Senin, 30 Desember 2013

qawaid tafsir tentang Taraduf


A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Bahasa arab bagi orang muslim memiliki arti penting, karena di samping diyakini  sebagai bahasa yang dipilih oleh Allah, juga merupakan bahasa peribadatan karena Al-qur'an merupakan firman Allah, sehingga huruf-huruf, lafadz dan struktur bahasa yang terdapat  di dalam Al-qur'an juga dinilai sebagai bagian dari ajaran agama.[1]
Landasan logika berfikir di atas yang memposisikan bahasa arab sebagai “bahasa pilihan Tuhan” dan sebagai “bahasa peribadatan” dengan sendirinya menjadikannya sebagai sesuatau yang tidak dapat dipisahkan dari wilayah agama. Karena posisi demikan penting, sehingga seorang penafsir dari kalangan Tabi’in menyatakan bahwa tidak wajar orang beriman kepada Allah dan hari akhir membicarakan sesuatu tentang kandungan kitab Allah sebelum mendalami bahasa arab.[2]
Dikalangan para ulama tafsir pun pemahaman bahasa arab telah dijadikan sebagai salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap penafsir.secara umum syarat seorang penafsir sebagaiman disimpulkan oleh M. Quraish Shihab dari pandangan ulama adalah mengetahui bahasa arab dalam berbagai bidangnya, mengetahui tentang ilmu-ilmu Al-qur'an, sejarah turunnya, hadis-hadis nabi, ushul fiqih serta mengetahui tentangn prinsip-prinsip pokok keagamaan juga mengetahui tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.[3]
Al-qur'an tidak berbicara dengan menggunakan suatu kata kecuali kata tersebut sejalan dengan makna yang dikhendakinya pada tingkat yang paling tinggi, bahkan sampai kepada keseimbangan jumlah penggunaannya di dalam Al-qur'an, untuk mencapainya perlu ada penguasaan kaidah-kaidah khusus berkaitan dengan kegiatan penafsiran.[4]
Salah satu keunggulan bahasa arab adalah kekayaan kosa kata dan bentuk taraduf-nya (yang mirip dengan sinonim dalam bahasa Indonesia). Dan terbukti bahwa Al-qur'an telah menggunakan kekayaan bahasa arab tersebut dengan sangat teliti dalam memberikan gambaran tentang sesuatu.[5]
Menurut Khalid bin Usman ada ulama yang menolak pengunaan taraduf dalam wilayah bahasa arab, namun ada juga yang menerimanya sebagai bagian dari bahasa arab tapi menolak dalam penggunaanya dalam wilayah pembahasan Al-qur'an, namun secara tegas disebutkan Khalid bin Usman bahwa pendapat yang paling dapat dipertanggungjawabkan adalah taraduf itu bagian dari bahasa arab dan penggunaannya terdapat dalam Al-qur'an. Taraduf yang ia maksud adalah lafaz-lafaz yang mempunyai kemiripan makna, bukan makna yang sama.[6]
Olehnya itu, kajian tentang taraduf ini dan kaidah yang berkaitan dengannya mutlak diperlukan dalam memahami Al-qur'an secara lebih mendalam. Tanpa pemahaman pada perangkat kajian ini akan membuka peluang bagi para pengkaji Al-qur'an untuk jatuh ke perangkap penafsiran yang keliru, yang akibatnya tidak hanya berdampak negative kepada pemahaman si pengkaji sendiri, tetapi juga bagi ummat yang mengikuti alur dari hasil penafsiran tersebut.  

2.      Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah:
1.      Apa yang dimaksud kaidah taraduf?
2.      Bagaimana eksistensi kaidah taraduf di dalam Al-qur'an?


