1.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam
merupakan agama yang selalu mengajarkan kepada umatnya untuk berhak berlaku
amanah kepada sesama manusia, apabila seorang muslim diberikan kepercayaan maka
berhak untuk menjaga kepercayaan atau amanah yang diberikan kepadanya.
Hal
itu diajarkan dan harus ditanamkan dalam diri seorang muslim karena amanah
merupakan salah satu ciri dari seorang mulsim yang beriman kepada Allah Swt, yang
dapat menciptakan keharmonisan dalam bermasyarakat.
Maka
dari itu pada makalah ini pemakalah akan menguraikan secara rinci tentang
amanah melalui berbagai macam buku-buku mengenai hal itu.
B.
Rumusan Masalah
Bertitik
tolak dari uraian permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
adalah:
1.
Apa yang dimaksud dengan amanah?
2.
Siapa yang berhak menyampaikan amanah?
3.
Bagaimana sikap al-Qur’an terhadap
Amanah?
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Amanah
kata amanah bentuk dasar dari amuna-ya’munu
yaitu jujur atau bisa dipercaya (jamak amanat). Amanah berarti kerabat,
ketentraman, atau dapat dipercaya.[1]Pengertian
amanah yang begitu banyak menunjukkan bahwa esensi amanah itu sangat luas yang
memiliki banyak manfaat.
Kata amanah (امانة ) adalah bentuk
mashdar dari kata kerja amina-ya’manu-amnan-wa amanatun (امن-يامن-امنا-و امانة).
kata kerja ini berakar huruf-huruf hamzah, mim, dan nun,
yang bermakna pokok ‘aman, ‘tentram’,‘tenanag’, dan ‘hilangnya rasa takut’.[2]
Kata amanah baik dalam bentuk mufrad
maupun jamak disebutkan sebanyak enam kali di dalam al-Qur’an, al-Qur’an
menggunakan kata amanah bentuk mufrad antara lain di dalam konteks pembicaraan
tentang perdagangan berupa jaminan yang harus dipegang oleh orang yang amanah.[3]Apabila
dalam berdagang menggunakan konsep amanah maka ada jaminan saling mempercayai
antara pembeli dan pedagang.
Dalam
bahasa Arab, kata amanah diambil dari akar kata alif, mim dan nun
yang memiliki dua makna:[4]
1) lawan kata khianat yaitu ketenangan dan
ketenteraman hati.
2) al-tasydiq yaitu pembenaran.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia edisi
ketiga menyatakan bahwa amanah adalah kerabat, sesuatu yang dipercayakan
(dititipkan) kepada orang lain.[5]
Menitipkan pesan kepada orang lain agar dia melaksanakannya dengan baik.
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia yang lain, kata yang menunjuk makna kepercayaan
menggunakan dua kata, yaitu amanah atau amanat. Amanah memiliki beberapa arti,
antara lain:[6]
1) pesan yang dititipkan kepada orang lain
untuk disampaikan.
2) keamanan: ketenteraman.
3) kepercayaan.
Sedangkan
amanat diartikan sebagai:[7]
1) Sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan
kepada orang lain.
2) Pesan.
3) Nasihat yang baik dan berguna dari orang
tua-tua; petuah.
4) Perintah (dari atas).
5) Wejangan (dari seorang pemimpin)
Amanah
itu adalah setiap hal yang dpercayakan kepada seseorang dan dia diperintahkan
untuk menunaikannya, Allah Swt memerintahkan hamba-hambaNya agar menunaikan
amanah, maksudnya secara sempurna dan penuh, tidak dikurangi, dicurangi, dan tidak
pula diulur-ulur, dan termasuk dalam amanah di sini adalah amanah kekuasaan,
harta, rahasia-rahasia dan perintah-perintah yang tidak diketahui kecuali Allah
semata. Sesungguhnya para ahli fiqih telah menyebutkan bahwa barangsiapa
diserahkan kepadanya suatu amanah maka
ia wajib menjaga amanah tersebut dalam
suatu tempat yang patut, mereka berkata,
“karena sesungguhnya tidaklah mungkin dapat ditunaikan kecuali dengan
menjaganya maka wajiblah hal itu dilakukan”. [8]
Abu
Hayyan al-Andalusi mengatakan bahwa secara kasat mata, amanah adalah segala
bentuk kepercayaan yang diberikan kepada seseorang, baik dalam bentuk perintah
maupun larangan, baik terkait urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Sehingga
semua syariat Allah adalah amanah.[9]
Al-Qurtubi
berpendapat bahwa amanah adalah segala sesuatu yang dipikul/ditanggung manusia,
baik sesuatu terkait dengan urusan agama maupun urusan dunia, baik terkait
dengan perbuatan maupun dengan perkataan di mana puncak amanah adalah penjagaan
dan pelaksanaannya.[10]
Penggunaan kata amanah lainnya
adalah dalam konteks pembicaraan tentang kesediaan manusia melaksanakan amanah
yang ditawarkan oleh Allah Swt. setelah satupun tidak ada makhluk yang sanggup
memikulnya.[11]
Begitu beratnya amanah itu sehingga tidak ada satu pun yang sanggup untuk
memikulnya.
