Kamis, 28 November 2013

Berlaku Amanah

1.        PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
            Islam merupakan agama yang selalu mengajarkan kepada umatnya untuk berhak berlaku amanah kepada sesama manusia, apabila seorang muslim diberikan kepercayaan maka berhak untuk menjaga kepercayaan atau amanah yang diberikan kepadanya.
            Hal itu diajarkan dan harus ditanamkan dalam diri seorang muslim karena amanah merupakan salah satu ciri dari seorang mulsim yang beriman kepada Allah Swt, yang dapat menciptakan keharmonisan dalam bermasyarakat.
            Maka dari itu pada makalah ini pemakalah akan menguraikan secara rinci tentang amanah melalui berbagai macam buku-buku mengenai hal itu.

B.   Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah:
1.      Apa yang dimaksud dengan amanah?
2.      Siapa yang berhak menyampaikan amanah?
3.      Bagaimana sikap al-Qur’an terhadap Amanah?














II.      PEMBAHASAN
A.  Pengertian Amanah
kata amanah bentuk dasar dari amuna-ya’munu yaitu jujur atau bisa dipercaya (jamak amanat). Amanah berarti kerabat, ketentraman, atau dapat dipercaya.[1]Pengertian amanah yang begitu banyak menunjukkan bahwa esensi amanah itu sangat luas yang memiliki banyak manfaat.
Kata amanah (امانة ) adalah bentuk mashdar dari kata kerja amina-ya’manu-amnan-wa amanatun (امن-يامن-امنا-و امانة). kata kerja ini berakar huruf-huruf hamzah, mim, dan nun, yang bermakna pokok ‘aman, ‘tentram’,‘tenanag’, dan ‘hilangnya rasa takut’.[2]
Kata amanah baik dalam bentuk mufrad maupun jamak disebutkan sebanyak enam kali di dalam al-Qur’an, al-Qur’an menggunakan kata amanah bentuk mufrad antara lain di dalam konteks pembicaraan tentang perdagangan berupa jaminan yang harus dipegang oleh orang yang amanah.[3]Apabila dalam berdagang menggunakan konsep amanah maka ada jaminan saling mempercayai antara pembeli dan pedagang.
Dalam bahasa Arab, kata amanah diambil dari akar kata alif, mim dan nun yang memiliki dua makna:[4]
 1) lawan kata khianat yaitu ketenangan dan ketenteraman hati.
 2) al-tasydiq yaitu pembenaran.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia edisi ketiga menyatakan bahwa amanah adalah kerabat, sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang lain.[5] Menitipkan pesan kepada orang lain agar dia melaksanakannya  dengan baik.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lain, kata yang menunjuk makna kepercayaan menggunakan dua kata, yaitu amanah atau amanat. Amanah memiliki beberapa arti, antara lain:[6]
 1) pesan yang dititipkan kepada orang lain untuk disampaikan.
 2) keamanan: ketenteraman.
 3) kepercayaan.
Sedangkan amanat diartikan sebagai:[7]
 1) Sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan kepada orang lain.
 2) Pesan.
 3) Nasihat yang baik dan berguna dari orang tua-tua; petuah.
 4) Perintah (dari atas).
 5) Wejangan (dari seorang pemimpin)
Amanah itu adalah setiap hal yang dpercayakan kepada seseorang dan dia diperintahkan untuk menunaikannya, Allah Swt memerintahkan hamba-hambaNya agar menunaikan amanah, maksudnya secara sempurna dan penuh, tidak dikurangi, dicurangi, dan tidak pula diulur-ulur, dan termasuk dalam amanah di sini adalah amanah kekuasaan, harta, rahasia-rahasia dan perintah-perintah yang tidak diketahui kecuali Allah semata. Sesungguhnya para ahli fiqih telah menyebutkan bahwa barangsiapa diserahkan kepadanya suatu amanah  maka ia wajib menjaga  amanah tersebut dalam suatu tempat  yang patut, mereka berkata, “karena sesungguhnya tidaklah mungkin dapat ditunaikan kecuali dengan menjaganya maka wajiblah hal itu dilakukan”. [8]  
Abu Hayyan al-Andalusi mengatakan bahwa secara kasat mata, amanah adalah segala bentuk kepercayaan yang diberikan kepada seseorang, baik dalam bentuk perintah maupun larangan, baik terkait urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Sehingga semua syariat Allah adalah amanah.[9]
Al-Qurtubi berpendapat bahwa amanah adalah segala sesuatu yang dipikul/ditanggung manusia, baik sesuatu terkait dengan urusan agama maupun urusan dunia, baik terkait dengan perbuatan maupun dengan perkataan di mana puncak amanah adalah penjagaan dan pelaksanaannya.[10]
Penggunaan kata amanah lainnya adalah dalam konteks pembicaraan tentang kesediaan manusia melaksanakan amanah yang ditawarkan oleh Allah Swt. setelah satupun tidak ada makhluk yang sanggup memikulnya.[11] Begitu beratnya amanah itu sehingga tidak ada satu pun yang sanggup untuk memikulnya.
Allah Swt berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 72
$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur šú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ  
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.[12]

