BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Segala sesuatu kejadian yang membutuhkan hukum yang terjadi pada masa rasulullah SAW lamgsung
diselesaikan oleh rasul melalui wahyu. Tapi bila tidak terdapat pada wahyu nabi
menyelesaikannya dengan sunnah atau hadis melalui petunjuk al-Qur’an. Setelah
Rasul wafat apabila ada kejadian yang membutuhkan hukum tapi tidak ada dalam
al-Qur’an dan sunnah Nabi, maka akan disesaikan melalui kesepakatan para
sahabat. Dan pada masa Thabi’in diselesaikan oleh para mujtahid melalui petunjuk
al-Qur’an dan sunnah nabi.
Penyusunan ushul fiqih dibuat untuk menerapkan kaidah-kaidah dan
pembahasannya terhadap dalil terinci untuk mendatangkan hukum syariat islam
yang diambil dari dalil-dalil tersebut agar dapat dipahami nash syariyah dan
hukum yang dikandungnya oleh masyarakat islam.
Pada makalah ini pemakalah akan menjelaskan tentang sejarah dan
perkembangan ushul melalui berbagai macam buku-buku yang mengenai tentang ushul
fiqih
- RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak dari uraian permasalahan di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah adalah:
- Bagaimana sejarah munculnya Ushul Fiqih?
- Bagaimana perkembangan Ushul Fiqih?
BAB II
PEMBAHASAN
- Sejarah ushul fiqih
Ilmu Ushul fiqih tidaklah tumbuh kecuali pada abad kedua hijiriah, karena
pada abad satu hijiriah ilmu tersebut belum diperlukan, dimana Rasulullah SAW
berfatwa dan menjatuhkan keputusan (hukum) menurut ajaran al-Qur’an diwahyukan
kepadanya dan menurut sunnah yang diturunkan kepadanya.[1]
Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu menyusun ilmu fiqih sesuai
dengan Al-Qur an, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat. Setelah Islam semakin
berkembang, dan mulai banyak negara yang masuk kedalam daulah Islamiyah, maka
semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan pertanyaan mengenai
budaya baru ini yang tidak ada di zaman Rasulullah. Maka para Ulama ahli usul
Fiqh menyusun kaidah sesuai dengan gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan
dalil yang digunakan oleh Ulama penyusun ilmu Fiqh.
Muncullah para Imam Mujtahid, khususnya Imam yang empat, yaitu:
- Abu Hanifah atau Imam Hanafi
- Imam Malik
- Imam syafi’i
- Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali.[2]
Imam Hanafi menyusun metode Istinbat denagan urutan al-Qur’an, Sunnah,
Fatwa para Sahabat yang menjadi kesepakatan mereka. Sedangkan Imam Malik
nmengemukakan pendapatnya dengan banyak berpegang pada amalan ahli madinah. Ia
jauga mengkritik beberapa hadis yang menurutnya bertentangan dengan al-Qur’an.[3]
Orang yang pertama kali menghimpun kaidah yang bercerai-cerai di dalam
satu himpunan adalah Imam Abu Yusuf pengikut Abu Hanifah.[4]Sedangkan
orang yang pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan
ilmu ini, sehingga merupakan kumpulan tersendiri secara tertib (sistematis) dan
masing-masing kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan keterangan atau uraian yang
mendalam (serius) ialah al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i.[5]
Dalam pentadwihan (kodofikasi) itu
telah ditulis kitab risalah ushuliyyah, yang telah diriwayatkan oleh
pengikutnya ar-Robi’ al-Murodi. Kitab itulah sebagai kodifikasi yang pertma
kali dalam ilmu ini, dan itulah satu-satunya yang sampai kepada kita sepanjang
pengetahuan kita. Karena itu dipopulerkan dikalangan para ulama, bahwa pendasar
ilmu fiqih adalah Imam Syafi’i.[6]
Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang
pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh
sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli
ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh.[7]
Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai
pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya:
Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak
ilmu ushul fiqh. Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru
kepada Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Usaha pertama
dilakukan oleh Imam Syafi'i dalam kitabnya Arrisalah. Dalam kitab ini ia
membicarakan tentang Qur'an, kedudukan hadits, Ijma, Qiyas dan pokok-pokok
peraturan mengambil hukum. Usaha Imam
Syafi'i ini merupakan batu pertama dari ilmu ushul fiqih yang kemudian
dilanjutkan oleh para ahli ushul fiqih sesudahnya.