Allah Swt berfirman dalam surat al-Ahzab
ayat 72
$¯RÎ)
$oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
ÉA$t6Éfø9$#ur ú÷üt/r'sù
br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur
$pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$#
( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß
Zwqßgy_ ÇÐËÈ
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim
dan Amat bodoh.[12]
Sesungguhnya Allah telah menawarkan
tugas-tugas keagamaan kepada langit, bumi dan, gunung-gunung. Karena ketiganya tidak
mempunyai persiapan untuk menerima amanat yang berat itu maka semuanya enggan
untuk memikul amanat yang ditawarkan Allah itu.[13]
Harus memiliki persiapan yang baik apabila hendak menerima suatu amanah supaya
dalam pelaksanaannya tidak mendapat kesulitan.
Kemudian amanat untuk melaksanakan
tugas-tugas keagamaan itu ditawarkan kepada manusia dan mereka menerimanya
dengan konsekuensi barang siapa yang melaksanakan ia akan diberi pahala dan
dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya barang sipa yang menghianatinya akan
disiksa dan dimasukkan ke dalam api neraka, walaupun bentuk badannya lebih
kecil dibandingkan dengan ketiga nakhluk yang lain (langit, bumi, dan
gunung-gunung), manusia berani menerima amanat tersebut karena manusia
mempunyai potensi. Tetapi, karena pada diri manusia terdapat ambisi dan syahwat
yang sering mengelabui mata dan menutup pandangan hatinya, Allah menyifatinya
dengan amat zalim dan bodoh karena kurang memikirkan akibat-akibat dari
penerimaan amanat itu.[14]
potensi dalam diri manusia apabila digunakan dengan baik untuk melaksanakan amanat
itu maka akan mendapatkan balasan pahala yang banyak bahkan akan dimasukkan ke
dalam surga.
Al-Biqa’i
ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa yang dimaksud al-insan
adalah mayoritas manusia, bukan setiap individu manusia. Oleh karena itu,
manusia yang khianat terhadap amanah jauh lebih banyak dari pada yang memegang
amanah, karena nafsu manusia pada dasarnya penuh dengan kekurangan dan
keinginan. Oleh sebab itu, Allah swt. menyifati manusia dengan zalum jahul
agar manusia tidak sekedar melihat sifatnya yang al-ins/jinak dan ramah,
al-‘isyq/keinginan yang kuat, al-‘aql/akal fikiran dan al-fahm/pemahaman
sehingga seakan tidak memiliki kekurangan.[15]
Tafsir Mufradat
Kata (عرضنا) ‘ardhna
terambil dari kata (عرض) ‘aradha yakni memaparkan sesuatu kepada pihak lain agar
dia memilih untuk menerima atau menolaknya. Ayat di atas mengemukakan satu
ilustrasi tentang rawaran yang diberikan Allah kepada yang disebut oleh ayat
ini. Tawaran tersebut bukan bersifat pemaksaan. Tentu saja siapa yang ditawari
itu dinilai oleh yang menawarkannya memiliki potensi untuk melaksanakannya.
Atas dasar itu sementara ulama menambahkan bahwa tawaran Allah kepada langit,
bumi dan gunung-gunung itu, dan informasinya bahwa mereka menolak, merupakan
pertanda bahwa sebenarnya mereka semua bukanlah makhluk yang dapat memikul
amanat itu.[16]
Di
sisi lain penyerahan amanat itu oleh Allah kepada manusia dan penerimaan
makhluk ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi untuk melakuknnya dengan
baik, ini karena Allah tidak akan menyerahkannya bila Dia mengetahui ketiadaan
potensi itu.[17]Bahwa
Allah mejadikan amanat itu sangat berat karena adanya kemapuan potensi manusia
untuk melaksanakannya.
