% `s9 ÓÍ_1ts? Ç`Å3»s9ur öÝàR$# n<Î) È@t6yfø9$# ÈbÎ*sù §s)tGó$# ¼çmtR$x6tB t$öq|¡sù ÓÍ_1ts? 4 $£Jn=sù 4©?pgrB ¼çmš/u È@t7yfù=Ï9 ¼ã&s#yèy_ $y2yŠ §yzur 4ÓyqãB $Z)Ïè|¹ 4 !$£Jn=sù s-$sùr& tA$s% šoY»ysö6ß àMö6è? šøs9Î) O$tRr&ur ãA¨rr& tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÊÍÌÈ
Artinya:
“Tuhanku, lihatkan diri-Mu padaku” Sabda Tuhan:”Engkau tak dapat melihat diri-Ku,tetapi lihatlah ke gunung itu .Jika ia tetap tinggal di tempatnya, niscaya engkau akan melihat diri-Ku”.ketika Tuhan-Nya nampak bagi gunung itu, ia pun hancur dan Musa jatuh pingsan”.[38]

Di sini Nabi Musa[39] meminta supaya Tuhan memperlihatkan diri-Nya.Kalau Tuhan tak dapat dilihat ,demikian kata Asy’ariah, Nabi Musa tak akan  meminta supaya Tuhan memperlihatkan diri-Nya. Seterusnya ayat itu mengatakan bahwa Nabi Musa akan melihat Tuhan, kalau bukit  Sinai tetap pada tempatnya.Membuat bukit Sinai tetap di tempatnya termasuk dalam kekuasan Tuhan oleh karena itu Tuhan bisa dilihat[40].
Uraian kaum Asy’ariah  ini ditolak oleh kaum Mu’tazilah dengan alasan-    alasan berikut:
  1. Permintaan melihat Tuhan sebenarnya bukan datang dari Nabi Musa tetapi dari para pengikutnya yang belum juga mau percaya.
  2. Permintaan itu dimajukan Nabi Musa adalah untuk mematahkan ketengkaran dan kekerasan kepala mereka[41].
Tuhan dalam ayat ini telah menegaskan lan tarani, yaitu’’sekali-kali engkau tak akan dapat meihat Saya”.Dengan kata lain Tuhan tidak akan dapat dilihat.
Yang dimaksud dengan istaqarra makanah, yaitu tetap di tempatnya, ialah tidak bergerak sewaktu bukit itu digoncang Tuhan.Dengan kata lain Nabi Musa akan dapat melihat Tuhan, kalau bukit Sinai sewaktu digoncang Tuhan tetap diam dan tak bergerak. Diam dan gerak adalah dua hal yang bertentangan dan tak dapat berkumpul pada satu masa di satu tempat. Dan bukit Sinai memang goncang dan bergerak karena pukulan  tang ditimbulkan manisfetasi kekuasaan Tuhan pada gunung itu.Dengan demikian ayat di atas menurut kaum Mu’tazilah, sebenarnya menjelaskan bahwa Tuhan tak dapat dilihat[42]. Kaum Mu’tazilah juga membawa dalil-dalil Al-qur’an yaitu:

žw çmà2Íôè? ㍻|Áö/F{$# uqèdur à8Íôムt»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#Ïܯ=9$# 玍Î6sƒø:$# ÇÊÉÌÈ         
Artinya:
             ‘‘Penglihatan tak dapat menagkap-Nya, tetapi Ia dapat menangkap    penglihatan.Ia adalah Mahahalus dan Mahatahu.[43]
           
Ahli Sunnah Waljama’ah meyakini bahwa allah tidak bisa dilihat oleh
siapapun di dalam kehidupan dunia.[44]
            Namun mereka sepakat bahwa orang mukmin dapat melihat Allah di surga
dengan kedua mata mereka.

