BAB
1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perlu diketahui bahwa dalam teologi
Islam banyak pendapat mengenai sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat Allah itu adalah
sesuatu yang ada pada diri Allah SWT. Dan dalam teologi Islam banyak argument
yang berbeda dalam memaknai tentang sifat-sifat Allah tersebut.
Maka dari itu pemakalah akan menjelaskan tentang sifat-sifat Tuhan yang berlainan itu menurut akiran-aliran teologi kepada
umat islam, dan juga untuk memberi pandangan lain terhadap Islam bagi yang
biasanya mengetahui sifat-siafat hanya dari sudut pandang hukum dan fiqih.
Pada makalah ini pemakalah akan menjelaskan secara rinci tentang
sifat-sifat Allah, melalui berbagai macam buku-buku tentang aliran-aliran
teologi yang memberikan argument melalui kekuatan akal yang berdasarakan wahyu
dan hadis.
B.
RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak dari uraian
permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah:
- Bagaimana perbandingan pemikiran aliran-aliran teologi tentang sifat-sifat Tuhan?
- Bagaimana perkembangan pemikiran aliran-aliran teologi tentang sifat-sifat-sifat Tuhan ?
- Bagaimana kekuatan dan kelemahan pemikiran aliran-aliran teologi tentang sifat-sifat Tuhan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Perbandingan Pemikiran Para Teologis Tentang Sifat Tuhan Secara Umum
Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka
tentang Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Asy’ari, bersifat negatif. Tuhan
tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat
dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui,
tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan berkuasa dan sebagainya
tetapi bukanlah sifat dalam arti yang sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui” kata
Abu al-Huzail[1], ialah
Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan
sendiri[2]
yaitu Zat atau esensi Tuhan. Kata al-Jubba’i[3]
ialah untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat pada satu sifat dalam bentuk
pengetahuan atau keadaan mengetahui[4].
Menurut Abu Hasyim[5] bahwa
Tuhan mempunyai keadaan mengetahui. Tetapi sungguhpun terdapat perbedaan paham antara
pemuka-pemuka Mu’tazilah tersebut, mereka sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat. Menurut para pengikut Abbad ibn Sulaiman[6]
yang berasal dari kelompok Abbadiyyah beranggapan bahwa, tidak boleh
nenyatakan pada Allah itu terdapat atau tidak terdapat pengetahuan, terdapat
atau tidak terdapat kekuasaan, terdapat atau tidak terdapat pendengaran dan
terdapat atau tidak terdapat penglihatan, dan begitupun dengan sifat-Nya yang
lain.[7]
Menurut Mu’tazilah Tuhan adalah Esa, bersih dari hal-hal yang menjadikan
tidak Esa. Mereka mengesakan Tuhan dengan mengosongkan Tuhan dari berbagai
sifat-sifat.[8]
Kaum Asy’ariah mengatakan bahawa Tuhan mempunyai sifat yang tidak dapat
diingkari karena perbuatan-perbuatannya, disamping menyatakan bahwa Tuhan
mengatahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya, juga menyatakan bahwa ia
mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya[9].
Dan menurut al-Baghdadi[10],
terdapat konsensus di kalangan kaum Asy’ariah bahwa daya pengetahuan, hayat,
kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat
ini kata al-Gazali[11],
tidaklah sama dengan, malahan lain dari esensi Tuhan, tetapi terwujud dalam
esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan
untuk mengatasinya kaum Asy’ariah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah
Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena sifat-sifat tidak lain dari
Tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa kepada paham banyak kekal.
Zat Tuhan itu adalah pengetahuan-Nya, dan demikian Tuhan sendiri menjadi
pengetahuan, padahal Tuhan itu bukanlah pengetahuan, tetapi yang Maha
mengetahui. Tuhan mengetahui dengan pengetahun, dan pengetahuan-Nya itu
bukanlah Zat-Nya, semua ini sejalan dengan keterangan ayat-ayat Al-qur’an yang
umumnya dipahami oleh para mufassir.[12]
Menurut Ahlussunnah Waljama’ah sifat-sifat yang dimiliki Tuhan tidak ada
yang menyamai-Nya. Mensifati Tuhan dengan sifat kesempurnaan tidak akan
mengurangi ke-Esaannya.[13]
Ahli Sunnah Waljama’ah menetepkan aqidah mereka tentang sifat-sifat Allah
adalah: itsbat bilaa takyif[14](membenarkan
tanpa mempersoalkan bentuknya) dan mensucikan tanpa menginkarinya. Dan Allah
itu tidak pantas untuk divisualisasikan dan disamakan dengan makhluknya.[15]
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak yang mempunyai
batas-batas tertentu, dapat menerima paham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.
Kaum Maturudiah golongan Bukhara
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat banyak yang kekal. Mereka
menyelesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan
yang terdapat dalam esensi Tuhan bukan melalui kekalan sifat-sifat itu sendiri
dan Tuhan bersama sifat-Nya yang kekal, tapi sifat itu sendiri tidak kekal[16].
Al-Maturidiyah beserta para pengikutnya sungguh telah mempersempit
kawasan pengukuhan terhadap sifat Allah dan hanya menyatakan delapan sifat saja
yaitu: Hayat, Qudrot, Ilmu, Irodat, Sam’, Bashor, Kalam dan takwin.[17]
Golongan samarkand
dalam hal ini kelihatnnya tidak sepaham dengan Mu’tazilah karena al-Maturidi
mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tatapi pula tidak lain dari Tuhan.