Tujuan
informasi ayat di atas tentang penolakan langit, bumi, dan gunung-gunung adalah
untuk menggambarkan betapa besar amanat itu, bukannya untuk menggambarkan betapa kecil dan remeh
ciptaan-ciptaan Allah itu.[18]
Berbeda-beda
pendapat ulama tentang yang dimaksud oleh ayat di atas dengan kata (الامانة) al-amanah. Ada yang
mempersempit sehngga menentukan kewajiban keagamaan tertentu, seperti rukun
islam, atau puasa, dan mandi janabah saja, ada juga yang memperluasnya sehingga
mencakup semua beban keagamaan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti akal
karena dengannya makhluk/ manusia memikul tanggungjawab.[19]
*
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4
¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3
¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
B. Yang Berhak Menyampaikan
amanah
Ayat
di atas ini memerintahkan agar
menyampaikan amanah kepada yang berhak. Amanat pada ayat ini sesuatu yang
dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Amanat
dengan pengertian ini sangat luas, meliputi amanat Allah kepada hamba-hambaNya,
amanat seseorang kepada sesamanya dan terhadap dirinya sendiri.[20]
1. Amanah dalam Arti
Tanggung Jawab Personal Manusia kepada Allah SWT
Amanat
Allah terhadap hambaNya yang harus dilaksanakan yaitu melaksanakan apa yang diperintahkanNya
dan menjauhi laranganNya. Semua nikmat Allah beupa apa saja hendaklah kita
manfaatkan untuk taqarrub (mendekatkan diri)kepadaNya.[21]
Ini merupakan amanat yang harus dilaksanakan agar dapat menyelamatkan manusia
di akhirat kelak.
Alasan penolakan alam
(bumi, langit dan sebagainya) terhadap amanah (QS.Al-Ahzab: 72) adalah karena
mereka tidak memiliki potensi kebebasan seperti manusia. Padahal untuk
menjalankan amanah diperlukan kebebasan yang diiringi dengan tanggung jawab.
Olehsebabitu, apapun yang dilakukan bumi, langit, gunung terhadap manusia,
walaupun sampai menimbulkan korban jiwa dan harta benda, tetap saja
“benda-benda alam” itu tidak dapat diminta pertanggung jawabannya oleh Allah.
Berbeda dengan manusia. Apapun yang dilakukannya tetap dituntut pertanggung
jawaban. Manusia adalah khalifah fi al-ardh, oleh karena itu manusia
memiliki beban (tugas) untuk memakmurkan bumi (wasta’marakumalardh). Sebuah
tugas yang mahaberat, karena menuntut kesungguhan dan keseriusan kita dalam
menjalankannya. Bahkan tugas ini jauh lebih berat dari melaksanakan ibadah.
Secara sederhana dapat dikatakan sebagai seorang muslim, hidup tidak sekedar
menjalankan ibadah mahdzoh saja, lalu kita merasa nyaman. Hidup sesungguhnya
adalah sebuah perjuangan untuk menegakkan kebaikan. Jadi perbedaan manusia dari
makhluk lain adalah karena manusia telah diberi potensi kebebasan dan akal,
sehingga dengan potensi itu manusia mampu mengenal Rabbnya sendiri, mampu
menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri.
Semua yang dilakukan manusia adalah pilihannya sendiri, dengan mempergunakan
semua potensi dalam dirinya, sehingga manusia akan memikul akibat dari
pilihannya itu, dan balasan untuknya sesuai denganamalnya.
2. Amanah dalam Arti Tanggung Jawab Sosial
Manusia kepada Sesama
Dalam pandangan Islam setiap orang adalah
pemimpin, baik itu pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat maupun
yang lainnya. Sebab, manusia adalah makhluk sosial dan mempunyai tanggung jawab
sosial pula. Tentu saja semua itu akan dimintai pertanggung jawaban.
Fenomena yang terjadi
saat ini adalah seringkali amanah dijadikan sebuah komoditi untuk meraih
kekuasaan atau materi (dunia). Sehingga saat ini banyaksekali orang yang
meminta amanah kepemimpinan dan jabatan, padahal belum tentu orang tersebut
mempunyai kapabilitas untuk menjalankan amanah itu.