C.    Perbandingan Pemikiran Ahli Teologi Tentag Sabda Tuhan.
Dalam teologi sabda Tuhan adalah sifat, mesti kekal tetapi sebaliknya sabda adalah tersusun oleh karena itu mesti diciptakan dan tak bisa kekal. Namun kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa sabda bukanlah sifat Tuhan tapi perbuatan Tuhan. Namun menurut mereka Al-qur’an tidak bersifat kekal tapi bersifat baharu yang  beberapa ayat  dan surat, ayat yang satu mendahului yang lain dan surat yang satu mendahului yang lain pula. Adanya pada sesuatu sifat tedahulu dan sifat datang kemudian,membuat sesuatu itu tidak bisa bersifat qadim[45] yaitu tak bermula karena yang tak bermula tak didahului oleh apapun. Kalau yang di atas adalah berupa argumen akal, maka yang di bawah ini merupakan dalil Al-qur’an yaitu:
                                                                                                                                    !9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»tƒ#uä §NèO ôMn=Å_Áèù .
Artinya:      
Kitab yang ayat-ayatnya dibuat sempurna dan kemudian terperinci.[46]

Menurut ayat ini,ayat-ayat Al-qur’an dibuat sempurna dan kemudian dibagi-bagi. Jelasnya demikian kaum Mu’tazilah ,Al-qur’an sendiri mengakui bahwa Al-qu’an tersusun dari bagian-bagian, dan yang tersusun tidak bisa bersifat kekal dalam arti qadim.[47]
            Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Kalamullah itu jisim atau bukan? Tentang hal ini kareka terpecah lagi dalam enam kelompok anggapan:
  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa Kalamullah itu jisim, bahkan Kalamullah itu sebenarnya makhluk yang berupa jisim, tetapi bukanlah jisimnya itu berupa sesuatu.
  2. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa kalamullah itu makhluk yang berupa aksiden, yaitu suatu gerakan, sehingga tidak ada suatu aksiden yang lain berupa gerakan.
  3. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa Al-Qur’an itu makhluk Allah yang berupa aksiden, bahkan mereka menolak anggapan Al-Qur’an itu berupa jisim.
  4. Kelompok keempat ini beranggapan bahwa Kalamullah itu aksiden yang juga berupa makhluk, tetapi Kalamullah itu tidaklah berada pada beberapa tempat dalam satu waktu, tidak juga pindah atau lenyap dari satu tempat yang Allah ciptakan baginya, yang mustahil Kalamullah itu berada pada satu tempat lainnya.
  5. Kelompok kelima ini ialah para pengikut mu’amamr, di mana mereka beranggapan bahwa   Kalamullah itu aksiden, yang membuat kehidupan atau menghidupkan dan aksiden yang membuat kematian ataupun mematikan.
  6. Kelompok keenam beranggapan bahwa Kalamullah itu hanya berupa aksiden semata, yang berada pada beberapa tempat dalam satu waktu.[48]
Kaum Asy’ariah berkata bahwa sabda adalah sifat dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal.Untuk mengatasi persoalan bahwa yang tersusun tidak bersifat kekal  mereka memberi defenisi lain tentang sabda yaitu arti atau makna abstrak dan tidak tersusun.Sabda bukanlah apa yang tersusun dari huruf dan suara[49].Sabda yang tersusum disebut sabda hanya dalam arti kiasan. Sabda yang sebenarnya ialah apa yang terletak dibalik yang terususun itu.Sabda yang tersusun dari huruf dan kata-kata bukanlah sabda Tuhan
Sabda dalam arti abstrak inilah yang dapat bersifat kekal dan dapat menjadi sifat Tuhan. Dan yang dimaksud dengan Al-qur’an bukanlah apa         yang tersusun dari huruf-huruf, kata-kata dan surat-surat, tetapi arti dan makna abstrak itu sendiri.Dalam arti huruf, kata, ayat dan surat yang ditulis atau dibaca ,Al-qur’an bersifat baharu  serta diciptakan dan bukanlah sabda Tuhan.
Dalil Al-qur’an yang dibawa kaum Asy’ariah untuk memperkuat pendapat mereka adalah:




ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä br& tPqà)s? âä!$yJ¡¡9$# ÞÚöF{$#ur ¾Ín̍øBr'Î/ ÇËÎÈ
Artinya:
             Diantara tanda-tanda-Nya ialah terjadinya langit dan bumi dan perintah-Nya.[50]