Iman Syafi’I
pantas disebut sebagai orang pertama yang menyusun sistem metodologi berpikir
tentang hukum islam, yang kemudian populer dengan sebutan Ushul Fiqih sehimgga
tidak salah ucapan seorang orientalis inggris N.J Coulson yang mengatakan bahwa
Iman Syafi’i adalah arsitek Ushul Fiqih.[8]
Hal ini bukanlah berarti beliau merintis dan
mengembangkan ilmu tersebut. Jauh sebelumnya mulai dari para sahabat, Tabi’in
bahkan dikalangan Imam Mujtahid seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan juga
dikalangan ulama Syiah Muhammad al Baqir dan Jafar as-Shiddiq sudan menemukan
dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqih.Tetapi mereka belum menyusun
ilmu itu secara sistematis sehingga dapat disebut sebagai ilmu yang berdiri
sendiri.[9]
Namun para
ulama ushul fiqih setelah Iman Syafi’i dalam pembahasannya mengenai ushul fiqih
tidak selalu sama, baik tentang istilah-istilah maupun tentang jalan
pembicaraannya. Maka dari itu terdapat
dua golongan yaitu; golongan Mutakallimin dan golongan Hanafiyah.
a.
Aliran Mutakallimin
Aliran
mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut
bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir
dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa
karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat
karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul
ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi,
dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i.
Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu
Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa
karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay
al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab
al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi.[10]
Meskipun
demikian, penulis-penulis ushul fiqh model mutakallimin hanya orang Asy’ariyyah.
Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada penulis dari kalangan
Hanbali, seperti Abu Ya’la (pengarang al-Uddah),Ibnu Qudamah (pengarang Rawdlah
al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir), keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi
al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan kakeknya (karangan ketiganya
tercakup dalam kitab al-Musawwadah), Najm al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar
al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah).[11]
Ada penulis dari kalangan
Maliki, seperti: Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi
Ilmay al-Ushul wa al-Jadal).
Ada pula penulis dari
kalangan Dzahiriyyah, seperti:Ibnu Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam
fi Ushul al-Ahkam).Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya.
Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan
teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani.
Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam
Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu,
Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan
diringkas oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam
al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara
tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan
kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti
Imam Abu Ishaq al-Syirazi.[12]
b.
Aliran Hanafiyah.
Aliran
Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab
Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan
metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu
qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi.
Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas
madzhab Hanafi.
Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.
Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.
- Perkembangan ushul fiqih
Perkembangan ushul fiqih tidak terlepas dari perkembangan hukum islam.
Sejak zaman Rasulullah SAW sampai pada masa tersusunnya ushul fiqih sebagai
salah satu bidsng ilmu pada abad kedua hijiriah.[13]
Ada
pun perkembangan ushul fiqih yaitu:
1.
Pada masa nabi Muhammad
Pada masa ini berlangsung pada saat nabi
Muhammad SAW masih hidup yaitu pada masa 610-633 M (Tahun 1-10 H). Pada
masa ini masalah yang dihadapi umat islam, langsung di selesaikan oleh Nabi ,
baik melalui wahyu yang diterimanya dari Allah SWT maupn melalui sunnahnya,
yang selalu dibimbing oleh wahyu. Dengan demikian pada masa ini semua hukum
didasarkan pada wahyu.[14]
Nabi Muhammad SAW telah menaklukkan Madinah dan Mekkah dan beberapa tahun terakhir dari kehidupannaya,
beliau sendiri memikul tugas perundang-undangan. Sebagian besar dari ayat-ayat
hukum dalam al-Qur’an difirmankan pada waktu itu dan banyak
keputusan-kepututsan hukum serta tradisi-tradisi beliau terpenting yang dicatat
pada zaman ini.[15]
Pada periode ini dalil hukum islam kembali pada al-Qur’an dan sunnah
Rasul-Nya. Ijtihad sahabat yang terjadi pada waktu itu mempunyai nilai sunnah
yaitu masuk kepada jenis taqriry, karena mendapat penetapan dari nabi,
baik berupa pembenaran maupun berupa koreksi pembetulan terhadap apa yang
dilakukan sahabat tersebut.[16]
Nabi Muhammad SAW menetapkan hukum dan undang-undang hidup pergaulan
berangsur-angsur berdasarkan putusan roda hidup masyarakat yang kian hari kian
maju. Kaum muslimin pada waktu itu apabila menghadapi suatu problema atau
kejadian yang diperlukan hukumnya, segera ditanyakan hukum tersebut kepada
rasulullah, maka nabi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan kepadanya
dengan:
- Berdasarkan al-qur’an atau wahyu yang diturunkan kepadanya.