Sesungguhnya Allah telah menawarkan tugas-tugas keagamaan kepada langit, bumi dan, gunung-gunung. Karena ketiganya tidak mempunyai persiapan untuk menerima amanat yang berat itu maka semuanya enggan untuk memikul amanat yang ditawarkan Allah itu.[13] Harus memiliki persiapan yang baik apabila hendak menerima suatu amanah supaya dalam pelaksanaannya tidak mendapat kesulitan.
Kemudian amanat untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan itu ditawarkan kepada manusia dan mereka menerimanya dengan konsekuensi barang siapa yang melaksanakan ia akan diberi pahala dan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya barang sipa yang menghianatinya akan disiksa dan dimasukkan ke dalam api neraka, walaupun bentuk badannya lebih kecil dibandingkan dengan ketiga nakhluk yang lain (langit, bumi, dan gunung-gunung), manusia berani menerima amanat tersebut karena manusia mempunyai potensi. Tetapi, karena pada diri manusia terdapat ambisi dan syahwat yang sering mengelabui mata dan menutup pandangan hatinya, Allah menyifatinya dengan amat zalim dan bodoh karena kurang memikirkan akibat-akibat dari penerimaan amanat itu.[14] potensi dalam diri manusia apabila digunakan dengan baik untuk melaksanakan amanat itu maka akan mendapatkan balasan pahala yang banyak bahkan akan dimasukkan ke dalam surga.
Al-Biqa’i ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa yang dimaksud al-insan adalah mayoritas manusia, bukan setiap individu manusia. Oleh karena itu, manusia yang khianat terhadap amanah jauh lebih banyak dari pada yang memegang amanah, karena nafsu manusia pada dasarnya penuh dengan kekurangan dan keinginan. Oleh sebab itu, Allah swt. menyifati manusia dengan zalum jahul agar manusia tidak sekedar melihat sifatnya yang al-ins/jinak dan ramah, al-‘isyq/keinginan yang kuat, al-‘aql/akal fikiran dan al-fahm/pemahaman sehingga seakan tidak memiliki kekurangan.[15]    
Tafsir Mufradat
Kata (عرضنا) ‘ardhna terambil dari kata (عرض) ‘aradha yakni memaparkan sesuatu kepada pihak lain agar dia memilih untuk menerima atau menolaknya. Ayat di atas mengemukakan satu ilustrasi tentang rawaran yang diberikan Allah kepada yang disebut oleh ayat ini. Tawaran tersebut bukan bersifat pemaksaan. Tentu saja siapa yang ditawari itu dinilai oleh yang menawarkannya memiliki potensi untuk melaksanakannya. Atas dasar itu sementara ulama menambahkan bahwa tawaran Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung itu, dan informasinya bahwa mereka menolak, merupakan pertanda bahwa sebenarnya mereka semua bukanlah makhluk yang dapat memikul amanat itu.[16]
Di sisi lain penyerahan amanat itu oleh Allah kepada manusia dan penerimaan makhluk ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi untuk melakuknnya dengan baik, ini karena Allah tidak akan menyerahkannya bila Dia mengetahui ketiadaan potensi itu.[17]Bahwa Allah mejadikan amanat itu sangat berat karena adanya kemapuan potensi manusia untuk melaksanakannya.
Tujuan informasi ayat di atas tentang penolakan langit, bumi, dan gunung-gunung adalah untuk menggambarkan betapa besar amanat itu, bukannya untuk menggambarkan betapa kecil dan remeh ciptaan-ciptaan Allah itu.[18]
Berbeda-beda pendapat ulama tentang yang dimaksud oleh ayat di atas  dengan kata (الامانة) al-amanah. Ada yang mempersempit sehngga menentukan kewajiban keagamaan tertentu, seperti rukun islam, atau puasa, dan mandi janabah saja, ada juga yang memperluasnya sehingga mencakup semua beban keagamaan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti akal karena dengannya makhluk/ manusia memikul tanggungjawab.[19]
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.