Para pengikut aliran murji’ah berbeda
anggapan tentang nama-nama dan sifat Allah dan sebagainya mempunyai anggapan
yang bersesuaian dengan aliran Mu’tazilah, sementara sebagian lainnya bersesuaian
dengan anggapan Abdullah ibn Muhammad ibn Kullab.[18]
Menurut aliran Kulabiyyah bahwa
Allah itu senantiasa bersifat Maha tahu, Maha Kuasa, Maha Hiidup, Maha
Mendengar, Maha Melihat, Maha Mulia, Maha Agung, Maha Tinggi, Maha Besar, Maha
Pemurah, Maha Pemurah, Maha Indah, Maha Esa, Maha Kekal, Maha Tersendiri, Maha
Awal, Maha pemelihara, Maha Berkehendak, dan Maha Pembenci.[19]
B.
Perbandingan Pemikiran Para Ahli Teologis Tentang Melihat Tuhan
Secara logika Tuhan bersifat immateri yang tak dapat dilihat dengan mata
kepala. Dan inilah pendapat kaum Mu’tazilah.Sebagian argumen, Abd al-Jabbar[20], mengatakan
bahwa Tuhan tidak mengambil tempat dan dengan demikian tidak dapat dilihat,
karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat[21].
Dan juga kalau Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala , Tuhan akan dapat
dilihat saat ini juga di alam ini[22], tetapi
kenyatannya tidak ada yang bisa melihat saat ini.
para pengikut aliran Mu,tazilah
bersepakat bahwa, Allah tidak dapat dilihat dengan penglihatan. Sekalipun
begitu mereka berbeda beranggapan , apakah Allah dapat dilihat dengan hati
sanubari? Abu al- Hudzail dan sebagian pengikut aliran Mu’tazilah berkata,
’’kami melihat Allah dengan hati sanubari , yang berarti dengan hati sanubari
itulah kami mengetahui-Nya.’’ Sementara Hisyam al-Fuwathi dan Abbad ibn
Sulaiman mengingkari hal ini.[23]
Namun kaum Asy’ariah berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata
kepala di akhirat karena Allah mempunyai wujud.[24] Paham
ini sejajar dengan pendapat mereka bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum
atau anthropomorphis[25],
sungguhpun sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat jasmani manusia yang ada
dalam alam ini. Tuhan bersifat mutlak yang dapat mengadakan apa saja. Sebaliknya
akal manusia lemah dan selamanya tak sanggup memahami perbuatan dan ciptaan
Tuhan. Apa saja, sungguhpun itu bertentangan dengan pendapat akal manusia,
dapat dibuat dan diciptakan. Melihat Tuhan yang bersifat immateri dengan mata
kepala, dengan demikian, tidaklah mustahil manusia akan dapat melihat Tuhan.[26]
Argumen yang dimajukan al-Asy’ari untuk memperkuat pendapat di atas
adalah yang tak dapat dilihat hanyalah yang tak mempunyai wujud.Yang mempunyai
wujud mesti dapat dilihat.Tuhan berwujud oleh karena itu dapat dilihat
Seterusnya menurut al-Asy’ari, Tuhan melihat apa yang ada dan dengan demikian
melihat dairi-Nya juga. Kalau Tuhan melihat diri-Nya. Dia akan buat manusia
bisa melihat Tuhan[27].
Para pengikut aliran Murji’ah berbeda
anggapan tentang melihat Allah (ru’yah)[28],
yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:
- Kelompok pertama ini, yang cenderung bersesuaian dengan anggapan-anggapan aliran Mu’tazilah, beranggapan: menafikkan anggapan bahwa Allah itu niscaya dapat dilihat dengan penglihatan mata.
- Kelompok kedua ini beranggapan bahwa Allah itu niscaya dapat dlihat dengan penglihatan mata, da akhirat kelak.[29]
Al-Baghdadi[30]
berargumen lain bahwa manusia dapat
melihat accidents (al-a’ard)[31]
karena manusia dapat membedakan antara putih dan hitam dan antara bersatu dan
bercerai.Maut juga dapat dilihat yaitu dengan melihat orang mati. Kalau a’rad
dapat dilihat maka Tuhan juga dapat dilihat[32].
Kaum Maturudiah dengan kedua golonganya
sepaham dalam hal ini dengan kaum Asy’ariah. Al-Maturidi juga
berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat karena mempunyai wujud Menurut al-Bazdawi
Tuhan dapat dilihat sungguhpun tidak mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat
dan tidak terbatas[33].
Baik kaum Mu’tazilah apalagi kaum Asy’ariah tidak hanya memakai dalil
akal,tetapi juga dalil-dalil dari Al-qur’an untuk memprtahankan pendirian
masing-masing.
Dalil Al-qur’an yang dibawa kaum
Asy’ariah terdapat dalam Q.S. Al-Qiamah [75]: 22-23, yang berbunyi:
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
Artinya:
“Wajah-wajah
yang pada ketika itu berseri-seri memandang kepada Tuhan-Nya”[34].
Menurut al-Asy’ariah kata nazirah dalam ayat ini tak bisa berarti
memikirkan, karena akhirat bukanlah tempat berpikir. Juga tak bisa berarti
menunggu. Karena wujuh yaitu muka atau wajah tidak dapat menunggu, yang
menunggu ialah manusia. Oleh karena itu kata nazirah mesti berarti
melihat dengan mata[35].