Rasulullah mengancam akan
hancurnya suatu bangsa, dalam sebuah hadis
قال عليه الصلاة و السلام : إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة ، قال أبو هريرة : كيف إضاعتها يا رسول الله ؟ قال : إذا أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري)
artinya
قال عليه الصلاة و السلام : إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة ، قال أبو هريرة : كيف إضاعتها يا رسول الله ؟ قال : إذا أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري)
artinya
Bila amanah disia-siakan,
maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau
bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka
tunggulah kehancurannya”. (H.R. Bukhari).
Amanah menempati posisi
‘strategis’ dalam syariat Islam. Rasulullah saw sendiri mendapat gelar Al Amin
(yang bisa dipercaya). Amanah menjadi salah satu pembeda kaum muslim dengan
kaum munafik.
Meminta jabatan (amanah)
sebagai pemimpin merupakan perbuatan yang dicela. Amanah akan menjadi
penyesalan di akhirat kelak. Betapa tidak, jika seorang yang mendapat amanah
tidak menjalankan dengan baik, mengingkari janjinya dan menipu saudaranya maka
ia diharamkan masuk surga. Rasulullah mengancam pemimpin yang menghianati dan
menyelewengkan amanah yang telah di bebankan kepadanya dengan ancaman berat.
Amanat
seseorang terhadap sesamanya yang harus dilaksanakan antara lain, mengembalikan
titipan kepada yag punya dengan tidak kurang suatu apapun, tidak menipunya,
memelihara rahasia dan lain sebagainya dan termasuk juga di antaranya ialah:[22]
1. Sifat adil penguasa
terhadap rakyat dalam bidang apapun dengan tidak membeda-bedakan antara satu
dengan yang lain di dalam pelaksanaan hukum, sekalipun terhadap keluarga dan
anak sendiri.
2. Sifat adil ulama
(yaitu orang yang berilmu pengetahuan) terhadap orang awam, seperti menanamkan ke
dalam hati mereka akidah yang benar, membimbingnya kepada amal yang bermanfaat
baginya di dunia dan di akhirat, memberikan pendidikan yang baik, menganjurkan
usaha yang halal, memberikan nasihat- nasiha tyang menambah kuat imannya,
menyelamatkan dair perbuatan dosa dan maksiat, membangkitkan semangat untuk
berbuat dan melakukan kebajikan, mengelurakan fatwa yang berguna dan bermanfaat
di dalam melaksanakan syariat dan ketentuan Allah Swt.
3. Sifat adil suami
terhadap istrinya begitupun sebaliknyaseperti melaksanakan kewajiban
masing-masing terhadap yang lain, terutama rahasia khusus antaa keduanya yang
itdak baik diketahui orang lain.
Amanat
sesorang terhadap dirinya seperti
berbuat sesuatu yang menguntungkan dan bermanfaat bagi dirinya dalam soal dunia
dan agamanya. Janganlah ia membuat hal-hal yang membahayakan di dunia dan
akhirat.[23] maka
harus melaksanakan amanah untuk menyelamatkan diri sendiri di dunia dan di
kahirat kelak.
Ajaran
yang sangat baik yaitu melaksanakan amanah dan hukum dengan seadil-adilnya,
jangan sekali-kali diabaikan, tetapi hendaklah diindahkan, diperhatikan dan
diterapkan dalam hidup untuk dapat mencapai kebahagian dunia dan akhirat.[24]
C. Sikap al-Qur’an Terhadap
Amanah
Untuk melihat seberapa
penting amanah dalam kehidupan sehari-hari, maka penting menjelaskan sikap
al-Qur’an terhadap amanah. Sikap al-Qur’an ketika menjelaskan ayat-ayat amanah
dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:
a. Perintah Menjaga
amanah
Banyak dijumpai dalam
al-Qur’an, ayat-ayat yang menyuruh melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Seperti
dalam QS. al-Nisa’: 58:
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا….
Terjemahnya:
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”[25].