B.  Yang Berhak Menyampaikan amanah
Ayat di atas ini memerintahkan agar menyampaikan amanah kepada yang berhak. Amanat pada ayat ini sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Amanat dengan pengertian ini sangat luas, meliputi amanat Allah kepada hamba-hambaNya, amanat seseorang kepada sesamanya dan terhadap dirinya sendiri.[20]   
1.       Amanah dalam Arti Tanggung Jawab Personal Manusia kepada Allah SWT
Amanat Allah terhadap hambaNya yang harus dilaksanakan yaitu melaksanakan apa yang diperintahkanNya dan menjauhi laranganNya. Semua nikmat Allah beupa apa saja hendaklah kita manfaatkan untuk taqarrub (mendekatkan diri)kepadaNya.[21] Ini merupakan amanat yang harus dilaksanakan agar dapat menyelamatkan manusia di akhirat kelak.
Alasan penolakan alam (bumi, langit dan sebagainya) terhadap amanah (QS.Al-Ahzab: 72) adalah karena mereka tidak memiliki potensi kebebasan seperti manusia. Padahal untuk menjalankan amanah diperlukan kebebasan yang diiringi dengan tanggung jawab. Olehsebabitu, apapun yang dilakukan bumi, langit, gunung terhadap manusia, walaupun sampai menimbulkan korban jiwa dan harta benda, tetap saja “benda-benda alam” itu tidak dapat diminta pertanggung jawabannya oleh Allah. Berbeda dengan manusia. Apapun yang dilakukannya tetap dituntut pertanggung jawaban. Manusia adalah khalifah fi al-ardh, oleh karena itu manusia memiliki beban (tugas) untuk memakmurkan bumi (wasta’marakumalardh). Sebuah tugas yang mahaberat, karena menuntut kesungguhan dan keseriusan kita dalam menjalankannya. Bahkan tugas ini jauh lebih berat dari melaksanakan ibadah. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai seorang muslim, hidup tidak sekedar menjalankan ibadah mahdzoh saja, lalu kita merasa nyaman. Hidup sesungguhnya adalah sebuah perjuangan untuk menegakkan kebaikan. Jadi perbedaan manusia dari makhluk lain adalah karena manusia telah diberi potensi kebebasan dan akal, sehingga dengan potensi itu manusia mampu mengenal Rabbnya sendiri, mampu menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri. Semua yang dilakukan manusia adalah pilihannya sendiri, dengan mempergunakan semua potensi dalam dirinya, sehingga manusia akan memikul akibat dari pilihannya itu, dan balasan untuknya sesuai denganamalnya.
2.  Amanah dalam Arti Tanggung Jawab Sosial Manusia kepada Sesama
Dalam pandangan Islam setiap orang adalah pemimpin, baik itu pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat maupun yang lainnya. Sebab, manusia adalah makhluk sosial dan mempunyai tanggung jawab sosial pula. Tentu saja semua itu akan dimintai pertanggung jawaban.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah seringkali amanah dijadikan sebuah komoditi untuk meraih kekuasaan atau materi (dunia). Sehingga saat ini banyaksekali orang yang meminta amanah kepemimpinan dan jabatan, padahal belum tentu orang tersebut mempunyai kapabilitas untuk menjalankan amanah itu.
Rasulullah mengancam akan hancurnya suatu bangsa, dalam sebuah hadis
قال عليه الصلاة و السلام : إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة ، قال أبو هريرة : كيف إضاعتها يا رسول الله ؟ قال : إذا أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري)
artinya
Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan,   bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (H.R. Bukhari).
Amanah menempati posisi ‘strategis’ dalam syariat Islam. Rasulullah saw sendiri mendapat gelar Al Amin (yang bisa dipercaya). Amanah menjadi salah satu pembeda kaum muslim dengan kaum munafik.
Meminta jabatan (amanah) sebagai pemimpin merupakan perbuatan yang dicela. Amanah akan menjadi penyesalan di akhirat kelak. Betapa tidak, jika seorang yang mendapat amanah tidak menjalankan dengan baik, mengingkari janjinya dan menipu saudaranya maka ia diharamkan masuk surga. Rasulullah mengancam pemimpin yang menghianati dan menyelewengkan amanah yang telah di bebankan kepadanya dengan ancaman berat.
Amanat seseorang terhadap sesamanya yang harus dilaksanakan antara lain, mengembalikan titipan kepada yag punya dengan tidak kurang suatu apapun, tidak menipunya, memelihara rahasia dan lain sebagainya dan termasuk juga di antaranya ialah:[22]  
1.      Sifat adil penguasa terhadap rakyat dalam bidang apapun dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain di dalam pelaksanaan hukum, sekalipun terhadap keluarga dan anak sendiri. 
2.      Sifat adil ulama (yaitu orang yang berilmu pengetahuan) terhadap orang awam, seperti menanamkan ke dalam hati mereka akidah yang benar, membimbingnya kepada amal yang bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat, memberikan pendidikan yang baik, menganjurkan usaha yang halal, memberikan nasihat- nasiha tyang menambah kuat imannya, menyelamatkan dair perbuatan dosa dan maksiat, membangkitkan semangat untuk berbuat dan melakukan kebajikan, mengelurakan fatwa yang berguna dan bermanfaat di dalam melaksanakan syariat dan ketentuan Allah Swt.
3.      Sifat adil suami terhadap istrinya begitupun sebaliknyaseperti melaksanakan kewajiban masing-masing terhadap yang lain, terutama rahasia khusus antaa keduanya yang itdak baik diketahui orang lain. 
Amanat sesorang terhadap dirinya  seperti berbuat sesuatu yang menguntungkan dan bermanfaat bagi dirinya dalam soal dunia dan agamanya. Janganlah ia membuat hal-hal yang membahayakan di dunia dan akhirat.[23] maka harus melaksanakan amanah untuk menyelamatkan diri sendiri di dunia dan di kahirat kelak.
Ajaran yang sangat baik yaitu melaksanakan amanah dan hukum dengan seadil-adilnya, jangan sekali-kali diabaikan, tetapi hendaklah diindahkan, diperhatikan dan diterapkan dalam hidup untuk dapat mencapai kebahagian dunia dan akhirat.[24]

