SIKAP INTELEKTUAL ISLAM TERHADAP ORIENTALIS
(MAKALAH)
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG MASALAH.
Citra Barat yang negatif terhadap Islam, sangat
diwarnai oleh permusuhan yang mendalam antara Barat dan Islam, yang diwarnai
dengan kekalahannya di bidang politik pada masa zaman keemasan Islam dibawah
bendera Turki Utsmani yang kemudian disusul oleh kejatuhan kota Andrianopel
ketangan Turki Utsmani tahun 1366 diikuti Konstantinopel (ibu kota Byzantium)
ke tangan umat Islam tahun 1453.[1]
Kajian tentang Timur (orient) termasuk
tentang Islam, yang dilakukan oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa
abad yang lalu. Namun gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalisme
baru abad ke 18.[2]
Mengapa Barat tertarik mengkaji Timur dan
Islam, mempunyai latar belakang sejarah panjang yang kompleks. Pertama adalah
motif keagamaan. Barat yang disatu sisi mewakili Kristen memandang Islam
sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinnya. Islam yang misinya
menyempurnakan millah sebelumnya tentu banyak melontarkan koreksi terhadap
agama itu. Itulah Islam dianggap “menabur angin” dan lalu menuai badai
perseteruan dengan Kristen. Seorang intelektual atau cendekiawan berbeda dengan
masyarakat umum. Sebagai seorang yang cerdik dan pandai, ia memiliki sikap mental
dan kesadaran sosial yang tinggi untuk melakukan perubahan-perubahan
konstruktif di tengah-tengah masyarakat. Tetapi, tidak mustahil pula jika
mentalitas luhur seorang intelektual atau cendekiawan berubah menjadi abdi
(hamba sahaya) kekuasaan yang justru kerap kali memenjarakan rakyat.
Terlepas dari perbedaan perspektif dalam
memahami makna intelektual, kelompok cerdik, pandai dan terdidik ini meminjam
definisi Seymour Martin Lipset, adalah mereka yang 'menciptakan,
menyebarluaskan dan menjalankan kebudayaan'. Kelompok ini semestinya menjadi
kreator, distributor, dan eksekutor proyek-proyek pembangunan dan pengembangan
kebudayaan. Menurut Burhan Ghalyun, pemimpin muslim asal Syiria, seorang
intelektual adalah pekerja sosial yang menggerakkan masyarakat secara dinamis.[3]
Islam bagi Barat adalah peradaban yang dimasa
lalu telah tersebar dan menguasai peradaban dunia dengan begitu cepat. Barat
sebagai peradaban yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai
ancaman besar dan langsung bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Barat sadar
benar bahwa Islam bukan hanya sekedar istana-istana megah, bala tentara yang
gagah berani atau bangunan-bangunan monumental, tapi peradaban yang memiki
khazanah dan tradisi ilmu pengetahuan yang tinggi. Oleh sebab itu mereka perlu
merebut khazanah ini untuk kemajuan mereka dan sekaligus untuk menaklukkan
Islam. Sudah tentu itu semua dilakukan dengan cara-cara yang tidak fair. Motif
politik ini kemudian berkembang menjadi motif bisnis atau perdagangan yang
kemudian menjadi kolonialisme.
Bahkan tidak sedikit yang menulis bahwa
Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi,
dan sebagainya yang kesemuanya itu diambil dari doktrin kagamaan yang
dibawanya.[4]Kajian
Islam yang dilakukan para orientalis seringkali dipandang oleh kalangan Muslim
tidak untuk memahami Islam secara benar, tetapi untuk mendeskreditkannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Orientalisme atau kajian ketimuran, secara
terminologis biasanya identik dengan paradigma berpikir. Atau lebih tepatnya
pengkajian terhadap peradaban masyarakat timur secara umum, dan peradaban Islam
dan masyarakat Arab secara khusus. Pada mulanya wilayah kajian orientalisme
hanya terbatas pada kajian keislaman, peradaban Islam, bahasa dan sastra Arab.
Kemudian wilayah kajian ini meluas dan mencakup seluruh aspek kajian ketimuran
(The Orient), yakni mulai dari aspek bahasa ketimuran, agama-agama
timur, adat istiadat, hingga budaya ketimuran. Fokus utama kajian orientalis
adalah agama Islam dan bahasa Arab, karena keduanya merupakan faktor terbesar
dari ketertarikan orientalis dan menggambarkan kontroversi gagasan, politik,
teologi yang mewarnai kehidupan masa kini.[5]
Para orientalis umumnya adalah keturunan Yahudi,
Nasrani dan setiap orang yang mengikuti jejak dan terinspirasi oleh mereka,
yaitu generasi non-Yahudi dan non-Nasrani, termasuk kaum muslimin yang
kebarat-baratan (westernist), yang keluar dari agama Islam karena
sependapat dengan gagasan dan ide-ide orientalis.