            Dalam ayat ini disebut bahwa langit dan bumi terjadi dengan perintah Allah. Perintah mempunyai wujud dalam bentuk sabda.[51] Dengan demikian perintah Allah adalah sabda Allah. Untuk membuktikan bahwa perintah Allah adalah kekal, kaum Asy’ariah membawa ayat adalah.
Artinya:
             Bukanlah pencipta, dan perintah kepunyaan-Nya.
Dalam ayat ini perintah dan ciptaan dipisahkan dan ini mengandung arti perintah dan bukanlah ciptaan.Dengan kata lain perintah atau sabda Allah bukanlah dijadikan tapi bersifat kekal.
 Dalil lain ialah:                                                                                                     
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sŒÎ) çm»tR÷Šur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù ÇÍÉÈ
Artinya:
“Jika Kami menghendaki sesuatu Kami bersabda:’Terjadilah, maka akan terjadi”.[52]
Menurut ayat ini ciptaan terjadi dengan kata atau sabda Tuhan ’’ kun ’’.Kalau sabda Tuhan tidak bersifat kekal, kata ’’ kun’’ mestilah bersifat baharu.Kata ’’ kun’’ ini tidak akan berwujuud ,kalau tidak didahului kata’ kun’’ yang lain dan kata ’’ kun ’’ ini didahului juga dengan kata kun yang lain pula. Demikianlah seterusnya sehingga terjadi rentetan kata-kata ’’ kun ’’ yang tak mempunyai kesudahan.Dan ini adalah mustahil,oleh karena itu kata ’’ kun’’ atau sabda Tuhan mestilah bersifat kekal[53].
Pendapat kaum Asy’ariah ini ditolak oleh kaum Mu’tazilah, karena menurut mereka keadaan dipisah tidaklah menunjukkan perlainan jenis. Dengan demikian keadaan amr dan khalq[54] dipisahkan tidak mengartikan bahwa amr dan khalq berlainan jenis. Dengan kata lain amr dan khalq adalah sejenis oleh karena tiu Tuhan adalah diciptakan dan tidak kekal. Selanjutnya yang dimaksud dengan kun ialah kata yang tersusun dari huruf-huruf,ia mesti bersifat baharu. Kalau yang dimaksud arti yang dikandungnya tak ada keterangan dalam ayat tersebut bahwa itulah yang dimaksud. Lebih lanjut lagi kun tidak mempunyai efek, karena bila memiliki efek harus menimbulkan efek tersebut baik Tuhan ataupun manusia yang mengucapkannya. Dan umat Islam selalu mengucapkan kun tetapi tidak menghasilkan sesuatu. Jadi bukanlah kun yang menciptakan sesuatu sehingga tak perlu timbul infiniti regress[55]    
         Kaum Maturidiah dengan kedua golongannya sependapat dengan kaum Asy’ariah bahwa sabda Tuhan atau Al-qur’an adalah kekal. Al-qur’an adalah sifat kekal Tuhan, satu, tidak terbagi, tidak bahasa arab, ataupun syriak, tetapi diucapkan manusia dalam ekspresi berlainan.
         Menurut Al-Bazdawi, selanjutnya, apa yang tersusun dan disebut Al-qur’an bukanlah sabda Tuhan, tetapi merupakan tanda dari sabda Tuhan. Ia disebut sabda Tuhan dalam arti kiasan[56].



            Ahli sunnah Waljama’ah menetapkan aqidah mereka tentang Al-qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Al-qur’an berasal dari Allah dan kembali pada-Nya.[57] Kebenaran ini diperkuat oleh sabda Rasulullah saw:
            “bahwa Allah berkata-kata dengan suara memanggil Adam [58].”
            Kalimat inilah yang diyakini oeh salaf umum dan salaf sunnah.

D.    PERBANDINGAN PEMIKIRAN AHLI TEOLOGI TENTANG ANTHR
OPOMORPHISME

            Tuhan bersifat immateri, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Kaum Mu’tazilah yang berpegang pada kekuatan akal menghanut paham ini. Menurut ’Abd al-Jabbar[59] , Tuhan tidak mempunyai badan materi maka dari itu tidak mempunyai sikap jasmani. Ayat-ayat Al-qur’an yang menggambarkan tentang sifat jasmani Tuhan  harus diberi interpretasi lain. Dengan demikian, kata al-’arsy[60], tahta kerajaan, diberi interpretasi kekuasaan, al-ain, mata, diartikan pengetehuan, al-wajh,[61] muka, ialah esensi, dan al-ayd[62], tangan, adalah kekuasaan.
            Kaum Asy’ariah juga tidak menerima anthropomorphisme dalam arti bahwa Tuhan mempunyai sifat jasmani yang sama dengan sifat jasmani manusia. Sungguhpun demikian mereka tetap mengatakan bahwa Tuhan sebagai disebut dalam Al-qur’an, mempunyai mata, muka , tangan, dan sebagainya, tetapi muka, mata, tangan dan sebagainya itu tidak sama yang ada pada manusia. Mereka berpendapat bahwa kata-kata ini tidak boleh diberi interpretasi lain.
            Ahli sunnah Waljamaah menyatakan bahwa Allah menciptakan nabi Adam dengan rupa-Nya, bahwa Allah memeiliki jari-jemari, kaki, dan juga telapak
            Kaum Syi’ah berpandangan bahwa Allah bukanlah suatu bentuk ragawi, karena itu Dia tidak menempati ruang, tidak bergerak dari satu tempat ketempat lain, dan juga tak mungkin dilihat oleh siapapun.[63]
            Kaum Syi’ah juga mengutip Ali bin AbiThalib[64] yang mengatakan: Allah tidak turun, juga Dia tidak butuh turun. Segala yang bergerak membutuhkan penggerak atau membutuhkan sarana untuk bergerak. Hati-hatilah bila kamu berbicara tentang sifat-sifat khas-Nya, jangan sampai kamu menanggap bahwa Dia naik atau turun, bergerak atau pergi, duduk atau berdiri.[65]
            Rafidhah adalah sekte yang pertama mengatakan bahwa Allah SWT itu ber jisim (bertubuh seperti tubuh makhluk). Yang melopori tuduhan ini dari sekte Rafidhah adalah Hisam bin al-Hakam, Hisam bin Salim al-Juwailiqi, Yunus bin Abdurahman al-Qummy, dan Abu Ja’far al-Ahwal.[66] Mereka ini adalah para tokoh Syiah Itsna ‘Asyariyyah, yang pada akhirnya mereka menjadi sekte Jahmiyyah yang meniadakan sifat bagi Allah SWT.[67]
            Aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang mengesakan Allah, yang terpecah dalam tiga kelompok:
  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Muqatil ibn Sulaiman[68], di mana mereka beranggapan bahwa Allah itu jisim yang terbilang, bahkan seperti halnya manusia, yang mempunyai daging, darah, rambut dan tulang sebenarnya Dia pun mempunyai anggota tubuh, seperti halnya tangan, kaki, kepala dan dua mata yang tidak berkubang, terapi dalam hal ini Dia tidaklah serupa dengan selain-Nya, karena tiada yang menyerupai-Nya.
  2. Kelompok kedua ini ialah para pengikut al-Jawaribi[69], di mana mereka beranggapan: sama halnya dengan anggapan yang di atas, bahkan mereka pun menambahkan bahwa dri mulut sampai  dada-Nya itu berlubang, sementara anggota tubuh-Nya yang lain tertutup rapat.
  3. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa Allah itu jisim, tetapi Dia tidaklah seperti layaknya jisim-jisim lain.[70]
            Seorang alim yahudi datang kepada Rasulullah. Dia berkata: Ya Muhammad atau Abu Al- Qasim[71], sesngguhnya Allah Mahasuci lagi Mahatinggi akan membawa langit pada hari pengadilan dengan satu jari dan bumi dengan jari yang lain, dan gunung serta pohon dengan jari yang lain lagi, dan lautan serta bumi yang basah dengan jari yang lain lagi. Sesungguhnya seluruh ciptaan-Nya akan dibawa dengan satu jari, kemudian Dia akan berfirman: Aku-lah Tuhanmu, Aku-lah Tuhanmu. Kemudian Rasulullah tersenyum, dan memberikan kesaksian atas (membenarkan) perkataan alim yahudi itu.[72]
            Menurut Imam Malik[73] menetapkan sifat wajah Allah merupakan sifat yang paling agung, yang membuat kelompok jahmiyah melakukan syubhat bathil[74] dan berulang kali disebutkan dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah saw juga ditetapkan ulama salaf , sebagaimana imam Malik menetapkan karena mengikuti jejak mereka . Mudah-mudahan semuanya mendapat ridha Allah.[75]
           


