Uraian di atas ditolak oleh kaum Mu’tazilah dengan mengatakan nazar
tak berarti ru’yah karena orang arab berkata:
(Aku memandang ke bulan tetapi tak melihatnya)[36],
dan ini tak bisa berarti:
(aku melihat bulan dan tak melihatnya)[37].
Bagi kaum Mu’tazilah nazara di sini berarti memandang atau
menanti-nanti. Kaum Asy’ariah juga mengemukakan ayat yang terdapat dalam Q.S.
Al-A’araf [7]: 143, yang berbunyi:
$£Js9ur uä!%y` 4ÓyqãB $uZÏF»s)ÏJÏ9 ¼çmyJ¯=x.ur ¼çm/u tA$s% Éb>u þÎTÍr& öÝàRr& øs9Î) 4 tA$s% `s9 ÓÍ_1ts? Ç`Å3»s9ur öÝàR$# n<Î) È@t6yfø9$# ÈbÎ*sù §s)tGó$# ¼çmtR$x6tB t$öq|¡sù ÓÍ_1ts? 4 $£Jn=sù 4©?pgrB ¼çm/u È@t7yfù=Ï9 ¼ã&s#yèy_ $y2y §yzur 4ÓyqãB $Z)Ïè|¹ 4 !$£Jn=sù s-$sùr& tA$s% oY»ysö6ß àMö6è? øs9Î) O$tRr&ur ãA¨rr& tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÊÍÌÈ
Artinya:
“Tuhanku,
lihatkan diri-Mu padaku” Sabda Tuhan:”Engkau tak dapat melihat diri-Ku,tetapi
lihatlah ke gunung itu .Jika ia tetap tinggal di tempatnya, niscaya engkau akan
melihat diri-Ku”.ketika Tuhan-Nya nampak bagi gunung itu, ia pun hancur dan
Musa jatuh pingsan”.[38]
Di sini Nabi Musa[39]
meminta supaya Tuhan memperlihatkan diri-Nya.Kalau Tuhan tak dapat dilihat
,demikian kata Asy’ariah, Nabi Musa tak akan
meminta supaya Tuhan memperlihatkan diri-Nya. Seterusnya ayat itu
mengatakan bahwa Nabi Musa akan melihat Tuhan, kalau bukit Sinai tetap pada tempatnya.Membuat bukit
Sinai tetap di tempatnya termasuk dalam kekuasan Tuhan oleh karena itu Tuhan
bisa dilihat[40].
Uraian kaum Asy’ariah ini ditolak
oleh kaum Mu’tazilah dengan alasan- alasan
berikut:
- Permintaan melihat Tuhan sebenarnya bukan datang dari Nabi Musa tetapi dari para pengikutnya yang belum juga mau percaya.
- Permintaan itu dimajukan Nabi Musa adalah untuk mematahkan ketengkaran dan kekerasan kepala mereka[41].
Tuhan dalam ayat ini telah menegaskan lan tarani, yaitu’’sekali-kali
engkau tak akan dapat meihat Saya”.Dengan kata lain Tuhan tidak akan dapat
dilihat.
Yang dimaksud dengan istaqarra makanah, yaitu tetap di tempatnya,
ialah tidak bergerak sewaktu bukit itu digoncang Tuhan.Dengan kata lain Nabi Musa
akan dapat melihat Tuhan, kalau bukit Sinai sewaktu digoncang Tuhan tetap diam
dan tak bergerak. Diam dan gerak adalah dua hal yang bertentangan dan tak dapat
berkumpul pada satu masa di satu tempat. Dan bukit Sinai memang goncang dan
bergerak karena pukulan tang ditimbulkan
manisfetasi kekuasaan Tuhan pada gunung itu.Dengan demikian ayat di atas
menurut kaum Mu’tazilah, sebenarnya menjelaskan bahwa Tuhan tak dapat dilihat[42].
Kaum Mu’tazilah juga membawa dalil-dalil Al-qur’an yaitu:
w çmà2Íôè? ã»|Áö/F{$# uqèdur à8Íôã t»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#Ïܯ=9$# çÎ6sø:$# ÇÊÉÌÈ
Artinya:
‘‘Penglihatan tak dapat
menagkap-Nya, tetapi Ia dapat menangkap penglihatan.Ia adalah Mahahalus dan Mahatahu.[43]
Ahli Sunnah Waljama’ah
meyakini bahwa allah tidak bisa dilihat oleh
siapapun di dalam kehidupan dunia.[44]
Namun mereka sepakat bahwa orang
mukmin dapat melihat Allah di surga
dengan
kedua mata mereka.
C.
Perbandingan Pemikiran Ahli
Teologi Tentag Sabda Tuhan.
Dalam teologi sabda Tuhan adalah sifat, mesti kekal tetapi sebaliknya
sabda adalah tersusun oleh karena itu mesti diciptakan dan tak bisa kekal. Namun
kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa sabda bukanlah sifat Tuhan tapi perbuatan
Tuhan. Namun menurut mereka Al-qur’an tidak bersifat kekal tapi bersifat baharu
yang beberapa ayat dan surat, ayat
yang satu mendahului yang lain dan surat
yang satu mendahului yang lain pula. Adanya pada sesuatu sifat tedahulu dan
sifat datang kemudian,membuat sesuatu itu tidak bisa bersifat qadim[45]
yaitu tak bermula karena yang tak bermula tak didahului oleh apapun. Kalau yang
di atas adalah berupa argumen akal, maka yang di bawah ini merupakan dalil
Al-qur’an yaitu:
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»t#uä §NèO ôMn=Å_Áèù .