Oreintalisme merupakan bagian integral dari
gerakan misionaris dan imperialisme kolonialisme. Keduanya – misionari dan
imperialisme merupakan bagian dari perang salib kontemporer dengan
pola-pola modern yang menjadikan perang gagasan dan ide (al ghazwul al fikr)
sebagai bentuk lain dari perang materialistik. Sikap ini merupakan strategi
alternatif dari sistem militeristik dan imperialisme kolonialis yang secara
resmi melakukan obligasi dan mengingkari kebenaran.[6]
Orientalisme awal mulanya didirikan oleh para
pastor, pendeta, misionaris dan penginjil yang kemudian berlanjut kepada
imperialisme dan kolonialisme guna menciptakan kapitalisme pemikiran sebagai
bentuk penginjilan (misionari), dan menciptakan kekuatan pedang sebagai bentuk
pola-pola misionarisme kolonialisme.[7]
Orientalisme
muncul kepermukaan adalah bertaut rapat dengan latar belakang psiko-historis.
Islam pada abad-abad lampau itu dicurigai, ditakuti, tapi diam-diam juga
dicemburui dan dikagumi. Iklim bathiniah yang hamir mirip juga diidap oleh umat
Islam setelah mereka menjadi umat yang kalah sejak sekitar empat abad yang
lalu. Kajian orientalis akan berlangsung secara damai dan aman-aman saja
manakala mereka berhadapan dengan Budhisme dan Hinduisme, sebab kedua warisan
spiritual ini tidak pernah menggugat ego supremasi Barat. Islam bukan saja
pernah menggugat, tapi juga memberi alternatif peradaban yang lebih ramah dan
manusiawi. Barat baru belakangan ini saja mau mengakui fakta ini, dan itupun
masih terbatas di kalangan ilmuwan tertentu. Mayoritas mutlak orang Barat
sampai hari ini belum kenal Islam, kecuali sebagai kekuatan enigmatis dan
teroris.[8]
Begitu besarnya perhatian Barat terhadap Timur
khususnya Timur Islam, hingga menurut Edward W. Said dalam karyanya
Oreintalisme, orisinilitas geneologis Sacy adalah bahwa ia telah memperlakukan
Timur sebagai sesuatu yang harus dipugar, bukan hanya karena, tetapi
juga walaupun dengan adanya kekacauan Timur modern dan kehadirannya yang
sulit ditangkap. Sacy menempatkan orang-orang Arab Timur dalam tablo
umum pengetahuan modern. Dari sini pula muncul asumsi bahwa orientalisme
merupakan hak milik kecendikiaan Eropa meskipun bahan bakunya terlebih dahulu
harus diciptakan kembali oleh sang orientalis sebelum ia naik panggung dan
berjajar dengan Latinisme dan Hellenisme. Setiap orientalis menciptkan kembali
“Timur-nya masing-masing” berdasarkan hukum-hukum dasar epistemologis
untung-rugi yang untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Sacy.[9]
Orientalis lalu beranjak pada pernyataan bahwa
agama Islam dan dakwah Islamiah adalah agama padang pasir yang tidak selaras
dengan kehidupan civil society di era teknologi. Maksud dari perkataan
ini adalah pencapaian hasil-hasil yang menyesatkan, yaitu bahwa sebab dikotomi
antara Timur dan negara Islam dalam bentuknya yang spesifik adalah
mempertahankan agama padang pasir yang nilai-nilai keagamaannya telah
terealisasikan pada masa silam namun tidak relevan lagi pada masa kini
(kontemporer).
Namun meski sering terkait dengan Islam dan
kaum muslimin, Muthabaqani segera menambahkan, orientalisme tetap mengkaji
bangsa-bangsa timur secara umum, seperti bangsa India, Asia Timur, Cina, Jepang
dan Korea. Jadi, orientalisme memang tidak hanya mengkaji Islam dan kaum
muslimin. Yang menarik dari definisi orientalisme Muthabaqani,[10]
beliau memasukkan karya intelektual muslim yang dipengaruhi oleh orientalis,
sebagai kegiatan orientalisme.