BAB III
                                                          PENUTUP
A.    Kesimpulan
  1. Perbandingan pemikiran para teologis tentang sifat Tuhan secara umum adalah bahwa kaum Asy’ariah, Maturidiah, dan Ahli Sunnahwaljamaah menyatakan bahwa Tuhan memiliki sifat, namun memiliki perbedaan dalam menjelaskan sifat-sifat Tuhan tersebut. Sedangkan menurut Mu’tazilah dan Khawarij menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat namun mereka berbeda penjelasan tentang Tuhan tidak mempunyai sifat. Dan adapun perbandingan pemikiran para ahli teologis tentang sifat melihat Tuhan adalah Kaum Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat, karena tidak maengambil tempat karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat. Namun kaum Asy’ariah, Maturidiah dan Ahli Sunnahwaljamaah berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat nanti. Dan golongan-golongan kaum Khawarij saling berbeda pendapat tentang manusia melihat Tuhan, sebagian golongan mengatakan bahwa Tuhan bisa melihat Tuhan dengan mata kepala dan sebagian golongan lagi mengatakan kalau manusia tidak bisa melihat Tuhan dengan mata kepala. Dan tentang sifat Anthropomorphisme Tuhan, aliran Mu’tazilah, al-Asyariyah, dan Syiah menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat Anthropomorphisme seperti manusia, namun aliran Ahli Sunnahwaljamaah mengatakan bahwa Tuhan memiliki sifat Anthropomorphisme, dan golongan-golongan aliran Murji’ah berbeda pendapat dalam memaknai sifat Anthropomorphisme Tuhan.
  2. Perkembangan aliran Asy’ariah, Mu’tazilah yaitu banyak memberikan penjelasan-penjelasan tentang sifat-sifat Tuhan. Sedangkan aliran yang lain juga memberikan argument mereka yang masih banyak dipahami dan juga dipelajari olah umat islam.
  3. Kekuatan aliran al-Asy’ariah dalam memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan yaitu berada pada penjelasan tentang sifat Tuhan berdasarkan pemahaman pemaknaan ayat Al-qur’an yang sebenarnya namun tetap mempercayai makna Al-qur’an secara kontekstual. Namun mereka tidak terlalu memberi derajat tertinggi pada kekuatan akal  dalam menyifati sifat Tuhan. Sedangkan aliran Mu’tazilah memberikan derajat tertinggi pada kekuatan akal untuk memaknai sifat-sifat Tuhan tapi tetap berpegang pada wahyu. Sedangkan aliran Maturidiah memberikan penjelasan bahwa akal tidak bisa sampai kepada kewajiban mengetahui adanya Tuhan, namun mereka lemah karena telah mempersempit kawasan pengukuhan terhadap sifat Allah dan hanya menyatakan delapan sifat saja. Sedangkan aliran Murji’ah jelas memberikan penjelasan dalam memaknai sifat Tuhan namun mereka memiliki kelemahan yaitu antar golongan  saling terepecah dalam memberikan argument. Sedangkan aliran Syiah memiliki kekuatan akal  dalam memberikan penjelasan namun mereka kurang memberikan argument mengenai sifat-sifat Tuhan.

B.  saran
Dengan kita mempelajari Perbandingan pemikiran aliran Teologi tentang sifat-sifat Tuhan di atas, semoga kita dapat memetik hikmah dari apa yang sudah di sampaikan oleh aliran-aliran Teologi, agar kita selalu lebih dekat dengan Allah SWT, dan dapat kita jadikan sebagai pengetahuan dalam hidup antar sesama manusia.









                                           
DAFTAR PUSTAKA

Abd Hadi Muhammad, Manhaj Dan Aqidah Ahli Sunnah Waljamaah Menurut Pemahaman Ulama Salaf; Cet. I; Jakarta: Gem Insani Press,1992.
Abd Muhammad, Hashiyah ’ala al-’Aqa’id al-’Adudiah, dalam Al-Shaykh Muhammad ’Abduh bayn al-Falasifah wa al-Kalamiyin, Kairo: ’Isa al-Babi al-Halabi, 1958.
Abdurrahman Muhammad, Manhaj Aqidah Salaf Aqidah Imam Malik; Cet.I;
                Jakarta: Pustaka Azam, 2002
Agama RI Departemen, Al-qur’an Dan Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali,
                Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005.
Ahmad Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam; Untuk IAIN Semua Fakultas Dan Jurusan Komponen MKDU, Cet. I ; Jakarta: Pustaka Setia, 1998.
Al-Jibouri Yasin, Konsep Tuhan Menurut Islam; Cet.I; Jakarta: Lentera Basritama,  2003.
Bin Abd  Rahman Muhammad, Paham A l-Maturidiyah Dalam Beraqidah; Cet. I;
                Jakarta: Raja Grafindo,1998.
Bin Mahmud Abd, Meniyngkap Kesesatan Aqidah Syiah (Jaringan Pembelah Terhadap Sunnah).
Hasan Abul, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam; Cet. I; Bandung Pustaka Setia,1998.
Ibn Ahmad Abd al-Jabbar, j.j. Houban S.J. (Ed.) Al-Majmu’ fi al-Muhit bi al-Taklif, Vol. I, Beyrouth: L. ’Insitut des letters Orientales de ’Beyrouth, 1965.
Nasution Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa  Perbandingan, Cet. V; Jakarta: UI Press,  1986.
Nata Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, Dan Tasawuf; Cet.II; Jakarta: Raja Grafindo Persada,1994.
STAIN Manado P3M,Jurnal Potret Pemikiran; Budaya Dan Pemikiran Agama, vol.IX; Manado, 2007.