C.  Sikap al-Qur’an Terhadap Amanah
Untuk melihat seberapa penting amanah dalam kehidupan sehari-hari, maka penting menjelaskan sikap al-Qur’an terhadap amanah. Sikap al-Qur’an ketika menjelaskan ayat-ayat amanah dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:
a.       Perintah Menjaga amanah
Banyak dijumpai dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang menyuruh melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Seperti dalam QS. al-Nisa’: 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا….
                         

 Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”[25].
Meskipun ayat tersebut turun dalam masalah ‘Usman ibn Talhah al-Hujubi tentang kunci Ka’bah yang diminta oleh al-‘Abbas agar dia yang memegangnya, kemudian Allah swt, menurunkan ayat tersebut sebagai perintah agar memberikan amanah kepada orang yang berhak namun menurut Wahbah al-Zuhaili, ayat tersebut tetap berlaku bagi setiap orang agar melaksanakan amanah yang menjadi tanggungannya, baik kepada khalayak maupun kepada individu tertentu.[26]
b.      Larangan Mengkhianati Amanah
Sebagai konsekwensi dari kewajiban melaksanakan amanah, maka sudah barang tentu mengkhianati amanah merupakan hal yang dilarang oleh agama. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang larangan mengkhianati amanah yaitu dalam surah al-anfal ayat 27:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.[27]