- Nabi Muhammad SAW sendiri menetapkan (Hadis Rasul) kadang-kadang dijelaskan dengan praktek, kadang-kadang seorang sahabat mengerjakan dibiarkan nabi Muhammad SAW.[17]
Nabi Muahammad menerima wahyu Allah dan menyampaikannya kepada umat serta
menjelaskan maksud-maksud wahyu dengan sunahhya yakni menjelaskan mujmalnya
mengaitkan muthlaqnya dan menta’wilkan musykilnya.[18]
- Pada masa sahabat
Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat.
Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan
kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal
memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin
Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah bin Umar. Karir
mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.[19]
Pada masa ini berlangsung pada tahun 632-662 M atau 11-41 H. Pada masa
ini penyelesaian masalah yang dihadapi umat islam diselesaikan berdasarkan
al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedang terhadap masalah yang belum ada dalam
al-Qur’an dan Sunnah diselesaikan dengan ijtihad para sahabat baik ijtihad
jama’iy maupun fardy, dengan tetap berpedoman kepada al-Qur’an dan
sunnah nabi. Dengan demikian dalil hukum pada masa ini kembali pada al-Qur’an,
Sunnah nabi dan ijtihad sahabat.
Dua hal yang nyata dalam zaman ini adalah pelanjutan dengan taatnya dari
kebiasaan-kebiasaan lama dengan semboyan mentaati sunnah, dan kedua pengumpulan
dan penyusunan ayat-ayat al-Qur’an.[20]
para sahabat seperti Umar ibn al-Khattab, Ali ibn Abi
Thalib dan ibn mas’ud telah menggunakan cara-cara penggalian hukum ini. Akan
tetapi, masa itu metode tersebut belum dikenal sebagai ushul fiqih. Berikut ini
akan diuraikan beberapa contoh penggunaan metode untuk mengeluarkan hukum dari
dalil yang dilakukan oleh beberapa sahabat yaitu:
- Ali bin Abi Thalib memberikan sanksi kepada peminum khamar dengan hukuman yang sama dengan hukuman bagi penuduh pezina dengan alas an:
“ sesungguhnya apabila orang
itu minum khamar dia mengigau, dan apabila dia
mengigau dia menuduh”
Jadi, sanksi bagi peminum khamar bagi Ali bin Abi Thalib sama dengan sanksi
penuduh pezina, yaitu 80 kali jilid. Dalam hal ini Ali menggunakan qiyas
(analogi).
- ibn mas’ud menetapkan iddah wanita hamil yang ditinggalkan mati suaminya sampai melahirkan, dengan dasar:
4àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq
“Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. ( Al-Thalaq
:4) [21]
Sedang surat al- Baqarah ayat 234, menyatakan:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ( ÇËÌÍÈ
“orang-orang yang meninggal dunia diantaramu
dengan meninggalakan, hendaklah para istri beriddah empat bulan sepuluh hari.[22]
Ia menganggap bahwa surat
al-Baqarah ayat 234 turun lebih dahulu dari pada at-Thalaq ayat 4, atau di
anggap ‘am. Hal ini menunjukkan bahwa ibn Mas’ud memakai dasar nasikh
dan mansukh atau takhshish.
3. Pada
masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat
dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam
menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di
Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan
Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir.
Para sahabat tersebut berperan dalam
penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah
meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut.
Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya
masing-masing.
Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir.
Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir.
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul
fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang
memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya
di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang
tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak
berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in
mulai muncul dua
fenomena penting seperti pemalsuan hadis dan perdebatan mengenai penggunaan
ra’yu yang memunculkan kelompok Iraq
(ahl al-ra’yi) dan kelompok madinah (ahl al-hadis).
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas
yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah
geografis. Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab,
melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab
hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang
khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.
Pada masa tabi’in penggunaan ushul
fiqih ini lebih luas. Sebagai contoh Sa’ad ibn Musayyah di madinah atau al-Qannah
dan Ibrahim al –Nakha’iy di Irak Di antara mereka ada yang menggunakan mashlahah
dan ada juga yang mengunakan qiyas apabila mereka tidak mendapat suatu nash
sebagai dasar hukum.