BIODATA PENULIS

Nama                                                   : Abrar
Tempat dan Tanggal Lahir                  : lasusua, 12 desember 1990
Agama                                                 : Islam
Asal                                                     : lasusua, kolaka utara (Sultra)
Alamat Sekarang                                 : Perum Mahkota Bumi Indah
Blok L. No. I, Kel. Malendeng, Kec.        Tikala, kota Manado

Pekerjaan                                             : Pelajar/Mahasiswa                
Riwayat Pendidikan                           :
            MI    Negeri    Lasusua           : Lulus tahun 2003
            MTs PA 11 As’adiyah
            Pusat Sengkang Kab. Wajo     : Lulus tahun 2006
            MA Negeri I Lasusua             : Lulus tahun 2009

Kesan terhadap Dosen :
 Menurut saya selama proses pelajaran mata kuliah Ilmu Kalam yang dibawakan oleh bapak Dr. Muhammad Idris. M.Ag, itu sangat dapat mudah dipahami dan memberikan suasana belajar yang saangat disenangi oleh mmahasiswa. Beliau juga selalu memberikan nasehat dan motivasi agar bagaimana menjadi orang yang sukses dan berhasil di masa akan datang. Beliau juga sangat menerapkan sikap disiplin, baik disiplin waktu maupun disiplin dalam mengumpulkan tugas.

Pesan terhadap Dosen :
            Agar metode belajar bapak lebih ditingkatkan lagi agar mahasiswa lebih serius lagi dalam menerima pelajaran.




Kesan terhadap teman-teman :
Menurut saya teman-teman saya seperti saudara sendiri karena selalu membantu dan menyemangati saya dalam belajar.

Pesan terhadap teman :
            Saya inginkan teman-teman tetap kompak dan serius dalam proses belajar.







[1]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h. 135

[2]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 135
[3]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 135
[4]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 135
[5]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 135
[6]Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 255

[7]Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Cet. I; Bandung:  Pustaka  Setia,1998),h.255

[8]Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam; Untuk IAIN Semua Fakultas Dan Jurusan Komponen MKDU (Cet. I; Jakarta: Pustaka Setia, 1998), h.128

[9]Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, h. 128
[10]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h. 136
[11]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 136
[12]Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, Dan Tasawu f (Cet.II; Jakarta: Raja Grafindo Persada,  1994), h. 73.
[13]Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam; Untuk IAIN Semua Fakultas Dan Jurusan Komponen MKDU (Cet. I; Jakarta: Pustaka Setia, 1998), h. 136

[14] Muhammad Abd Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahli Sunnah Waljamaah Menurut Pemahaman Ulama Salaf; (Cet. I; Jakarta: Gem Insani Press, 1992), h.124

[15]Muhammad Abd Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahli Sunnah Waljamaah Menurut Pemahaman Ulama Salaf, h.124-125

