Kamis, 02 Januari 2014

SEJARAH MUNCUL DAN PERKEMBANGNAN USHUL FIQIH


BAB I
PENDAHULUAN


  1. LATAR BELAKANG

Segala sesuatu kejadian yang membutuhkan hukum yang  terjadi pada masa rasulullah SAW lamgsung diselesaikan oleh rasul melalui wahyu. Tapi bila tidak terdapat pada wahyu nabi menyelesaikannya dengan sunnah atau hadis melalui petunjuk al-Qur’an. Setelah Rasul wafat apabila ada kejadian yang membutuhkan hukum tapi tidak ada dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi, maka akan disesaikan melalui kesepakatan para sahabat. Dan pada masa Thabi’in diselesaikan oleh para mujtahid melalui petunjuk al-Qur’an dan sunnah nabi.
Penyusunan ushul fiqih dibuat untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasannya terhadap dalil terinci untuk mendatangkan hukum syariat islam yang diambil dari dalil-dalil tersebut agar dapat dipahami nash syariyah dan hukum yang dikandungnya oleh masyarakat islam.
Pada makalah ini pemakalah akan menjelaskan tentang sejarah dan perkembangan ushul melalui berbagai macam buku-buku yang mengenai tentang ushul fiqih
  1. RUMUSAN MASALAH

Bertitik tolak dari uraian permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah:
  1. Bagaimana sejarah munculnya Ushul Fiqih?
  2. Bagaimana perkembangan Ushul Fiqih?










BAB II
PEMBAHASAN

  1. Sejarah ushul fiqih

Ilmu Ushul fiqih tidaklah tumbuh kecuali pada abad kedua hijiriah, karena pada abad satu hijiriah ilmu tersebut belum diperlukan, dimana Rasulullah SAW berfatwa dan menjatuhkan keputusan (hukum) menurut ajaran al-Qur’an diwahyukan kepadanya dan menurut sunnah yang diturunkan kepadanya.[1]
Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu menyusun ilmu fiqih sesuai dengan Al-Qur an, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat. Setelah Islam semakin berkembang, dan mulai banyak negara yang masuk kedalam daulah Islamiyah, maka semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan pertanyaan mengenai budaya baru ini yang tidak ada di zaman Rasulullah. Maka para Ulama ahli usul Fiqh menyusun kaidah sesuai dengan gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan dalil yang digunakan oleh Ulama penyusun ilmu Fiqh.
Muncullah para Imam Mujtahid, khususnya Imam yang empat, yaitu:
    1. Abu Hanifah atau Imam Hanafi
    2. Imam Malik
    3. Imam syafi’i
    4. Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali.[2]
Imam Hanafi menyusun metode Istinbat denagan urutan al-Qur’an, Sunnah, Fatwa para Sahabat yang menjadi kesepakatan mereka. Sedangkan Imam Malik nmengemukakan pendapatnya dengan banyak berpegang pada amalan ahli madinah. Ia jauga mengkritik beberapa hadis yang menurutnya bertentangan dengan al-Qur’an.[3]
Orang yang pertama kali menghimpun kaidah yang bercerai-cerai di dalam satu himpunan adalah Imam Abu Yusuf pengikut Abu Hanifah.[4]Sedangkan orang yang pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ilmu ini, sehingga merupakan kumpulan tersendiri secara tertib (sistematis) dan masing-masing kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan keterangan atau uraian yang mendalam (serius) ialah al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i.[5]
 Dalam pentadwihan (kodofikasi) itu telah ditulis kitab risalah ushuliyyah, yang telah diriwayatkan oleh pengikutnya ar-Robi’ al-Murodi. Kitab itulah sebagai kodifikasi yang pertma kali dalam ilmu ini, dan itulah satu-satunya yang sampai kepada kita sepanjang pengetahuan kita. Karena itu dipopulerkan dikalangan para ulama, bahwa pendasar ilmu fiqih adalah Imam Syafi’i.[6]
Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh.[7]
Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh. Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Usaha pertama dilakukan oleh Imam Syafi'i dalam kitabnya Arrisalah. Dalam kitab ini ia membicarakan tentang Qur'an, kedudukan hadits, Ijma, Qiyas dan pokok-pokok peraturan mengambil hukum. Usaha Imam Syafi'i ini merupakan batu pertama dari ilmu ushul fiqih yang kemudian dilanjutkan oleh para ahli ushul fiqih sesudahnya.
Iman Syafi’I pantas disebut sebagai orang pertama yang menyusun sistem metodologi berpikir tentang hukum islam, yang kemudian populer dengan sebutan Ushul Fiqih sehimgga tidak salah ucapan seorang orientalis inggris N.J Coulson yang mengatakan bahwa Iman Syafi’i adalah arsitek Ushul Fiqih.[8]
 Hal ini bukanlah berarti beliau merintis dan mengembangkan ilmu tersebut. Jauh sebelumnya mulai dari para sahabat, Tabi’in bahkan dikalangan Imam Mujtahid seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan juga dikalangan ulama Syiah Muhammad al Baqir dan Jafar as-Shiddiq sudan menemukan dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqih.Tetapi mereka belum menyusun ilmu itu secara sistematis sehingga dapat disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri.[9]
Namun para ulama ushul fiqih setelah Iman Syafi’i dalam pembahasannya mengenai ushul fiqih tidak selalu sama, baik tentang istilah-istilah maupun tentang jalan pembicaraannya. Maka  dari itu terdapat dua golongan yaitu; golongan Mutakallimin dan golongan Hanafiyah.
a.       Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi.[10]
Meskipun demikian, penulis-penulis ushul fiqh model mutakallimin hanya orang Asy’ariyyah. Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada penulis dari kalangan Hanbali, seperti Abu Ya’la (pengarang al-Uddah),Ibnu Qudamah (pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir), keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan kakeknya (karangan ketiganya tercakup dalam kitab al-Musawwadah), Najm al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah).[11]
Ada penulis dari kalangan Maliki, seperti: Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal).
Ada pula penulis dari kalangan Dzahiriyyah, seperti:Ibnu Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam).Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi.[12]
b.      Aliran Hanafiyah.
Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas madzhab Hanafi.

Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.
  1. Perkembangan ushul fiqih
Perkembangan ushul fiqih tidak terlepas dari perkembangan hukum islam. Sejak zaman Rasulullah SAW sampai pada masa tersusunnya ushul fiqih sebagai salah satu bidsng ilmu pada abad kedua hijiriah.[13]
Ada pun perkembangan ushul fiqih yaitu:
1.      Pada masa nabi Muhammad
Pada masa ini berlangsung pada saat nabi  Muhammad SAW masih hidup yaitu pada masa 610-633 M (Tahun 1-10 H). Pada masa ini masalah yang dihadapi umat islam, langsung di selesaikan oleh Nabi , baik melalui wahyu yang diterimanya dari Allah SWT maupn melalui sunnahnya, yang selalu dibimbing oleh wahyu. Dengan demikian pada masa ini semua hukum didasarkan pada wahyu.[14]
Nabi Muhammad SAW telah menaklukkan Madinah dan Mekkah dan  beberapa tahun terakhir dari kehidupannaya, beliau sendiri memikul tugas perundang-undangan. Sebagian besar dari ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an difirmankan pada waktu itu dan banyak keputusan-kepututsan hukum serta tradisi-tradisi beliau terpenting yang dicatat pada zaman ini.[15]
Pada periode ini dalil hukum islam kembali pada al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. Ijtihad sahabat yang terjadi pada waktu itu mempunyai nilai sunnah yaitu masuk kepada jenis taqriry, karena mendapat penetapan dari nabi, baik berupa pembenaran maupun berupa koreksi pembetulan terhadap apa yang dilakukan sahabat tersebut.[16]
Nabi Muhammad SAW menetapkan hukum dan undang-undang hidup pergaulan berangsur-angsur berdasarkan putusan roda hidup masyarakat yang kian hari kian maju. Kaum muslimin pada waktu itu apabila menghadapi suatu problema atau kejadian yang diperlukan hukumnya, segera ditanyakan hukum tersebut kepada rasulullah, maka nabi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan kepadanya dengan:
    1. Berdasarkan al-qur’an atau wahyu yang diturunkan kepadanya.
    2. Nabi Muhammad SAW sendiri menetapkan (Hadis Rasul) kadang-kadang dijelaskan dengan praktek, kadang-kadang seorang sahabat mengerjakan dibiarkan nabi Muhammad SAW.[17]
Nabi Muahammad menerima wahyu Allah dan menyampaikannya kepada umat serta menjelaskan maksud-maksud wahyu dengan sunahhya yakni menjelaskan mujmalnya mengaitkan muthlaqnya dan menta’wilkan musykilnya.[18]
  1. Pada masa sahabat
Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.[19]
Pada masa ini berlangsung pada tahun 632-662 M atau 11-41 H. Pada masa ini penyelesaian masalah yang dihadapi umat islam diselesaikan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedang terhadap masalah yang belum ada dalam al-Qur’an dan Sunnah diselesaikan dengan ijtihad para sahabat baik ijtihad jama’iy maupun fardy, dengan tetap berpedoman kepada al-Qur’an dan sunnah nabi. Dengan demikian dalil hukum pada masa ini kembali pada al-Qur’an, Sunnah nabi dan ijtihad sahabat.
Dua hal yang nyata dalam zaman ini adalah pelanjutan dengan taatnya dari kebiasaan-kebiasaan lama dengan semboyan mentaati sunnah, dan kedua pengumpulan dan penyusunan ayat-ayat al-Qur’an.[20]    
para sahabat seperti Umar ibn al-Khattab, Ali ibn Abi Thalib dan ibn mas’ud telah menggunakan cara-cara penggalian hukum ini. Akan tetapi, masa itu metode tersebut belum dikenal sebagai ushul fiqih. Berikut ini akan diuraikan beberapa contoh penggunaan metode untuk mengeluarkan hukum dari dalil yang dilakukan oleh beberapa sahabat yaitu:
       