Artinya:
Kitab yang ayat-ayatnya dibuat sempurna dan kemudian terperinci.[46]
Menurut ayat ini,ayat-ayat Al-qur’an dibuat sempurna dan kemudian
dibagi-bagi. Jelasnya demikian kaum Mu’tazilah ,Al-qur’an sendiri mengakui
bahwa Al-qu’an tersusun dari bagian-bagian, dan yang tersusun tidak bisa
bersifat kekal dalam arti qadim.[47]
Para
pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Kalamullah itu jisim
atau bukan? Tentang hal ini kareka terpecah lagi dalam enam kelompok anggapan:
- Kelompok pertama ini beranggapan bahwa Kalamullah itu jisim, bahkan Kalamullah itu sebenarnya makhluk yang berupa jisim, tetapi bukanlah jisimnya itu berupa sesuatu.
- Kelompok kedua ini beranggapan bahwa kalamullah itu makhluk yang berupa aksiden, yaitu suatu gerakan, sehingga tidak ada suatu aksiden yang lain berupa gerakan.
- Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa Al-Qur’an itu makhluk Allah yang berupa aksiden, bahkan mereka menolak anggapan Al-Qur’an itu berupa jisim.
- Kelompok keempat ini beranggapan bahwa Kalamullah itu aksiden yang juga berupa makhluk, tetapi Kalamullah itu tidaklah berada pada beberapa tempat dalam satu waktu, tidak juga pindah atau lenyap dari satu tempat yang Allah ciptakan baginya, yang mustahil Kalamullah itu berada pada satu tempat lainnya.
- Kelompok kelima ini ialah para pengikut mu’amamr, di mana mereka beranggapan bahwa Kalamullah itu aksiden, yang membuat kehidupan atau menghidupkan dan aksiden yang membuat kematian ataupun mematikan.
- Kelompok keenam beranggapan bahwa Kalamullah itu hanya berupa aksiden semata, yang berada pada beberapa tempat dalam satu waktu.[48]
Kaum Asy’ariah berkata bahwa sabda adalah sifat dan sebagai sifat Tuhan
mestilah kekal.Untuk mengatasi persoalan bahwa yang tersusun tidak bersifat
kekal mereka memberi defenisi lain
tentang sabda yaitu arti atau makna abstrak dan tidak tersusun.Sabda bukanlah
apa yang tersusun dari huruf dan suara[49].Sabda
yang tersusum disebut sabda hanya dalam arti kiasan. Sabda yang sebenarnya
ialah apa yang terletak dibalik yang terususun itu.Sabda yang tersusun dari
huruf dan kata-kata bukanlah sabda Tuhan
Sabda dalam arti abstrak inilah yang dapat bersifat kekal dan dapat
menjadi sifat Tuhan. Dan yang dimaksud dengan Al-qur’an bukanlah apa yang tersusun dari huruf-huruf, kata-kata
dan surat-surat, tetapi arti dan makna abstrak itu sendiri.Dalam arti huruf,
kata, ayat dan surat yang ditulis atau dibaca ,Al-qur’an bersifat baharu serta diciptakan dan bukanlah sabda Tuhan.
Dalil Al-qur’an yang dibawa kaum Asy’ariah untuk memperkuat pendapat mereka
adalah:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä br& tPqà)s? âä!$yJ¡¡9$# ÞÚöF{$#ur ¾ÍnÌøBr'Î/ ÇËÎÈ
Artinya:
Diantara tanda-tanda-Nya ialah
terjadinya langit dan bumi dan perintah-Nya.[50]
Dalam ayat ini disebut bahwa langit
dan bumi terjadi dengan perintah Allah. Perintah mempunyai wujud dalam bentuk
sabda.[51]
Dengan demikian perintah Allah adalah sabda Allah. Untuk membuktikan bahwa
perintah Allah adalah kekal, kaum Asy’ariah membawa ayat adalah.
Artinya:
Bukanlah pencipta, dan perintah
kepunyaan-Nya.
Dalam ayat ini perintah dan ciptaan
dipisahkan dan ini mengandung arti perintah dan bukanlah ciptaan.Dengan kata
lain perintah atau sabda Allah bukanlah dijadikan tapi bersifat kekal.
Dalil lain ialah:
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sÎ) çm»tR÷ur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3usù ÇÍÉÈ
Artinya:
“Jika
Kami menghendaki sesuatu Kami bersabda:’Terjadilah, maka akan terjadi”.[52]
Menurut ayat ini
ciptaan terjadi dengan kata atau sabda Tuhan ’’ kun ’’.Kalau sabda Tuhan
tidak bersifat kekal, kata ’’ kun’’ mestilah bersifat baharu.Kata ’’
kun’’ ini tidak akan berwujuud ,kalau tidak didahului kata’ kun’’
yang lain dan kata ’’ kun ’’ ini didahului juga dengan kata kun yang
lain pula. Demikianlah seterusnya sehingga terjadi rentetan kata-kata ’’ kun
’’ yang tak mempunyai kesudahan.Dan ini adalah mustahil,oleh karena itu
kata ’’ kun’’ atau sabda Tuhan mestilah bersifat kekal[53].