Meskipun ayat tersebut turun dalam masalah ‘Usman
ibn Talhah al-Hujubi tentang kunci Ka’bah yang diminta oleh al-‘Abbas agar dia
yang memegangnya, kemudian Allah swt, menurunkan ayat tersebut sebagai perintah
agar memberikan amanah kepada orang yang berhak namun menurut Wahbah al-Zuhaili,
ayat tersebut tetap berlaku bagi setiap orang agar melaksanakan amanah yang
menjadi tanggungannya, baik kepada khalayak maupun kepada individu tertentu.[26]
b. Larangan Mengkhianati Amanah
Sebagai konsekwensi dari
kewajiban melaksanakan amanah, maka sudah barang tentu mengkhianati amanah
merupakan hal yang dilarang oleh agama. Salah satu ayat yang menjelaskan
tentang larangan mengkhianati amanah yaitu dalam surah al-anfal ayat 27:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا
أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Terjemahnya:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.[27]
III. PENUTUP
A. kesimpulan
1. kata amanah
bentuk dasar dari amuna-ya’munu yaitu jujur atau bisa dipercaya (jamak
amanat). Amanah berarti kerabat, ketentraman, atau dapat dipercaya. Pengertian amanah
yang begitu banyak menunjukkan bahwa esensi amanah itu sangat luas yang
memiliki banyak manfaat. Kata amanah (امانة ) adalah bentuk
mashdar dari kata kerja amina-ya’manu-amnan-wa amanatun (امن-يامن-امنا-و امانة).
kata kerja ini berakar huruf-huruf hamzah, mim, dan nun,
yang bermakna pokok ‘aman, ‘tentram’,‘tenang’, dan ‘hilangnya rasa takut’.
2. Amanat sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang
untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Amanat dengan pengertian ini sangat
luas, meliputi amanat Allah kepada hamba-hambaNya, amanat seseorang kepada
sesamanya dan terhadap dirinya sendiri.
3. Perintah Menjaga amanah
seperti yang dijelaskan pada surah an-Nisa ayat 58, dan larangan untuk menghianati amanah seperti
yang dijelaskan pada surah al-Anfal ayat 27.
B. saran
Demikianlah
apa yang dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, kritik Dan saran yang
sifatnya membangun tetap penulis nantikan, utamanya dari bapak Pembina mata
kuliah Tafsir Siyasah, untuk perbaikan di waktu mendatang. Semoga tulisan ini
membawa manfaat. Kesempurnaanya hanya milik Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Abu al-Husain bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah,
Beirut: Dar al-Fikr.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV.
Naladana,2004.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen
Agama RI, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2008
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Ibrahim Abu al-Hasan Burhan al-Din ibn ‘Umar al-Biqa’i, Nazm
al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, al-Qahirah: Dar al-Kitab al-Islami
Iqbal Muhammad, et.al , terjemahan tafsir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-mannan oleh
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007.
Muhammad Abu ‘Abdillah ibn
Ahmad Syams al-Din al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1964.
Muhammad Abu Hayyan
ibn Yusuf al-Andalusi, al-Bahr al-Muhit, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993.
Perpustakaan nasional RI,
Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta:Ichtiar Baru Van
Houte, 2006.
Shihab M. Quraish, Ensiklopeddi
al-Qur’an Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera hati,
2007.
…………… Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008.
Zuhaili Wahbah ibn Mustafa, al-Tafsir
al-Wasit, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1422 H.
[1]Perpustakaan nasional RI, Ensiklopedi
Hukum Islam (Jakarta:Ichtiar Baru Van Houte, 2006), h. 103.
[4]Abu
al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz.I
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h.138.
[5]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 35.
[6]Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa
Indonesia (Jakarta: PusatBahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h.
48.
[7]Ibid
[8]Muhammad
Iqbal, et.al , terjemahan tafsir al-Karim
ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-mannan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
(Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007), h. 109.
[9]Abu
Hayyan Muhammad ibn Yusuf al-Andalusi, al-Bahr al-Muhit, (Juz VII; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), h. 243
[10]Abu
‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad Syams al-Din al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an, (Juz. XII; al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Misriyyah,1964),
h. 107.
[13]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan
Tafsirnya, (jilid VIII; Jakarta: Kementrian Agama RI, 2010), h. 50.
[15]Abu al-Hasan Burhan al-Din Ibrahim ibn ‘Umar
al-Biqa’i, Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, Juz. XV
(al-Qahirah: Dar al-Kitab al-Islami, t.th.), h. 425.
[17]ibid
[20] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan
Tafsirnya, (jilid II; Jakarta: Kementrian Agama RI, 2010), h. 196-197.
[21]Ibid
[22]ibid
[23]Ibid
[26] Wahbah
ibn Mustafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wasit, (Juz. I; Damsyiq: Dar al-Fikr, 1422 H.), h. 334.