B.      PEMBAHASAN
1.      Pengertian Taraduf
Secara etimologi taraduf berasal dari kata radifa-yardafu-radfan (mengikuti di belakang, membonceng) yang terdiri dari rangkaian huruf ra-dal-fa yang berarti tabi’ahu (akibat) atau yadullu ‘ala itba’ al-syai’ (menunjuk atas ikutan terhadap sesuatu). Sedang taraduf sewazan dengan tafa’ul yang bermakna al-tatabu (berturutan) atau tatabu syai’ khalfa syai’ atau rakiba al-wahid minha khalfa al-akhar atau tabi’a ba’duhu ba’dan. Sedang taradafat li al-kalimat bermakna tasyabihat fi al-ma’na (kata-kata yang serupa maknanya).[7]
Sedangkan secara terminologi, taraduf adalah


Artinya: lafaz-lafaz mufrad yang menunjuk atas sesuatu yang semakna dan dengan keterangan yang sama pula.


Artinya: sesuatu yang lafaznya berbilang dan mengandung satu makna.

Yang dimaksud dengan istilah “satu makna” adalah makna aslinya, bukan makna yang sempurna, sebab setiap lafaz masing-masing mempunyai makna khusus yang membedakannya dengan lafaz yang lainnya.[8]
Para mufassir membuat kaidah taraduf sebagai landasan teoritis untuk menuntun para pengkaji Al-qur'an dalam memahami penggunaan lafaz-lafaz dari ayat-ayat Al-qur'an yang terkesan sama.
2.      Kaidah Taraduf
Ada tiga macam kaidah yang berkenan dengan lafaz taraduf:









Artinya:
a.selama makna lafaz-lafaz Al-qur'an memungkinkan untuk menghindari taraduf, maka itulah yang diinginkan.
a.terkadang perbedaan dan lafaz menerangkan sesuatu yang sama, maka sebaiknya keduanya disebutkan dengan cara memberikan ta’kid.
b.Makna yang dihasilkan dari penggabungan dua mutarddif, tidak didapatkan ketiak salah satu dari keduanya berdiri sendiri.

a.      Penjelasan kaidah pertama
Setiap perbedaan ungkapan dan isim mengharuskan perbedaan pada maknanya pula, karena setiap isim menunjk kepada sesuatu yang diisyaratkan, ketika sudah diisyaratkan satu kali, maka tidak akan  ditemukan lagi pada isyarat yang kedua dan ketiga sesuatu yang tidak bermanfaat. Karena apa yang diisyaratkan pada yang kedua dan ketiga masing-masing berbeda dengan apa yang diisyaratkan pada lafaz yagn pertama yagn telah disebutkan.[9]
Contoh ayat-ayat Al-qur'an yang berkaitan dengan kaidah ini
1.      QS. Al-Baqarah ayat 157
y7Í´¯»s9'ré& öNÍköŽn=tæ ÔNºuqn=|¹ `ÏiB öNÎgÎn/§ ×pyJômuur ( šÍ´¯»s9'ré&ur ãNèd tbrßtGôgßJø9$# ÇÊÎÐÈ
                 Artinya: Mereka itukah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.[10]

            Lafaz salawat berasal dari akar kata silah (hubungan). Sehingga kalimat salawatmin rabbihim bermakna Tuhan akan menyambungkan hubungan dengan sang hamba. Hubungan (salawat) bermakna sana’u Allah ta’ala ‘ala ‘abidihi fi al-mala’I al-a’la (pujian allah atas hamba-Nya di tempat yang tertinggi). Adapun makna kata rahmah adalah belas kasih yang menuntut kebaikan kepada yang dirahmati.[11]
2.      QS. Al-an’am ayat 32
            $tBur äo4quysø9$# !$uŠ÷R$!$# žwÎ) Ò=Ïès9 ×qôgs9ur (   
                    Artinya:Dan kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau belaka..[12]

                 Lafaz la’ibun dan lahwun di dalam redaksi ayat di atas tidaklah berarti sama. Lafaz la’ibun (perminan) bermakna aktivitas sia-sia tanpa tujuan, sedang lahwun (kelengahan) bermakna aktivitas yang menyenangkan hait, tetapi tidak atau kurang penting sehingga melengahkan pelakunya dari hal-hal yang penting atau lebih penting.[13]
b.      Penjelasan kaidah kedua
Sering digunakan dalam kalimat (al-kalam) bahasa arab, termasuk dalam wilayah balagah dan fasahah. Di dalam Al-qur'an pun seperi kata haram dan haraj, halal dan tayyib.
Hal ini terjadi karena setiap lafaz  yang di-takhsis dengan makna tambahan atas apa yang terdapat pada lafaz sesudahnya. Di samping itu di dalam kaidah ini juga didapatkan hasil yang diperoleh dari penggabungan dua mutardif. Misalnya :
1.      QS. al-Hijr ayat 30

yyf|¡sù èps3Í´¯»n=yJø9$# öNßg=à2 tbqãèuHødr& ÇÌÉÈ
Artinya : Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama.[14]