Pendapat kaum Asy’ariah
ini ditolak oleh kaum Mu’tazilah, karena menurut mereka keadaan dipisah
tidaklah menunjukkan perlainan jenis. Dengan demikian keadaan amr dan khalq[54]
dipisahkan tidak mengartikan bahwa amr dan khalq berlainan jenis.
Dengan kata lain amr dan khalq adalah sejenis oleh karena tiu
Tuhan adalah diciptakan dan tidak kekal. Selanjutnya yang dimaksud dengan kun
ialah kata yang tersusun dari huruf-huruf,ia mesti bersifat baharu. Kalau yang
dimaksud arti yang dikandungnya tak ada keterangan dalam ayat tersebut bahwa
itulah yang dimaksud. Lebih lanjut lagi kun tidak mempunyai efek, karena
bila memiliki efek harus menimbulkan efek tersebut baik Tuhan ataupun manusia
yang mengucapkannya. Dan umat Islam selalu mengucapkan kun tetapi tidak
menghasilkan sesuatu. Jadi bukanlah kun yang menciptakan sesuatu sehingga tak
perlu timbul infiniti regress[55]
Kaum
Maturidiah dengan kedua golongannya sependapat dengan kaum Asy’ariah bahwa
sabda Tuhan atau Al-qur’an adalah kekal. Al-qur’an adalah sifat kekal Tuhan, satu,
tidak terbagi, tidak bahasa arab, ataupun syriak, tetapi diucapkan manusia
dalam ekspresi berlainan.
Menurut Al-Bazdawi, selanjutnya, apa
yang tersusun dan disebut Al-qur’an bukanlah sabda Tuhan, tetapi merupakan
tanda dari sabda Tuhan. Ia disebut sabda Tuhan dalam arti kiasan[56].
Ahli
sunnah Waljama’ah menetapkan aqidah mereka tentang Al-qur’an adalah Kalamullah,
bukan makhluk. Al-qur’an berasal dari Allah dan kembali pada-Nya.[57]
Kebenaran ini diperkuat oleh sabda Rasulullah saw:
“bahwa Allah berkata-kata dengan
suara memanggil Adam [58].”
Kalimat
inilah yang diyakini oeh salaf umum dan salaf sunnah.
D.
PERBANDINGAN PEMIKIRAN AHLI
TEOLOGI TENTANG ANTHR
OPOMORPHISME
Tuhan
bersifat immateri, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
jasmani. Kaum Mu’tazilah yang berpegang pada kekuatan akal menghanut paham ini.
Menurut ’Abd al-Jabbar[59]
, Tuhan tidak mempunyai badan materi maka dari itu tidak mempunyai sikap
jasmani. Ayat-ayat Al-qur’an yang menggambarkan tentang sifat jasmani
Tuhan harus diberi interpretasi lain. Dengan
demikian, kata al-’arsy[60],
tahta kerajaan, diberi interpretasi kekuasaan, al-ain, mata, diartikan
pengetehuan, al-wajh,[61]
muka, ialah esensi, dan al-ayd[62],
tangan, adalah kekuasaan.
Kaum
Asy’ariah juga tidak menerima anthropomorphisme dalam arti bahwa Tuhan
mempunyai sifat jasmani yang sama dengan sifat jasmani manusia. Sungguhpun
demikian mereka tetap mengatakan bahwa Tuhan sebagai disebut dalam Al-qur’an,
mempunyai mata, muka , tangan, dan sebagainya, tetapi muka, mata, tangan dan
sebagainya itu tidak sama yang ada pada manusia. Mereka berpendapat bahwa
kata-kata ini tidak boleh diberi interpretasi lain.
Ahli
sunnah Waljamaah menyatakan bahwa Allah menciptakan nabi Adam dengan rupa-Nya,
bahwa Allah memeiliki jari-jemari, kaki, dan juga telapak
Kaum
Syi’ah berpandangan bahwa Allah bukanlah suatu bentuk ragawi, karena itu Dia
tidak menempati ruang, tidak bergerak dari satu tempat ketempat lain, dan juga
tak mungkin dilihat oleh siapapun.[63]
Kaum
Syi’ah juga mengutip Ali bin AbiThalib[64]
yang mengatakan: Allah tidak turun, juga Dia tidak butuh turun. Segala yang
bergerak membutuhkan penggerak atau membutuhkan sarana untuk bergerak.
Hati-hatilah bila kamu berbicara tentang sifat-sifat khas-Nya, jangan sampai
kamu menanggap bahwa Dia naik atau turun, bergerak atau pergi, duduk atau
berdiri.[65]
Rafidhah
adalah sekte yang pertama mengatakan bahwa Allah SWT itu ber jisim (bertubuh
seperti tubuh makhluk). Yang melopori tuduhan ini dari sekte Rafidhah adalah
Hisam bin al-Hakam, Hisam bin Salim al-Juwailiqi, Yunus bin Abdurahman
al-Qummy, dan Abu Ja’far al-Ahwal.[66]
Mereka ini adalah para tokoh Syiah Itsna ‘Asyariyyah, yang pada akhirnya mereka
menjadi sekte Jahmiyyah yang meniadakan sifat bagi Allah SWT.[67]
Aliran
Murji’ah berbeda anggapan tentang mengesakan Allah, yang terpecah dalam tiga
kelompok:
- Kelompok pertama ini ialah para pengikut Muqatil ibn Sulaiman[68], di mana mereka beranggapan bahwa Allah itu jisim yang terbilang, bahkan seperti halnya manusia, yang mempunyai daging, darah, rambut dan tulang sebenarnya Dia pun mempunyai anggota tubuh, seperti halnya tangan, kaki, kepala dan dua mata yang tidak berkubang, terapi dalam hal ini Dia tidaklah serupa dengan selain-Nya, karena tiada yang menyerupai-Nya.