III.   PENUTUP
A.  kesimpulan
1.      kata amanah bentuk dasar dari amuna-ya’munu yaitu jujur atau bisa dipercaya (jamak amanat). Amanah berarti kerabat, ketentraman, atau dapat dipercaya. Pengertian amanah yang begitu banyak menunjukkan bahwa esensi amanah itu sangat luas yang memiliki banyak manfaat. Kata amanah (امانة ) adalah bentuk mashdar dari kata kerja amina-ya’manu-amnan-wa amanatun (امن-يامن-امنا-و امانة). kata kerja ini berakar huruf-huruf hamzah, mim, dan nun, yang bermakna pokok ‘aman, ‘tentram’,‘tenang’, dan ‘hilangnya rasa takut’.
2.      Amanat  sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Amanat dengan pengertian ini sangat luas, meliputi amanat Allah kepada hamba-hambaNya, amanat seseorang kepada sesamanya dan terhadap dirinya sendiri.
3.      Perintah Menjaga amanah seperti yang dijelaskan pada surah an-Nisa ayat 58,  dan larangan untuk menghianati amanah seperti yang dijelaskan pada surah al-Anfal ayat 27.

B.   saran
Demikianlah apa yang dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, kritik Dan saran yang sifatnya membangun tetap penulis nantikan, utamanya dari bapak Pembina mata kuliah Tafsir Siyasah, untuk perbaikan di waktu mendatang. Semoga tulisan ini membawa manfaat. Kesempurnaanya hanya milik Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Abu al-Husain  bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Beirut: Dar al-Fikr.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV. Naladana,2004.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2008

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Ibrahim Abu  al-Hasan Burhan al-Din ibn ‘Umar al-Biqa’i, Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, al-Qahirah: Dar al-Kitab al-Islami

Iqbal Muhammad, et.al , terjemahan tafsir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-mannan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007.

Muhammad Abu ‘Abdillah ibn Ahmad Syams al-Din al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,  al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1964.

Muhammad Abu Hayyan  ibn Yusuf al-Andalusi, al-Bahr al-Muhit, Beirut:  Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993.


Perpustakaan nasional RI, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta:Ichtiar Baru Van Houte, 2006.



Shihab M. Quraish, Ensiklopeddi al-Qur’an Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera hati, 2007.

…………… Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

Zuhaili Wahbah ibn Mustafa, al-Tafsir al-Wasit, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1422 H.

























[1]Perpustakaan nasional RI, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta:Ichtiar Baru Van Houte, 2006), h. 103.

[2]M. Quraish Shihab, Ensiklopeddi al-Qur’an Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera hati, 2007), h. 83.

[3]ibid

[4]Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz.I (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h.138.
[5]Departemen Pendidikan Nasional,  Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 35.

[6]Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: PusatBahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 48.

[7]Ibid

[8]Muhammad Iqbal, et.al , terjemahan tafsir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-mannan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007), h. 109.

[9]Abu Hayyan Muhammad ibn Yusuf al-Andalusi, al-Bahr al-Muhit, (Juz VII; Beirut:  Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), h. 243

[10]Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad Syams al-Din al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Juz. XII;  al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Misriyyah,1964), h. 107.

[11]Quraish Shihab,  Ensiklopeddi al-Qur’an Kajian Kosakata,  Op.Cit, h. 83.

[12]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2004), h. 604.

[13]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (jilid VIII; Jakarta: Kementrian Agama RI, 2010), h. 50.
  
[14]ibid

[15]Abu  al-Hasan Burhan al-Din Ibrahim ibn ‘Umar al-Biqa’i, Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, Juz. XV (al-Qahirah: Dar al-Kitab al-Islami, t.th.), h. 425.

[16]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Vol XI; Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 332.

[17]ibid

[18]ibid

[19]ibid     

[20] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (jilid II; Jakarta: Kementrian Agama RI, 2010), h. 196-197.

[21]Ibid

[22]ibid

[23]Ibid

[24]ibid
[25]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya,Op. cit, h. 113.

[26] Wahbah ibn Mustafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wasit, (Juz. I; Damsyiq: Dar al-Fikr, 1422 H.), h. 334.

[27]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya,Op. cit, h. 243.