Ketika para orientalis mengutarakan berbagai
pandangan seperti yang dipaparkan Mac Donald bahwa Islam akan menghadapi
ancaman kepunahan, karena Islam tidak akan mampu menghalangi proses benturan
dengan keperkasaan peradaban Barat, mereka sebenarnya tidak membicarakan apa
yang disebut dengan subjek empiris kajian mereka, mereka sedang mengekspresikan
harapan dan kekecewaan mereka sendiri. Harapan bahwa orang-orang dan masyarakat
yang sedang mereka cari benar-benar eksis, dan kekecewaan anggota-anggota yang
hidup ada dalam masyarakat tersebut.[11]
Manipulasi berbagai isu dalam beberapa karya
orientalis mengantarkan mereka kepada pemetaan masyarakat muslim kedalam
bererapa golongan, firqah dan kelompok, kemudian mereka menjadikannya sebagai
solusi atas terjadinya skeptisisme. Sebagaimana dijadikannya mazhab-mazhab
tharikat sebagai jalan berinteraksi dengan tasawuf yang biasanya diarahkan pada
pola-pola praktek kependetaan dan pasrah diri. Mereka mengatakan bahwa tasawuf
merupakan faktor utama penyebaran Islam. Tujuan dengan digalangnya propaganda
tasawuf dan jalur-jalur sufi adalah mencegah kaum muslim melakukan jihad,
terjadinya kemandekan wacana dan dan pemberangusan gerakan intelektual.[12]
Islam merupakan agama samawi terakhir yang
diturunkan Allah kepada manusia melalui utusan terakhir-Nya Nabi Muhammad SAW
sebagai penutup para nabi dan rasul, hal ini menjadikan ajaran Islam sebagai
agama paripurna yang menyempurnakan segala aturan dari agama-agama samawi
sebelumnya.
Kedatangan agama Islam yang didakwahkan Nabi
Muhammad menampakkan kilaunya setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah dan
seruannya diterima dengan baik di sana, cahaya Islam mulai menyala dan dalam
waktu yang singkat menerangi kegelapan di jazirah Arabia, bahkan lambat laun
menerangi daerah-daerah sekitarnya sehingga pada masa itu Madinah telah
menjelma menjadi sebuah negara besar dengan seorang pemimpin besar tak kalah
besarnya dengan Imperium Rumawi di Barat dan Imperium Persia di Timur.
Sebelum disampaikan paparan tentang kajian
Islam yang dilakukan oleh para orientalis, perlu dibahas dengan ringkas relasi
Barat-Islam yang terbentuk dari hasil interaksi sosial antara kaum imigran
Muslim dengan penduduk lokal di negara-negara Barat. Paparan seperti itu
dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa hubungan sosial Barat-Islam dalam suasana
saling menghargai di negara non-Muslim adalah sebuah keniscayaan. Seperti
diketahui bahwa Islam sudah menjadi sebuah fenomena sosial di negara-negara
Barat. Bahwasanya pada saat ini Barat tidak lagi memandang Islam sebagai suatu
kajian yang mendiskreditkan Islam seperti yang terjadi pada waktu sebelumnya
melainkan Barat saat ini menerima Islam dan mereka perduli terhadap pendidikan
agama dan institusi-institusi baru ini terbuka untuk komunitas ilmiah.
Kajian Islam (Islamic Studies) merupakan
disiplin modern yang sudah berusia sangat tua. Di masa lampau kajian Islam
berasal dari tradisi panjang kaum muslim untuk membangun kesarjanaan guna
memahami agama mereka sendiri.[13]
Dalam memahami Islam, harus ditinjau dari dua aspek pokok yang saling
berkaitan, yakni : pertama, aspek tekstual berupa aturan-aturan Islam
secara normatif yang termuat dalam al-Qur’an dan Hadits yang keberadaannya
absolut, aspek ini lazim disebut Islam normatif; kedua, aspek
kontekstual berupa penerapan secara praktis dari Islam normatif yang diambil
dari upaya penggalian terhadap nilai-nilai normatif melalui berbagai pendekatan
di berbagai bidang yang melahirkan berbagai disiplin ilmu, antara lain ilmu
tafsir, hadits, fiqh, ushul al-fiqh, kalam, tasawwuf dan lain-lain yang
keberadaannya masih bersifat relatif, aspek ini lazim juga disebut Islam
historis atau budaya umat Islam.