- Kelompok kedua ini ialah para pengikut al-Jawaribi[69], di mana mereka beranggapan: sama halnya dengan anggapan yang di atas, bahkan mereka pun menambahkan bahwa dri mulut sampai dada-Nya itu berlubang, sementara anggota tubuh-Nya yang lain tertutup rapat.
- Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa Allah itu jisim, tetapi Dia tidaklah seperti layaknya jisim-jisim lain.[70]
Seorang
alim yahudi datang
kepada Rasulullah. Dia berkata: Ya Muhammad atau Abu Al- Qasim[71],
sesngguhnya Allah Mahasuci lagi Mahatinggi akan membawa langit pada hari
pengadilan dengan satu jari dan bumi dengan jari yang lain, dan gunung serta
pohon dengan jari yang lain lagi, dan lautan serta bumi yang basah dengan jari
yang lain lagi. Sesungguhnya seluruh ciptaan-Nya akan dibawa dengan satu jari,
kemudian Dia akan berfirman: Aku-lah Tuhanmu, Aku-lah Tuhanmu. Kemudian
Rasulullah tersenyum, dan memberikan kesaksian atas (membenarkan) perkataan
alim yahudi itu.[72]
Menurut Imam Malik[73]
menetapkan sifat wajah Allah merupakan sifat yang paling agung, yang membuat
kelompok jahmiyah melakukan syubhat bathil[74]
dan berulang kali disebutkan dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah saw juga
ditetapkan ulama salaf , sebagaimana imam Malik menetapkan karena mengikuti
jejak mereka . Mudah-mudahan semuanya mendapat ridha Allah.[75]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
- Perbandingan pemikiran para teologis tentang sifat Tuhan secara umum adalah bahwa kaum Asy’ariah, Maturidiah, dan Ahli Sunnahwaljamaah menyatakan bahwa Tuhan memiliki sifat, namun memiliki perbedaan dalam menjelaskan sifat-sifat Tuhan tersebut. Sedangkan menurut Mu’tazilah dan Khawarij menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat namun mereka berbeda penjelasan tentang Tuhan tidak mempunyai sifat. Dan adapun perbandingan pemikiran para ahli teologis tentang sifat melihat Tuhan adalah Kaum Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat, karena tidak maengambil tempat karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat. Namun kaum Asy’ariah, Maturidiah dan Ahli Sunnahwaljamaah berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat nanti. Dan golongan-golongan kaum Khawarij saling berbeda pendapat tentang manusia melihat Tuhan, sebagian golongan mengatakan bahwa Tuhan bisa melihat Tuhan dengan mata kepala dan sebagian golongan lagi mengatakan kalau manusia tidak bisa melihat Tuhan dengan mata kepala. Dan tentang sifat Anthropomorphisme Tuhan, aliran Mu’tazilah, al-Asyariyah, dan Syiah menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat Anthropomorphisme seperti manusia, namun aliran Ahli Sunnahwaljamaah mengatakan bahwa Tuhan memiliki sifat Anthropomorphisme, dan golongan-golongan aliran Murji’ah berbeda pendapat dalam memaknai sifat Anthropomorphisme Tuhan.
- Perkembangan aliran Asy’ariah, Mu’tazilah yaitu banyak memberikan penjelasan-penjelasan tentang sifat-sifat Tuhan. Sedangkan aliran yang lain juga memberikan argument mereka yang masih banyak dipahami dan juga dipelajari olah umat islam.
- Kekuatan aliran al-Asy’ariah dalam memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan yaitu berada pada penjelasan tentang sifat Tuhan berdasarkan pemahaman pemaknaan ayat Al-qur’an yang sebenarnya namun tetap mempercayai makna Al-qur’an secara kontekstual. Namun mereka tidak terlalu memberi derajat tertinggi pada kekuatan akal dalam menyifati sifat Tuhan. Sedangkan aliran Mu’tazilah memberikan derajat tertinggi pada kekuatan akal untuk memaknai sifat-sifat Tuhan tapi tetap berpegang pada wahyu. Sedangkan aliran Maturidiah memberikan penjelasan bahwa akal tidak bisa sampai kepada kewajiban mengetahui adanya Tuhan, namun mereka lemah karena telah mempersempit kawasan pengukuhan terhadap sifat Allah dan hanya menyatakan delapan sifat saja. Sedangkan aliran Murji’ah jelas memberikan penjelasan dalam memaknai sifat Tuhan namun mereka memiliki kelemahan yaitu antar golongan saling terepecah dalam memberikan argument. Sedangkan aliran Syiah memiliki kekuatan akal dalam memberikan penjelasan namun mereka kurang memberikan argument mengenai sifat-sifat Tuhan.