BAB
III
KESIMPULAN
1. Ilmu Ushul fiqih tidaklah tumbuh kecuali pada abad kedua hijiriah,
karena pada abad satu hijiriah ilmu tersebut belum diperlukan, dimana
Rasulullah SAW berfatwa dan menjatuhkan keputusan (hukum) menurut ajaran
al-Qur’an diwahyukan kepadanya dan menurut sunnah yang diturunkan kepadanya.
Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu menyusun ilmu fiqh sesuai dengan
Al-Qur an, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat. Setelah Islam semakin berkembang,
dan mulai banyak negara yang masuk kedalam daulah Islamiyah, maka
semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan pertanyaan mengenai
budaya baru ini yang tidak ada di zaman Rasulullah. Maka para Ulama ahli usul
Fiqh menyusun kaidah sesuai dengan gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan
dalil yang digunakan oleh Ulama penyusun ilmu Fiqh.
2.Perkembangan Ushul Fiqih yaitu
a.Pada masa nabi Muhammad
Pada masa ini berlangsung pada saat nabi
Muhammad SAW masih hidup yaitu pada masa 610-633 M (Tahun 1-10 H).
b. Pada masa sahabat
Pada masa ini berlangsung pada tahun 632-662 M atau 11-41 H. Pada masa
ini penyelesaian masalah yang dihadapi umat islam diselesaikan berdasarkan
al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedang terhadap masalah yang belum ada dalam
al-Qur’an dan Sunnah diselesaikan dengan ijtihad para sahabat baik ijtihad
jama’iy maupun fardy, dengan tetap berpedoman kepada al-Qur’an dan
sunnah nabi. Dengan demikian dalil hukum pada masa ini kembali pada al-Qur’an,
Sunnah nabi dan ijtihad sahabat.
c.
Pada masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat
dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam
menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di
Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan
Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir
DAFTAR
PUSTAKA
Agama Departemen,
al-Qur’an Dan Terjemahannya, Jakarta:
Jumanatul Ali Art, 2005.
Agama
Departemen, Ensiklopedi Islam, Cet. IV; Jakarta: Ichtiar Bary Van Hoeve, 1997.
al-Makdisi
George,The Rise Of Colledge; Institution Of Learning In Islam And In The
West, Edinburgh:
University Press, 1981.
Ash Shiddiqie
Hasbie, Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1975.
Coulson Noel
James, History Of Islamic Law, Edinburgh: University Pres,1964.
Hanafi, Pengantar
Dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1970.
Haroen Nasrun, Ushul
Fiqih I, Jakarta:
Logos Publishing House, 1996.
Jabir Alwani Thaha, Source Methodology
In Islamic Jurisprudence, Virginia:
III T,1994.
Ramulyo Idris, Asas-Asas Hukum
Islam, Cet. II; Jakarta:
Sinar Grafika, 1997.
Syarifuddin
Amir, Ushul Fiqih Jilid I, Cet.I; Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997.
Usman Suparman, Hukum
Islam, Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Wahab Kallaf
Abdul, Kaidah-Kaidah hukum islam; Ilmu Ushul Fiqih, Cet VIII; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002.
[1]Abdul
Wahab Kallaf, Kaidah-Kaidah hukum islam; Ilmu Ushul Fiqih (Cet VIII; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 10
[2]Departemen
Agama RI, Ensiklopedi Islam (Cet. IV; Jakarta: Ichtiar Bary Van Hoeve,
1997), h. 148
[3]ibid
[4]Abdul
Wahab Kallaf, Op Cit h.11
[5]Ibid
[6]Ibid,
h.12
[7]Noel
James Coulson, History Of Islamic Law (Edinburgh: University Pres,1964),
h.53
[8]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid I (Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), h. 38
[9]Ibid
[10]
George al-Makdisi,The Rise Of Colledge; Institution Of Learning In Islam And
In The West (Edinburgh: University Press, 1981), h. 154
[11]Ibid
[12]Ibid
[13]Nasrun
Haroen, Ushul Fiqih I (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h.6
[14]Suparman
Usman, Hukum Islam (Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001),
h. 89
[15]Idris
Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 1997),
h. 106
[16]Suparman
Usman, op cit, h. 89
[17]Hasbi
Ash Shiddiqie, Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), h.17
[18]Ibid,
h.18
[19]Thaha
Jabir Alwani, Source Methodology In Islamic Jurisprudence (Virginia: III
T, 1994), h. 19
[20]Hanafi,
Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h.
34
[21]Departemen
Agama RI, al-Qur’an Dan Terjemahannya (Jakarta: Jumanatul Ali Art, 2005), h. 558
[22]Ibid,
h. 38