Pemikiran kaum intelektual Islam fundamentalis
dan pemikiran sebagian besar masyarakat muslim biasa (awam) masih didominasi
oleh pandangan dunia (world view) dan citra Islam Tradisonal. Ini fakta
yang sangat penting di zaman sekarang ketika pengaruh Islam semakin meningkat
di seluruh dunia. Hal ini berarti bahwa terhadap masalah-masalah kontemporer,
cara pandang kaum muslimin dapat berbeda dengan cara pandang para pengamat dan negarawan
Barat. Seorang intelektual muslim terkemuka, Mohammed Arkoun menekankan masalah
ini dengan menggunakan tiga kategori, yaitu: yang dapat dipikirkan, yang tidak
dapat dipikirkan, dan yang tak terpikirkan (pensable, impensable, impense).[14]
Kaum intelektual harus senantiasa berhati-hati
dalam menjaga sikap dasar islam, yaitu: a posteriori dan single
standard. Terutama bagi kaum intelektual yang pernah dibesarkan dalam
lingkungan sosio-kultural Islam. Ketajaman kritik terhadap umat berhubungan
dengan general attitude-nya, jangan sampai menjerumuskan pada sikap a
priori salah dalam menghadapi suatu masalah, sebagaimana juga menjauhkan
diri dari sikap a priori membenarkan mereka. Harus benar-benar bisa
menjauhkan diri dari nilai ganda (double standard), nilai ganda yang
memihak umat Islam ataupun nilai ganda yang memihak bukan Islam.
Ada baiknya islam ingat bahwa mengucapkan
asslamu’alaikum tidak terus berarti Islam; mengaji yang keras, sehingga
didengar orang banyak tidak terus berarti Islam; menulis dengan huruf Arab
tidak terus berarti Islam; sok ikhlas, sok khusyu' tidak terus berarti Islam;
mengobral ayat-ayat Al-Quran tidak terus berarti Islam; pidato pakai shalawat
tidak terus berarti Islam. Demikian pula; menyerang gadis pakai kerudung tidak
terus berarti modern; meremehkan pentingnya sholat tidak terus berarti modern;
membela atheisme tidak terus berarti modern; menolak formalitas tidak terus
berarti modern; mengkritik umat Islam tidak terus berarti modern; membela
orang-orang berdansa tidak terus lalu berarti modern.
Hal-hal tersebut di atas perlu dijaga agar
islam jangan terjerumus pada sikap keislam-islaman atau kemodern-modernan. Yang
demikian itu sama sekali tidak berarti a priori tidak membenarkan orang
yang selalu mengucapkan salam, menulis Arab, mengobral ayat dan lain-lainnya.
Demikian juga tidak berarti bahwa tidak membenarkan orang yang menyerang gadis
berkerudung, menyerang umat Islam, menolak formalitas dan lain-lain. Ini
penting dalam pembinaan berpikir bebas, membebaskan diri dari tirani dalam diri
sendiri. Harus berani membebaskan diri dari dua tirani yang berdempet, yakni:
1. Tirani kesombongan: sok Islam tulen, sok ikhlas, sok modern, sok
intelektual, sok moralis, sok suci, dan lain sebagainya; 2. Tirani ketakutan:
konservatif, atheis, kolot, kafir, Mu'tazilat, disorientasi, lemah ideologi,
imannya diragukan, sekularis, kebarat-baratan, dan lain-lainnya.
Masuknya sains modern ke dalam dunia Islam pada
permulaan abad ke-19 diiringi bermacam-macam reaksi. Namun demikian, kandungan
filosofisnyalah, dan bukan oleh sains modern itu sendiri, yang mempengaruhi
pandangan-pandangan kaum intelektual Muslim. Karena itu, kita bisa mendengar
sikap yang berbeda-beda di seantero dunia Islam. Di sini kita dapat membagi
reaksi kaum intelektual tersebut ke dalam empat aliran besar:
1.
Kelompok minoritas ulama yang enggan
bersentuhan dengan sains modern, karena menganggap sains modern bertentangan
dengan ajaran agama Islam. Bagi mereka, masyarakat Islam harus mengikuti ajaran
Islam dengan ketat dan mengharuskan umat Islam memiliki sainsnya sendiri.
2.
Kelompok intelektual Islam yang mengadopsi
habis-habisan sains modern dan mengkampanyekan pandangan dunia yang bersifat
empiris. Menurut mereka, menguasai sains modern merupakan satu-satunya solusi
untuk melepaskan dunia Islam dari stagnasi. Mereka memandang sains modern
sebagai satu-satunya sumber pencerahan yang sejati.