B. saran
Dengan kita mempelajari Perbandingan pemikiran aliran Teologi tentang
sifat-sifat Tuhan di atas, semoga kita dapat memetik hikmah dari apa yang sudah
di sampaikan oleh aliran-aliran Teologi, agar kita selalu lebih dekat dengan
Allah SWT, dan dapat kita jadikan sebagai pengetahuan dalam hidup antar sesama
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Hadi Muhammad, Manhaj Dan Aqidah Ahli Sunnah
Waljamaah Menurut Pemahaman Ulama Salaf; Cet. I; Jakarta: Gem Insani Press,1992.
Abd Muhammad, Hashiyah ’ala al-’Aqa’id
al-’Adudiah, dalam Al-Shaykh Muhammad ’Abduh bayn al-Falasifah wa al-Kalamiyin,
Kairo: ’Isa al-Babi al-Halabi, 1958.
Abdurrahman Muhammad, Manhaj Aqidah Salaf Aqidah Imam
Malik; Cet.I;
Jakarta: Pustaka Azam,
2002
Agama RI Departemen, Al-qur’an Dan
Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali,
Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005.
Ahmad Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam; Untuk IAIN
Semua Fakultas Dan Jurusan Komponen MKDU, Cet. I ; Jakarta: Pustaka Setia, 1998.
Al-Jibouri Yasin, Konsep Tuhan Menurut Islam;
Cet.I; Jakarta:
Lentera Basritama, 2003.
Bin Abd Rahman Muhammad, Paham A l-Maturidiyah
Dalam Beraqidah; Cet. I;
Jakarta:
Raja Grafindo,1998.
Bin Mahmud Abd, Meniyngkap Kesesatan Aqidah Syiah
(Jaringan Pembelah Terhadap Sunnah).
Hasan Abul, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi
Islam; Cet. I; Bandung
Pustaka Setia,1998.
Ibn Ahmad Abd al-Jabbar, j.j. Houban S.J. (Ed.) Al-Majmu’
fi al-Muhit bi al-Taklif, Vol. I, Beyrouth: L. ’Insitut des letters
Orientales de ’Beyrouth, 1965.
Nasution Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986.
Nata Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, Dan Tasawuf; Cet.II;
Jakarta: Raja
Grafindo Persada,1994.
STAIN Manado P3M,Jurnal Potret Pemikiran; Budaya
Dan Pemikiran Agama, vol.IX; Manado,
2007.
BIODATA
PENULIS
Nama : Abrar
Tempat dan Tanggal Lahir : lasusua, 12 desember 1990
Agama : Islam
Asal : lasusua,
kolaka utara (Sultra)
Alamat Sekarang :
Perum Mahkota Bumi Indah
Blok L. No. I,
Kel. Malendeng, Kec. Tikala, kota Manado
Pekerjaan :
Pelajar/Mahasiswa
Riwayat Pendidikan :
MI Negeri
Lasusua : Lulus tahun
2003
MTs
PA 11 As’adiyah
Pusat Sengkang Kab. Wajo : Lulus tahun 2006
MA
Negeri I Lasusua : Lulus tahun
2009
Kesan terhadap Dosen :
Menurut saya selama proses pelajaran
mata kuliah Ilmu Kalam yang dibawakan oleh bapak Dr. Muhammad Idris. M.Ag, itu
sangat dapat mudah dipahami dan memberikan suasana belajar yang saangat
disenangi oleh mmahasiswa. Beliau juga selalu memberikan nasehat dan motivasi
agar bagaimana menjadi orang yang sukses dan berhasil di masa akan datang.
Beliau juga sangat menerapkan sikap disiplin, baik disiplin waktu maupun
disiplin dalam mengumpulkan tugas.
Pesan
terhadap Dosen :
Agar metode belajar bapak lebih
ditingkatkan lagi agar mahasiswa lebih serius lagi dalam menerima pelajaran.
Kesan
terhadap teman-teman :
Menurut saya teman-teman saya seperti saudara sendiri karena selalu
membantu dan menyemangati saya dalam belajar.
Pesan
terhadap teman :
Saya inginkan teman-teman tetap
kompak dan serius dalam proses belajar.
[1]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h. 135
[2]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 135
[3]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 135
[4]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 135
[5]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 135
[6]Abul
Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia,
1998), h. 255
[7]Abul
Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka
Setia,1998),h.255
[8]Muhammad
Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam; Untuk IAIN Semua Fakultas Dan Jurusan Komponen
MKDU (Cet. I; Jakarta:
Pustaka Setia, 1998), h.128
[9]Muhammad
Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, h. 128
[10]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h. 136
[11]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 136
[12]Abuddin
Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, Dan Tasawu f (Cet.II; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 73.