  1. Ali bin Abi Thalib memberikan sanksi kepada peminum khamar dengan hukuman yang sama dengan hukuman bagi penuduh pezina dengan alas an:


      “ sesungguhnya apabila orang itu minum khamar dia mengigau, dan                                apabila dia mengigau dia menuduh”
Jadi, sanksi bagi peminum khamar bagi Ali bin Abi Thalib sama dengan sanksi penuduh pezina, yaitu 80 kali jilid. Dalam hal ini Ali menggunakan qiyas (analogi).
  1. ibn mas’ud menetapkan iddah wanita hamil yang ditinggalkan mati suaminya sampai melahirkan, dengan dasar:

4àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq
            “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. ( Al-Thalaq :4) [21]

            Sedang surat al- Baqarah ayat 234, menyatakan:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( ÇËÌÍÈ   
            “orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalakan, hendaklah para istri beriddah empat bulan sepuluh hari.[22]

Ia menganggap bahwa surat al-Baqarah ayat 234 turun lebih dahulu dari pada at-Thalaq ayat 4, atau di anggap ‘am. Hal ini menunjukkan bahwa ibn Mas’ud memakai dasar nasikh dan mansukh atau takhshish.
      3.   Pada masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing.
Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir.
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in
mulai muncul dua fenomena penting seperti pemalsuan hadis dan perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok madinah (ahl al-hadis).
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis. Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.
            Pada masa tabi’in penggunaan ushul fiqih ini lebih luas. Sebagai contoh Sa’ad ibn Musayyah di madinah atau al-Qannah dan Ibrahim al –Nakha’iy di Irak Di antara mereka ada yang menggunakan mashlahah dan ada juga yang mengunakan qiyas apabila mereka tidak mendapat suatu nash sebagai dasar hukum.  


