3.
Sejumlah ilmuan
Muslim yang mengakui peran sentral sains modern terhadap kemajuan Barat dan
menganjurkan asimilasi sains modern, meskipun tetap menaruh perhatian terhadap
masalah-masalah keagamaan.
4.
Para filsuf Islam yang membedakan antara
penemuan sains modern dengan pandangan filosofis sains modern tesrebut. Karena
itu, meskipun mereka menganjurkan pencarian rahasia-rahasia semesta melalui
ekperimentasi dan teori-teori ilmiah, mereka juga bersifat kritis terhadap
berbagai penafsiran empiristik dan materialistik yang mengatasnamakan sains.
Dalam pandangan mereka, pengetahuan ilmiah memang dapat mengungkapkan beberapa
aspek dunia fisik, namun sains saja per se, tidak dapat memberikan gambaran
sempurna tentang realitas. Sains harus dikombinasikan dengan pandang dunia
Islam agar memperoleh gambaran komprehensif mengenai realitas.[15]
Penerimaan manusia terhadap otoritas Al Quran
dan sunnah rasul sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan akan memberikan
sinergitas bagi kerja-kerja akal serta memberikan kontribusi bagi proses
pengayaan dan pembentukan pola berpikir. Al Quran merupakan kitab suci yang
memiliki keragaman tema pembahasan yang menyangkut persoalan-persoalan yang
berkenaan dengan kehidupan manusia. Al Quran mengandung muatan semangat
intelektual dan metodologi yang komprehensif dalam menganalisis realitas dan
problematika kehidupan manusia.
Islam (mempercayai bahwa adalah agama yang
diturunkan Allah kepada nabi Muhammad SAW), adalah konstruksi keyakinan yang
dibangun berdasarkan pendekatan intelektualitas berbasis pandangan yang
rasional-filosofis. Oleh karena itu, superioritas akal mestilah dihargai, namun
di sisi lain otoritas wahyu sebagai firman suci Ilahi sangat dihormati.
”Berpikir bebas” merupakan perwujudan dari pola pikir Qur’ani. Karena, tanpa
pendekatan intelektual, Islam hanya akan menjadi sekumpulan doktrin yang
bersifat kaku dan statis. Padahal, sejatinya Islam adalah agama yang sangat
dinamis dan bersinergi dengan nalar sehat manusia.
Penerimaan otoritas Al Quran dan sabda nabi,
akan membangkitkan akal dalam proses pengayaan dan pembangunan pola pikir,
paradigma, dan epistemologi yang alami. Dengan kata lain, untaian doktrin yang
termaktub dalam Al Quran dan hadis sangat berkesesuaian dengan alur nalar
manusia yang rasional. Hal ini diyakini karena khasanah tema-tema pembahasan
dalam Al Quran sangat beragam dan luas, memiliki alur logika, semangat dan
metodologi yang komprehensif. Karena pijakan inilah, sebagai umat Islam, kita
senantiasa harus bersikap kritis dan evaluatif terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan yang ada.
Ilmuisasi Islam mesti dipahami sebagai upaya
untuk ”membingkai” universalitas Islam dalam sebuah skema konseptual, tata
nilai, dan sikap hidup. Sebagai sebuah ”upaya”, maka proses ini mesti pula
dipahami sebagai sebuah proses untuk memahami Islam dan mengkontekskannya
dengan kondisi zaman yang berkembang. Oleh karena itu, pilihan terhadap
pendekatan intelektual dalam memahami Islam menjadi sebuah perangkat
epistemologis dan metodologis menjadi sebuah keniscayaan logis.
Secara normatif, pilihan epistemik yang menjadikan pendekatan dan tema
intelektualitas sebagai basis epistemik dalam mengilmui Islam didasarkan pada
firman Allah swt dalam Al Quran surat surat al-Isra ayat 36:
Terjemahannya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabannya.[16]
Kerangka paradigma epistemik ini
menawarkan sebuah bentuk konsepsi dan keyakinan tentang Islam yang unik,
menarik, dan holistik. Yaitu Islam yang dibangun di atas basis-basis teoritik
yang ditelaah dalam kerangka rasional filosofis. Pilihan pada konstruk
epistemologi rasional dalam memahami Islam, telah melahirkan keyakinan yang
kuat akan superioritas Islam sebagai sebuah ajaran yang cakupannya melingkupi
seluruh aspek kehidupan manusia. Penerimaan terhadap Islam sebagai ajaran yang
holistik, selain membawa implikasi intelektual, juga menuntut ketaatan yang
maksimal pada seluruh ajaran Islam. Dan di saat yang sama melahirkan kesadaran
untuk selalu bersikap kritis pada berbagai paham yang berkembang.
Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk
menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan demikian pembaharuan
dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks dalam
al-Qur’an maupun teks dalam Hadits, melainkan hanya mengubah atau menyesuaikan
paham atas keduanya sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dilakukan karena
bagaimanapun hebatnya paham-paham yang dihasiilakan oleh para ulama atau pakar
terdahulu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrungan ilmu
pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya. Paham-paham tersebut mungkin
masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan, tetapi mungkin banyak yang
tidak sesuai lagi.
Selain itu pembaharuan dalam Islam dapat juga
berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan
antara yang dikehendaki al-Qur’an dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat.
Al-Qur’an misalnya mendorong umat agar menguasai pengetahuan modern serta
teknologi secara seimbang, hidup bersatu rukun dan damai, bersikap dinamis,
mencintai kebersihan dan lain sebagainya. Namun kenyataan ummat menunjukkan
keadaan yang berbeda, sebagian besar ummat Islam hanya menguasai pengetahuan
agama sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasainya, hidup dalam keadaan
pertentangan dan peperangan, bersikap diktator, kurang menghargai waktu dan
lain sebagainya. Sikap dan pandangan hidup ummat demikian jelas tidak sejalan
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, hal demikian harus diperbaharui dengn jalan
kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka
pembaharuan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup
ummat agar sejalan dengan petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah.
Bangsa Indonesia tegasnya umat Islam baru
menjadi konsumen, belum produsen. Kehadiran Islam yang relatif baru di
Indonesia dibandingkan dengan negara lain, ditambah dengan lemahnya tradisi
membaca, telah mengakibatkan bangsa ini dalam soal tradisi dan budaya, baru
menjadi konsumen, belum produsen. Akibat lebih lanjut dari keadaan itu,
intelectual content pada bangsa ini amat rendah dan jarang bisa menghasilkan
karya bermutu.[17]
Secara ringkas, teori Taufik Abdullah tentang
gelombang-gelombang dinamika sosial dan intelektual itu terdiri dari; pertama,
gelombang penyebaran awal Islam di nusantara ketika Islam telah “lulus ujian”
menghadapi pemikiran Persia, Hellenisme, India, dan lain-lain. Gelombang ini
disebut Taufik Abdullah sebagai “dunia fana yang kosmopolitan”. Gelombang
kedua, ketika Islam semakin menyebar dengan membawa pemikiran ortodoksi
sehingga menghasilkan apa yang disebutnya sebagai “Islamisasi realitas”.
Ketiga, gelombang akselerasi ortodoksi khususnya melalui “proses ortodoksi
fikih”. Keempat, gelombang modernisasi dengan intelektualisme bercorak politis
dan pan-Islamis, dan kelima, gelombang neo-modernisme kontemporer.[18]
Kaitan dengan misi agama yang dibawa oleh
setiap agama wahyu, yang dibebankan kepada penganutnya masing-masing,
Nurcholish Madjid menegaskan hal tersebut harus diberlakukan dengan semangat
saling menghormati, menghargai dan toleransi. Menurutnya Nabi telah menegaskan
bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah adalah al hanafiyah al samhah,
yaitu semangat mencari kebenaran yang lapang, toleransi, tidak sempit, tanpa
kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.[19]
Dalam kaitan ini Nurcholis Madjid mengatakan
harus mengintegrasikan nilai-nilai universal tersebut dengan sinaran situasi
nyata ruang dan waktu yang partikular. Baginya, keyakinan bahwa Islam adalah
ajaran yang universal, termasuk menjadi inti dari agama-agama, membawa
implikasi bahwa ia dapat diberlakukan kepada semua tempat dan waktu. Kebenaran
dapat ditemukan kepada setiap bangsa dan masa, kapan saja dimana saja.[20]Memandang
penting untuk meletakkan sisi-sisi keuniversalan ajaran dalam kerangka dialog