[13]Muhammad
Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam; Untuk IAIN Semua Fakultas Dan Jurusan
Komponen MKDU (Cet. I; Jakarta:
Pustaka Setia, 1998), h. 136
[14]
Muhammad Abd Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahli Sunnah Waljamaah Menurut Pemahaman
Ulama Salaf; (Cet. I; Jakarta:
Gem Insani Press, 1992), h.124
[15]Muhammad
Abd Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahli Sunnah Waljamaah Menurut Pemahaman Ulama
Salaf, h.124-125
[16]Muhammad
Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, h. 136-137
[17]Muhammad
Bin Abd Rahman, Paham A l-Maturidiyah
Dalam Beraqidah (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo,
1998), h. 46
[18]Abul
Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia,
1998), h. 219
[19]Abul
Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, h. 235
[20]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h. 139
[21]Abd
al-Jabbar Ibn Ahmad, j.j. Houban S.J. (Ed.) Al-Majmu’ fi al-Muhit bi
al-Taklif, Vol. I; Beyrouth: L. ’Insitut des letters Orientales de
’Beyrouth, 1965), h. 248-252
[22]Abd
al-Jabbar, Al-Majmu’ fi al-Muhit bi al-Taklif, h. 252
[23]Abul
Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, h.222
[24]P3M
STAIN Manado, Jurnal Potret Pemikiran; Budaya
Dan Pemikiran Agama (vol.IX;edisi
II, Manado:
2007), h. 138
[25]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Cet. V;Jakarta: UI Press, 1986), h. 139.
[26]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 139.
[27]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 140
[28]
Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam; (Cet. I.
Pustaka Setia, Bandung: 1998), h. 218
[29]Abul
Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, h. 218
[30]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Cet. V;Jakarta: UI Press, 1986), h. 140
[31]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 140
[32]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 140-141
[33]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 140
[34]Departemen
Agama RI,Al-qur’an Dan Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: Jumanatul ‘Ali
Art, 2005), h. 578.
[35]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V;Jakarta: UI Press, 1986), h. 140
[36]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 140
[37]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 141
[38]
Departemen Agama RI, Al-qur’an Dan Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: Jumanatul ‘Ali
Art, 2005), h. 167
[39]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V;Jakarta: UI Press, 1986), h. 141
[40]Harun
Nasution, Teologi Islam, h.141
[41]Harun
Nasution, Teologi Islam, h.141
[42]Abd
al-Jabbar,Al-Majmu’ fi al-Muhit bi al-Taklif
(Vol. I; Beyrouth: L. ’Insitut des letters Orientales de
’Beyrouth, 1965), h.248-252
[43]Departemen
Agama RI, Al-qur’an Dan Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: Jumanatul ‘Ali
Art, 2005), h. 141
[44]Muhammad
Abd Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahli Sunnah Waljamaah Menurut Pemahaman Ulama
Salaf; (Cet. I; Jakarta:
Gem Insani Press, 1992), h. 126
[45]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V;Jakarta: UI Press, 1986), h. 143
[46]
Departemen Agama RI, Al-qur’an Dan Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: Jumanatul ‘Ali
Art, 2005), h. 221
[47]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h. 144
[48]Abul
Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam; (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia,
1998), h. 258-259
[49]
Abd Muhammad, Hashiyah ’ala al-’Aqa’id al-’Adudiah, dalam Al-Shaykh Muhammad
’Abduh bayn al-Falasifah wa al-Kalamiyin (Kairo: ’Isa al-Babi al-Halabi, 1958),
h. 588
[50]Departemen
Agama RI, Al-qur’an Dan Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: Jumanatul ‘Ali
Art, 2005), h. 407.
[51]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h.
144
[52]Departemen
Agama RI, Al-qur’an Dan Terjemahannya; Al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: Jumanatul ‘Ali
Art, 2005), h.271
[53]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h.
145
[54]Harun
Nasution, Teologi Islam, h.145
[55]Harun
Nasution, Teologi Islam, h.145
[56]Harun
Nasution, Teologi Islam, h.146
[57]Muhammad
Abd Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahli Sunnah Waljamaah Menurut Pemahaman Ulama
Salaf (Cet. I; Jakarta:
Gem Insani Press, 1992), h. 125
[58]Muhammad
Abd Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahli Sunnah Waljamaah, h. 125
[59]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h.
137
[60]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 137
[61]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 137
[62]Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 137
[63]Yasin
Al-Jibouri, Konsep Tuhan Menurut Islam (Cet. I; Jakarta: Lentera Basritama,2003), h.252.
[64]Yasin
Al-Jibouri, Konsep Tuhan Menurut
Islam (Cet. I; Jakarta:
Lentera Basritama, 2003 ), h. 253
[65]Yasin
Al-Jibouri, Konsep Tuhan Menurut Islam
(Cet. I; Jakarta:
Lentera Basritama, 2003 ), h. 253
[66]Abd
bin Mahmud, Meniyngkap Kesesatan Aqidah Syiah (Jaringan Pembelah
Terhadap Sunnah), h. 13
[67]Abd
bin Mahmud, Meniyngkap Kesesatan Aqidah Syiah, h. 13
[68]
Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Cet. I. Pustaka
Setia, Bandung: 1998), h. 217
[69]
Abul Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, h. 217
[70]Abul
Hasan, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 217-218
[71]
Yasin Al-Jibouri, Konsep Tuhan Menurut Islam (Cet. I; Jakarta: Lentera Basritama,2003), h.243
[72]Yasin
Al-Jibouri, Konsep Tuhan Menurut Islam, h.243
[73]Muhammad
Abdurrahman, Manhaj Aqidah Salaf Aqidah Imam Malik (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azam,
2002), h. 219
[74]Muhammad
Abdurrahman, Manhaj Aqidah Salaf Aqidah Imam Malik, h. 219
[75]Muhammad
Abdurrahman, Manhaj Aqidah Salaf Aqidah Imam Malik (Cet I; Jakarta: Pustaka Azam,
2002), h. 219
Tidak ada komentar:
Posting Komentar