BAB III
KESIMPULAN

1. Ilmu Ushul fiqih tidaklah tumbuh kecuali pada abad kedua hijiriah, karena pada abad satu hijiriah ilmu tersebut belum diperlukan, dimana Rasulullah SAW berfatwa dan menjatuhkan keputusan (hukum) menurut ajaran al-Qur’an diwahyukan kepadanya dan menurut sunnah yang diturunkan kepadanya. Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu menyusun ilmu fiqh sesuai dengan Al-Qur an, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat. Setelah Islam semakin berkembang, dan mulai banyak negara yang masuk kedalam daulah Islamiyah, maka semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan pertanyaan mengenai budaya baru ini yang tidak ada di zaman Rasulullah. Maka para Ulama ahli usul Fiqh menyusun kaidah sesuai dengan gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan dalil yang digunakan oleh Ulama penyusun ilmu Fiqh.

2.Perkembangan Ushul Fiqih yaitu
      a.Pada masa nabi Muhammad
Pada masa ini berlangsung pada saat nabi  Muhammad SAW masih hidup yaitu pada masa 610-633 M (Tahun 1-10 H).
      b. Pada masa sahabat
Pada masa ini berlangsung pada tahun 632-662 M atau 11-41 H. Pada masa ini penyelesaian masalah yang dihadapi umat islam diselesaikan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedang terhadap masalah yang belum ada dalam al-Qur’an dan Sunnah diselesaikan dengan ijtihad para sahabat baik ijtihad jama’iy maupun fardy, dengan tetap berpedoman kepada al-Qur’an dan sunnah nabi. Dengan demikian dalil hukum pada masa ini kembali pada al-Qur’an, Sunnah nabi dan ijtihad sahabat.
      c.  Pada masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir




























DAFTAR PUSTAKA

Agama Departemen, al-Qur’an Dan Terjemahannya, Jakarta: Jumanatul Ali Art, 2005.
Agama Departemen, Ensiklopedi Islam, Cet. IV; Jakarta: Ichtiar Bary Van Hoeve, 1997.
al-Makdisi George,The Rise Of Colledge; Institution Of Learning In Islam And In The West, Edinburgh: University Press, 1981.

Ash Shiddiqie Hasbie, Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Coulson Noel James, History Of Islamic Law, Edinburgh: University Pres,1964.
Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Haroen Nasrun, Ushul Fiqih I, Jakarta: Logos Publishing House, 1996.

Jabir Alwani Thaha, Source Methodology In Islamic Jurisprudence, Virginia: III T,1994.
Ramulyo Idris, Asas-Asas Hukum Islam, Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 1997.
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqih Jilid I, Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Usman Suparman, Hukum Islam, Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Wahab Kallaf Abdul, Kaidah-Kaidah hukum islam; Ilmu Ushul Fiqih, Cet VIII; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.





[1]Abdul Wahab Kallaf, Kaidah-Kaidah hukum islam; Ilmu Ushul Fiqih (Cet VIII; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 10
[2]Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam (Cet. IV; Jakarta: Ichtiar Bary Van Hoeve, 1997), h. 148
[3]ibid

[4]Abdul Wahab Kallaf, Op Cit h.11
[5]Ibid

[6]Ibid, h.12

[7]Noel James Coulson, History Of Islamic Law (Edinburgh: University Pres,1964), h.53
[8]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid I (Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 38

[9]Ibid

[10] George al-Makdisi,The Rise Of Colledge; Institution Of Learning In Islam And In The West (Edinburgh: University Press, 1981), h. 154

[11]Ibid

[12]Ibid

[13]Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h.6

[14]Suparman Usman, Hukum Islam (Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 89

[15]Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 1997), h. 106

[16]Suparman Usman, op cit, h. 89

[17]Hasbi Ash Shiddiqie, Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.17

[18]Ibid, h.18

[19]Thaha Jabir Alwani, Source Methodology In Islamic Jurisprudence (Virginia: III T, 1994), h. 19
[20]Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 34          
[21]Departemen Agama RI, al-Qur’an Dan Terjemahannya (Jakarta: Jumanatul Ali Art, 2005), h. 558

[22]Ibid, h. 38