[16]Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, h. 136-137            
[17]Muhammad Bin Abd  Rahman, Paham A l-Maturidiyah Dalam Beraqidah  (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo, 1998), h. 46
[18]Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 219
[19]Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, h. 235
[20]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h. 139
[21]Abd al-Jabbar Ibn Ahmad, j.j. Houban S.J. (Ed.) Al-Majmu’ fi al-Muhit bi al-Taklif, Vol. I; Beyrouth: L. ’Insitut des letters Orientales de ’Beyrouth, 1965), h. 248-252
[22]Abd al-Jabbar, Al-Majmu’ fi al-Muhit bi al-Taklif, h. 252
[23]Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, h.222
[24]P3M STAIN Manado, Jurnal Potret Pemikiran; Budaya Dan Pemikiran Agama (vol.IX;edisi II, Manado: 2007), h. 138
[25]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V;Jakarta: UI Press, 1986), h. 139. 
[26]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 139. 
[27]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140
[28] Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam; (Cet. I. Pustaka Setia, Bandung: 1998), h. 218
[29]Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, h. 218
[30]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V;Jakarta: UI Press, 1986), h. 140 
[31]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140
[32]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140-141
[33]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140
[34]Departemen Agama RI,Al-qur’an Dan Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005), h. 578.
[35]Harun Nasution, Teologi Islam;  Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V;Jakarta: UI Press, 1986), h. 140 
[36]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140
[37]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 141
[38] Departemen Agama RI, Al-qur’an Dan Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005), h. 167
[39]Harun Nasution, Teologi Islam;  Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V;Jakarta: UI Press, 1986), h. 141
[40]Harun Nasution, Teologi Islam, h.141  
[41]Harun Nasution, Teologi Islam, h.141
[42]Abd al-Jabbar,Al-Majmu’ fi al-Muhit bi al-Taklif  (Vol. I; Beyrouth: L. ’Insitut des letters Orientales de ’Beyrouth, 1965), h.248-252
[43]Departemen Agama RI, Al-qur’an Dan Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005), h. 141
[44]Muhammad Abd Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahli Sunnah Waljamaah Menurut Pemahaman Ulama Salaf; (Cet. I; Jakarta: Gem Insani Press, 1992), h. 126
[45]Harun Nasution, Teologi Islam;  Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V;Jakarta: UI Press, 1986), h. 143
[46] Departemen Agama RI, Al-qur’an Dan Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005), h. 221
[47]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h. 144
[48]Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam; (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 258-259
[49] Abd Muhammad, Hashiyah ’ala al-’Aqa’id al-’Adudiah, dalam Al-Shaykh Muhammad ’Abduh bayn al-Falasifah wa al-Kalamiyin (Kairo: ’Isa al-Babi al-Halabi, 1958), h. 588
[50]Departemen Agama RI, Al-qur’an Dan Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005), h. 407.
[51]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V; Jakarta:  UI Press, 1986), h. 144
[52]Departemen Agama RI, Al-qur’an Dan Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005), h.271
[53]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V; Jakarta:  UI Press, 1986), h. 145
[54]Harun Nasution, Teologi Islam, h.145
[55]Harun Nasution, Teologi Islam, h.145
[56]Harun Nasution, Teologi Islam, h.146
[57]Muhammad Abd Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahli Sunnah Waljamaah Menurut Pemahaman Ulama Salaf (Cet. I; Jakarta: Gem Insani Press, 1992), h. 125
[58]Muhammad Abd Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahli Sunnah Waljamaah, h. 125
[59]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V; Jakarta:  UI Press, 1986), h. 137
[60]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 137
[61]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 137
[62]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 137
[63]Yasin Al-Jibouri, Konsep Tuhan Menurut Islam (Cet. I; Jakarta: Lentera Basritama,2003), h.252.
[64]Yasin Al-Jibouri, Konsep Tuhan  Menurut Islam (Cet. I; Jakarta: Lentera Basritama,  2003 ), h. 253
[65]Yasin Al-Jibouri, Konsep Tuhan  Menurut Islam (Cet. I; Jakarta: Lentera Basritama,  2003 ), h. 253
[66]Abd bin Mahmud, Meniyngkap Kesesatan Aqidah Syiah (Jaringan Pembelah Terhadap Sunnah), h. 13
[67]Abd bin Mahmud, Meniyngkap Kesesatan Aqidah Syiah, h. 13
[68] Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Cet. I. Pustaka Setia, Bandung: 1998), h. 217
[69] Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, h. 217
[70]Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Cet. I; Bandung:  Pustaka Setia, 1998), h. 217-218
[71] Yasin Al-Jibouri, Konsep Tuhan Menurut Islam (Cet. I; Jakarta: Lentera Basritama,2003), h.243
[72]Yasin Al-Jibouri, Konsep Tuhan Menurut Islam, h.243
[73]Muhammad Abdurrahman, Manhaj Aqidah Salaf Aqidah Imam Malik (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azam, 2002), h. 219

[74]Muhammad Abdurrahman, Manhaj Aqidah Salaf Aqidah Imam Malik, h. 219

[75]Muhammad Abdurrahman, Manhaj Aqidah Salaf Aqidah Imam Malik (Cet I; Jakarta: Pustaka Azam, 2002), h. 219

Tidak ada komentar:

Posting Komentar