            Lafaz kulluhum dalam penggunaanya selalu disandarkan pada kumpulan sesuatu yang ber-alif lam. Lafaz kullu mencakup semuanya, baik yang hadir ataupun yagn tidak hadir. Sedang makna lafaz ajma’un hanya mencakup pada semua yang hadir. Dan lafaz ajma’un di dalam ayat di atas berfungsi untuk men-takid.[15]
2.      QS. al-Nisa ayat 30
`tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ $ZRºurôãã $VJù=àßur t$öq|¡sù ÏmŠÎ=óÁçR #Y$tR 4 tb%Ÿ2ur šÏ9ºsŒ n?tã «!$# #·ŽÅ¡o
Artinya: Dan barang siapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikan itu mudah bagi Allah[16].

Lafaz ‘udwan adalah jalan yang melampaui batas dan membenarkan perbuatan tersebut. Sedang zulm bermakna kegelapan (lawan lafaz nur, cahaya) dan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.[17]
c.       Penjelasan kaidah ketiga
Kaidah ini berkenaan dengan penjelasan yang mengulang sesuatu lewat ‘ataf terhadap salah satu dari dua mutaraddif terhadap yang terakhir. Dan apabila banyaknya huruf berpengaruh pada pertambahan makna, maka yang demikian itu menunjukkan berbilangnya lafaz. Misalnya:



1.      QS. Al-Fatir ayat 25

bÎ)ur šqç/Éjs3ムôs)sù z>¤x. šúïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% öNåkøEuä!%y` Nßgè=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$$Î/ur É=»tFÅ3ø9$$Î/ur ÎŽÏYßJø9$# ÇËÎÈ
Artinya: Dan jika mereka mendustakanmu, maka sungguh, orang-orang yang sebelum mereka pun telah mendustakan (rasul-rasul), ketika rasul- rasulnya datang dengan membawa keterangan yang nyata (mukjizat), zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.[18]

2.      QS. Al-Fatir ayat 35
üÏ%©!$# $oY¯=ymr& u#yŠ ÏptB$s)ßJø9$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù Ÿw $uZ¡yJtƒ $pkŽÏù Ò=|ÁtR Ÿwur $uZ¡yJtƒ $pkŽÏù Ò>qäóä9 ÇÌÎÈ
Artinya :yang dengan karunia-Nya menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga), di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak pula merasa lelah dan tidak pula merasa lesu.[19]





3.      QS. Al-Mudassir ayat 28

Ÿw Å+ö7è? Ÿwur âxs? ÇËÑÈ
          Artinya :ia (saqar itu) tidak meniggalkan dan tidak membiarkan.[20]

            Contoh-contoh di atas memberikan pemahaman kepada setiap orang yang mendengarnya, dan pemahaman yang diperoleh tersebut sudah dianggap memadai tanpa perlu menjelaskannya panjang lebar. Tetapi apabila salah saut lafaz-lafaz dari penggabungan dua mutaraddif  tersebut tidak akan didapatkan ketika salah satu dari keduanya berdiri sendiri.


