kultural dengan situasi dimana ia termanifestasikan oleh pemeluknya. Suatu
kenyataan akan muncul ekspresi dan manifestasi keberagaman seseorang atau
sekelompok orang dalam masyarakat yang beragam atau bervariasi sejalan dengan
budaya dan watak manusia yang menerimanya.[21]
Dalam mewujudkan obsesinya, Hasan Hanafi
mengawali wacananya dengan pembahasan metode-metode dasar tentang pemikiran
sosio-legal dalam Islam, seperti terangkum dalam karyanya, Les method’s
d’exegeses: Essai sur la science des fondement de la comprehension ‘ilm ushul
al fiqh (1965). Dalam pembahasannya mengenai subyek ini ia menggunakan
perspektif yang menggabungkan antara tafsir (makna tersurat/eksoteris) dan
ta’wil (makna tersirat/esoteris) al Qur’an dengan pendekatan-pendekatan
kontemporer dalam analisis-analisis filosofis. Hasan Hanafi menggambarkan
karyanya ini sebagai usaha untuk “merekonstruksi budaya Islam pada tingkat
kesadaran dalam rangka menemukan subyektivitas… karya ini memberikan metode
untuk menganalisis pengalaman-pengalaman yang hidup, dan menggambarkan
proses-proses pseudo-morfologi linguistik”.[22]
Di Indonesia misalnya, sebagai suatu bangsa
yang mempunyai tingkat heterogenitas tertinggi secara fisik (negara kepulauan)
maupun dalam soal keragaman suku, bahasa, daerah, agama, dan adat istiadat,
maka dengan sendirinya manifestasi dan ekspresi keberagamannya bervariasi
sejaln dengan kondisi beragamnya budaya yang ada. Muncul antara yang
kebarat-baratan, kearab-araban dan ketradisian-tradisian sebagai sesuatu yang
sulit dihindari. Persoalannya apakah ekspresi dan manifestasi keberagaman yang
merupakan hasil dialog kultural antara keuniversalan Islam dengan kekhasan
suatu kawasan itu absah atau tidak, dan seberapa jauh tingkat keberlakuannya.
Haruskah dianggap sebagai ekspresi dan manifestasi keagamaan yang serta merta
mesti bernilai mutlak sehingga mesti pula berlaku di semua tempat.[23]
Nilai keberlakuan sebuah manifestasi atau ekspresi
keagamaan tidaklah mutlak, tetapi diletakkan seberapa kuat relevansinya dengan
tuntutan zaman dan tempat. Karena itu, dimungkinkan upaya meningkatkan atau
mengubahnya atau menggantikannya sama sekali, dalam semangat kesadaran dan
kenisbian spasial dan temporalnya ruang dan waktu. Ini menggambarkan apa yang
disebut Nurcholish Madjid sebagai adanya suatu kontinuitas dan kezamanan (al
Shalah wa al Mu’asharah), sekaligus tuntutan untuk senantiasa belajar dari
masa lalu dalam rangka mempertahankan mana saja unsur-unsur positif dan
membuang unsur-unsur negatif, kemudian menggunakannya untuk meningkatkan
kecakapan mengambil apa saja unsur-unsur yang lebih baik dari masa kini dan
masa depan yang diperkirakan. Dengan begitu, suatu pandangan memiliki tidak saja
keabsahan yang diperlukan sebagai sumber dinamika pengembangannya tapi juga
keterkaitan dengan tuntutan nyata menurut perkembangan zaman. Dan hanya dengan
begitu Nurcholish Madjid, mengklaim tentang suatu sistem ajaran seperti Islam
sebagai rahmatan lil ‘alamin dan cocok untuk segala zaman dan tempat (shahih
li kulli zaman wa makan).[24]
BAB III
PENUTUP
Islam adalah nama agama yang lahir dari sebab
turunnya wahyu Ilahi kepada Nabi Muhammad saw, yang kemudian disebarkan dan
difahami oleh akal dan intuisi manusia. Islam kemudian berkembang menjadi
sebuah peradaban baru dengan struktur konseptualnya yang kokoh dan universal.
Bila kita telusuri lebih jauh tentang
usaha-usaha orientalis yang menimbulkan kekacauan persepsi orang terhadap Islam,
seperti menimbulkan kesangsian terhadap kerasulan Nabi Muhammad SAW, kebenaran
al Qur’an sebagai wahyu Allah, kesamawian agama Islam, kebenaran hadits,
keagungan fiqh Islam, dan kemampuan bahasa Arab, maka pada hakekatnya tidak
terlepas dari tujuan ganda mereka: tujuan keagamaan (religi) dan tujuan
penjajahan (imperial), yaitu ingin mencabut akar-akar umat Islam dari
dada umat Islam sesuai dengan misi agama mereka.
Ketundukan pada aspek normatifitas Islam,
didasarkan pada pendekatan intelektualitas dalam memahami Islam. Dengan kata
lain, bersikap normatif merupakan konsekuensi logis dari pandangan intelektual.
Atau, ”sikap normatif merupakan keniscayaan intelektual dan pandangan
intelektual merupakan landasan dari pilihan hidup normatif”.
Secara epistemik keilmuan Islam
berkarakteristik intelektual serta secara praksis implementasi ajaran Islam
sangat menekankan aspek normatifitas Islam sebagai sikap hidup. Yaitu,
pendekatan intelektual dalam memahami Islam, serta secara praksis diwujudkan
dengan implementasi fiqh dan penekanan pada doktrin moralitas (akhlak) Islam
yang sangat ketat pada seluruh aspek kehidupan.
Adalah sebuah kenyataan jika pada masa klasik
para orientalis kebanyakan dari mereka tidak objektif dalam memandang pribadi
Muhammad, karena memang bekas-bekas permusuhan dan kebencian terhadap Islam
semenjak perang salib masih tetap tertanam di dada mereka.
Pada era dimana peradaban modern-sekular
mencengkeram negeri-negeri muslim dengan kokohnya, Islamisasi pengetahuan
sebagai fenomena proses pencarian identitas muslim di tengah kegalauan
modernitas terus menjadi perdebatan panjang di kalangan intelektual muslim.
Bukan persoalan ilmu Barat atau Arab, atau kebiasaan umat Islam yang sering
melihat pada sisi “kita dan mereka”, tapi ada kesadaran dan kakuatan baru
dikalangan intelektual muslim untuk merekonstruksi basis keilmuan yang selama
ini diterima dari dunia Barat yang diasumsikan bersumber dari landasan yang
menafikan nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Di sisi lainnya, kita sebagai
intelektual muslim harus memandang bahwa masih banyak hal lain yang lebih
penting dari sekedar merumuskan basis keilmuan Islam, karena darimana pun
sumber ilmu tersebut, dia akan berproses dan dimodifikasi oleh masyarakat itu
sendiri sesuai dengan nilai-nilai yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi,
Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, & Pluralitas,
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Departemen
Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Departemen Agama RI, 2005.
Hamzah, Alirman,
Citra Islam di Mata Barat, Sejarah dan Perkembangan Orientalisme, Padang
: Suryani Indah, 2003.
Ma’arif,
A. Syafi’i, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung :
Mizan, 1994.
Madjid,
Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta : Paramadina, 1995.
Munawar,
Budhy-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jakarta : Paramadina, CLS
dan Mizan, 2006.
Nanji, Azim, Peta
Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, Yogyakarta :
Fajar Pustaka Baru, 2003.
Said, Edward W,
Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagi
Subjek), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.
Watt,
William Montogomery, Fundamentalis dan Modernitas, Bandung : Pustaka
Setia, 2003.
Wizan, Adnan M,
Akar Gerakan Orientalisme,
Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003.
[1]Alirman Hamzah, Citra Islam di Mata Barat
: Sejarah dan Perkembangan Orientalisme, (Padang : Suryani Indah, 2003), h. x.
[4]Alirman Hamzah, Op. Cit, h. x.
[8]A. Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi
Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1994), h. 35.
[9]Edward W. Said, Orientalisme: Menggugat
Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagi Subjek, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2010), h. 197.
[11]Azim Nanji, Peta Studi Islam: Orientalisme
dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru ,2003),
h. 218.
[12]Adnan M. Wizan, Akar Gerakan Orientalisme,
(Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003), h. 48.
[13]Azim Nanji, Op. Cit, h. vii
[14]William Montogomery Watt, Fundamentalis dan
Modernitas, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), h. 9.
[15]http://altanwir.wordpress.com/2008/07/15/sikap-dan-pandangan-filosofis-muthahari-terhadap-sains-modern, diakses pada tanggal 10 April 2014 pukul
10.30 WITA.
[17]Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi,
Radikalisme, & Pluralitas, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.
149.
[19]Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi
Nurcholish Madjid, (Jakarta : Paramadina, CLS dan Mizan, 2006), h. 145.
[22]Azyumardi Azra, Op.Cit, h. 161.
[23]Nurcholish Madjid, Op.Cit, h. 36.