C.    PENUTUP
  1. kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
a.       Secara etimologi taraduf berasal dari kata radifa-yardafu-radfan (mengikuti di belakang, membonceng) yang terdiri dari rangkaian huruf ra-dal-fa yang berarti tabi’ahu (akibat) atau yadullu ‘ala itba’ al-syai’ (menunjuk atas ikutan terhadap sesuatu). Sedang taraduf sewazan dengan tafa’ul yang bermakna al-tatabu (berturutan) atau tatabu syai’ khalfa syai’ atau rakiba al-wahid minha khalfa al-akhar atau tabi’a ba’duhu ba’dan. Sedang taradafat li al-kalimat bermakna tasyabihat fi al-ma’na (kata-kata yang serupa maknanya).
b.      Secara terminology taraduf lafaz-lafaz mufrad yang menunjuk atas sesuatu yang semakna dan dengan keterangan yang sama pula atau sesuatu yang lafaznya berbilang dan mengandung satu makna.
c.       Kaidah-kaidah taraduf dalam Al-qur'an adalah sebagai berikut:
1.      selama makna lafaz-lafaz Al-qur'an memungkinkan untuk menghindari taraduf, maka itulah yang diinginkan.
2.      terkadang perbedaan dan lafaz menerangkan sesuatu yang sama, maka sebaiknya keduanya disebutkan dengan cara memberikan ta’kid.
3.      Makna yang dihasilkan dari penggabungan dua mutarddif, tidak didapatkan ketiak salah satu dari keduanya berdiri sendiri
  1. saran
Demikianlah apa yang dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, kritik Dan saran yang sifatnya membangun tetap penulis nantikan, utamanya dari bapak Pembina mata kuliah Qawaid al-Tafsir, untuk perbaikan di waktu mendatang. Semoga tulisan ini membawa manfaat. Kesempurnaanya hanya milik Tuhan.





DAFTAR PUSTAKA
M. Muchoyyar, “pengantar” dalam Mohammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-qur'an; Refleksi Atas Persoalan Linguistik, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Muhammad Husain al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, Cet. VII; t.t: Maktabah Wahbah, 2000.

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur'an, Cet. XXV; Bandung: Mizan, 2003.

Said Agli Husin al-Munawwar, Al-qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki ,Cet. III; Jakarta: Ciputat Press, 2004.

Khalid bin Usman al-Sabt, Qawa’id al- Tafsir Jam’an wa Dirasah, Cet. I; Madinah: Dar al- Affan, 1421.


Al-Imam al-Allamah ibn al-fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram ibn Manzur al-Misri, Lisan al-Arab, Cet. I; Beirut: Dar Sadr, 2000.


Departemen Agama RI, Al-qur'an dan terjemahannya, Bandung: Syaamil Cipta Media


[1]M. Muchoyyar, “pengantar” dalam Mohammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-qur'an; Refleksi Atas Persoalan Linguistik (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. x.

[2]Muhammad Husain al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Cet. VII; t.t: Maktabah Wahbah, 2000), h. 190.

[3]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur'an (Cet. XXV; Bandung: Mizan, 2003), h. 79.
[4]Said Agli Husin al-Munawwar, Al-qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Cet. III; Jakarta: Ciputat Press, 2004), h. 33. 
                    
[5]M. Quraish Shihab, Op. Cit, h. 97.

[6]Khalid bin Usman al-Sabt, Qawa’id al- Tafsir Jam’an wa Dirasah (Cet. I; Madinah: Dar al- Affan, 1421 h), h. 460.
[7]Al-Imam al-Allamah ibn al-fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram ibn Manzur al-Misri, Lisan al-Arab (Cet. I; Beirut: Dar Sadr, 2000), h. 136.

[8]ibid
[9]Khalid bin Usman al-sabt, Qawaid al-Tafsir, Op Cit, h. 460-461

[10]Departemen Agama RI, Al-qur'an dan terjemahannya (Bandung: Syaamil Cipta Media, t.th.), h. 24. 
[11]Khalid bin Usman al-Sabt, Qawa’id al-Tafsir, Op. Cit., h. 467

[12]Departemen Agama RI, Al-qur'an Dan Terjemahannya, Op. Cit., h. 131

[13]M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah, Vol 10, Op. Cit, h. 511

[14]Departemen Agama RI, Al-qur'an dan Terjemahannya, Op. Cit., h. 263.

[15]Al-ragib al-Isfahani, al-Mufradat fi Garib al-Qur’an, Op. Cit., h. 493.

[16] Departemen Agama RI, Al-qur'an dan Terjemahannya, Op. Cit., h. 83.

[17]Ibid, h.328.
[18]Departemen Agama RI, Al-qur'an dan Terjemahannya, Op. Cit., h. 437

[19]Ibid, h. 358

[20]Ibid, h. 576.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar