A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Bahasa arab bagi orang muslim memiliki arti penting, karena di samping diyakini sebagai bahasa yang dipilih oleh Allah, juga
merupakan bahasa peribadatan karena Al-qur'an merupakan firman Allah, sehingga
huruf-huruf, lafadz dan struktur bahasa yang terdapat di dalam Al-qur'an juga dinilai sebagai
bagian dari ajaran agama.[1]
Landasan logika berfikir di atas yang memposisikan bahasa arab sebagai
“bahasa pilihan Tuhan” dan sebagai “bahasa peribadatan” dengan sendirinya
menjadikannya sebagai sesuatau yang tidak dapat dipisahkan dari wilayah agama.
Karena posisi demikan penting, sehingga seorang penafsir dari kalangan Tabi’in
menyatakan bahwa tidak wajar orang beriman kepada Allah dan hari akhir
membicarakan sesuatu tentang kandungan kitab Allah sebelum mendalami bahasa
arab.[2]
Dikalangan para ulama tafsir pun pemahaman bahasa arab telah dijadikan
sebagai salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap
penafsir.secara umum syarat seorang penafsir sebagaiman disimpulkan oleh M. Quraish
Shihab dari pandangan ulama adalah mengetahui bahasa arab dalam berbagai
bidangnya, mengetahui tentang ilmu-ilmu Al-qur'an, sejarah turunnya,
hadis-hadis nabi, ushul fiqih serta mengetahui tentangn prinsip-prinsip
pokok keagamaan juga mengetahui tentang disiplin ilmu yang menjadi materi
bahasan ayat.[3]
Al-qur'an tidak berbicara dengan menggunakan suatu kata kecuali kata
tersebut sejalan dengan makna yang dikhendakinya pada tingkat yang paling
tinggi, bahkan sampai kepada keseimbangan jumlah penggunaannya di dalam
Al-qur'an, untuk mencapainya perlu ada penguasaan kaidah-kaidah khusus
berkaitan dengan kegiatan penafsiran.[4]
Salah satu keunggulan bahasa arab adalah kekayaan kosa kata dan bentuk taraduf-nya
(yang mirip dengan sinonim dalam bahasa Indonesia). Dan terbukti bahwa
Al-qur'an telah menggunakan kekayaan bahasa arab tersebut dengan sangat teliti
dalam memberikan gambaran tentang sesuatu.[5]
Menurut Khalid bin Usman ada ulama yang menolak pengunaan taraduf
dalam wilayah bahasa arab, namun ada juga yang menerimanya sebagai bagian dari
bahasa arab tapi menolak dalam penggunaanya dalam wilayah pembahasan Al-qur'an,
namun secara tegas disebutkan Khalid bin Usman bahwa pendapat yang
paling dapat dipertanggungjawabkan adalah taraduf itu bagian dari bahasa
arab dan penggunaannya terdapat dalam Al-qur'an. Taraduf yang ia maksud
adalah lafaz-lafaz yang mempunyai kemiripan makna, bukan makna yang sama.[6]
Olehnya itu, kajian tentang taraduf ini dan kaidah yang berkaitan
dengannya mutlak diperlukan dalam memahami Al-qur'an secara lebih mendalam.
Tanpa pemahaman pada perangkat kajian ini akan membuka peluang bagi para
pengkaji Al-qur'an untuk jatuh ke perangkap penafsiran yang keliru, yang
akibatnya tidak hanya berdampak negative kepada pemahaman si pengkaji sendiri,
tetapi juga bagi ummat yang mengikuti alur dari hasil penafsiran tersebut.
2.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian permasalahan di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah adalah:
1.
Apa yang dimaksud kaidah taraduf?
2.
Bagaimana eksistensi kaidah
taraduf di dalam Al-qur'an?
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian Taraduf
Secara etimologi taraduf berasal dari kata radifa-yardafu-radfan
(mengikuti di belakang, membonceng) yang terdiri dari rangkaian huruf ra-dal-fa
yang berarti tabi’ahu (akibat) atau yadullu ‘ala itba’ al-syai’
(menunjuk atas ikutan terhadap sesuatu). Sedang taraduf sewazan dengan tafa’ul
yang bermakna al-tatabu (berturutan) atau tatabu syai’ khalfa
syai’ atau rakiba al-wahid minha khalfa al-akhar atau tabi’a
ba’duhu ba’dan. Sedang taradafat li al-kalimat bermakna tasyabihat
fi al-ma’na (kata-kata yang serupa maknanya).[7]
Sedangkan secara
terminologi, taraduf adalah
Artinya: lafaz-lafaz mufrad yang menunjuk atas sesuatu yang semakna
dan dengan keterangan yang sama pula.
Artinya: sesuatu
yang lafaznya berbilang dan mengandung satu makna.
Yang dimaksud dengan istilah “satu makna” adalah makna aslinya, bukan
makna yang sempurna, sebab setiap lafaz masing-masing mempunyai makna khusus
yang membedakannya dengan lafaz yang lainnya.[8]
Para mufassir membuat kaidah taraduf sebagai landasan
teoritis untuk menuntun para pengkaji Al-qur'an dalam memahami penggunaan
lafaz-lafaz dari ayat-ayat Al-qur'an yang terkesan sama.
2.
Kaidah Taraduf
Ada tiga macam kaidah yang berkenan dengan
lafaz taraduf:
Artinya:
a.selama makna lafaz-lafaz
Al-qur'an memungkinkan untuk menghindari taraduf, maka itulah yang diinginkan.
a.terkadang
perbedaan dan lafaz menerangkan sesuatu yang sama, maka sebaiknya keduanya
disebutkan dengan cara memberikan ta’kid.
b.Makna yang
dihasilkan dari penggabungan dua mutarddif, tidak didapatkan ketiak salah satu
dari keduanya berdiri sendiri.
a.
Penjelasan kaidah pertama
Setiap perbedaan
ungkapan dan isim mengharuskan perbedaan pada maknanya pula, karena setiap isim
menunjk kepada sesuatu yang diisyaratkan, ketika sudah diisyaratkan satu kali,
maka tidak akan ditemukan lagi pada
isyarat yang kedua dan ketiga sesuatu yang tidak bermanfaat. Karena apa yang
diisyaratkan pada yang kedua dan ketiga masing-masing berbeda dengan apa yang
diisyaratkan pada lafaz yagn pertama yagn telah disebutkan.[9]
Contoh ayat-ayat Al-qur'an yang
berkaitan dengan kaidah ini
1.
QS. Al-Baqarah ayat 157
y7Í´¯»s9'ré& öNÍkön=tæ ÔNºuqn=|¹ `ÏiB öNÎgÎn/§ ×pyJômuur ( Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbrßtGôgßJø9$# ÇÊÎÐÈ
Artinya:
Mereka itukah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka
itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.[10]
Lafaz salawat berasal dari
akar kata silah (hubungan). Sehingga kalimat salawatmin rabbihim
bermakna Tuhan akan menyambungkan hubungan dengan sang hamba. Hubungan
(salawat) bermakna sana’u Allah ta’ala ‘ala ‘abidihi fi al-mala’I al-a’la
(pujian allah atas hamba-Nya di tempat yang tertinggi). Adapun makna kata rahmah
adalah belas kasih yang menuntut kebaikan kepada yang dirahmati.[11]
2.
QS. Al-an’am ayat 32
$tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# wÎ) Ò=Ïès9 ×qôgs9ur (
Artinya:Dan
kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau belaka..[12]
Lafaz la’ibun dan lahwun
di dalam redaksi ayat di atas tidaklah berarti sama. Lafaz la’ibun
(perminan) bermakna aktivitas sia-sia tanpa tujuan, sedang lahwun
(kelengahan) bermakna aktivitas yang menyenangkan hait, tetapi tidak atau
kurang penting sehingga melengahkan pelakunya dari hal-hal yang penting atau
lebih penting.[13]
b.
Penjelasan kaidah kedua
Sering digunakan
dalam kalimat (al-kalam) bahasa arab, termasuk dalam wilayah balagah
dan fasahah. Di dalam Al-qur'an pun seperi kata haram dan haraj,
halal dan tayyib.
Hal ini terjadi
karena setiap lafaz yang di-takhsis
dengan makna tambahan atas apa yang terdapat pada lafaz sesudahnya. Di samping
itu di dalam kaidah ini juga didapatkan hasil yang diperoleh dari penggabungan
dua mutardif. Misalnya :
1.
QS. al-Hijr ayat 30
yyf|¡sù èps3Í´¯»n=yJø9$# öNßg=à2 tbqãèuHødr& ÇÌÉÈ
Artinya : Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama.[14]
Lafaz kulluhum dalam
penggunaanya selalu disandarkan pada kumpulan sesuatu yang ber-alif lam.
Lafaz kullu mencakup semuanya, baik yang hadir ataupun yagn tidak hadir. Sedang
makna lafaz ajma’un hanya mencakup pada semua yang hadir. Dan lafaz
ajma’un di dalam ayat di atas berfungsi untuk men-takid.[15]
2.
QS. al-Nisa ayat 30
`tBur ö@yèøÿt y7Ï9ºs $ZRºurôãã $VJù=àßur t$öq|¡sù ÏmÎ=óÁçR #Y$tR 4 tb%2ur Ï9ºs n?tã «!$# #·Å¡o
Artinya: Dan barang siapa berbuat demikian dengan cara melanggar
hukum dan zalim, akan kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikan itu mudah
bagi Allah[16].
Lafaz ‘udwan adalah jalan yang melampaui batas dan membenarkan perbuatan
tersebut. Sedang zulm bermakna kegelapan (lawan lafaz nur,
cahaya) dan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.[17]
c.
Penjelasan kaidah ketiga
Kaidah ini berkenaan dengan penjelasan yang mengulang sesuatu lewat ‘ataf
terhadap salah satu dari dua mutaraddif terhadap yang terakhir. Dan apabila
banyaknya huruf berpengaruh pada pertambahan makna, maka yang demikian itu
menunjukkan berbilangnya lafaz. Misalnya:
1.
QS. Al-Fatir ayat 25
bÎ)ur qç/Éjs3ã ôs)sù z>¤x. úïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% öNåkøEuä!%y` Nßgè=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$$Î/ur É=»tFÅ3ø9$$Î/ur ÎÏYßJø9$# ÇËÎÈ
Artinya: Dan jika mereka mendustakanmu, maka sungguh, orang-orang
yang sebelum mereka pun telah mendustakan (rasul-rasul), ketika rasul- rasulnya
datang dengan membawa keterangan yang nyata (mukjizat), zabur dan kitab yang
memberi penjelasan yang sempurna.[18]
2.
QS. Al-Fatir ayat 35
üÏ%©!$# $oY¯=ymr& u#y ÏptB$s)ßJø9$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù w $uZ¡yJt $pkÏù Ò=|ÁtR wur $uZ¡yJt $pkÏù Ò>qäóä9 ÇÌÎÈ
Artinya :yang dengan karunia-Nya menempatkan kami
dalam tempat yang kekal (surga), di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak
pula merasa lelah dan tidak pula merasa lesu.[19]
3.
QS. Al-Mudassir ayat 28
w Å+ö7è? wur âxs? ÇËÑÈ
Artinya
:ia (saqar itu) tidak meniggalkan dan tidak membiarkan.[20]
Contoh-contoh di atas memberikan
pemahaman kepada setiap orang yang mendengarnya, dan pemahaman yang diperoleh
tersebut sudah dianggap memadai tanpa perlu menjelaskannya panjang lebar.
Tetapi apabila salah saut lafaz-lafaz dari penggabungan dua mutaraddif tersebut tidak akan didapatkan ketika salah
satu dari keduanya berdiri sendiri.
C. PENUTUP
- kesimpulan
Dari pembahasan
di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
a.
Secara etimologi taraduf
berasal dari kata radifa-yardafu-radfan (mengikuti di belakang,
membonceng) yang terdiri dari rangkaian huruf ra-dal-fa yang berarti tabi’ahu
(akibat) atau yadullu ‘ala itba’ al-syai’ (menunjuk atas ikutan terhadap
sesuatu). Sedang taraduf sewazan dengan tafa’ul yang bermakna al-tatabu
(berturutan) atau tatabu syai’ khalfa syai’ atau rakiba al-wahid
minha khalfa al-akhar atau tabi’a ba’duhu ba’dan. Sedang taradafat
li al-kalimat bermakna tasyabihat fi al-ma’na (kata-kata yang serupa
maknanya).
b.
Secara terminology taraduf lafaz-lafaz
mufrad yang menunjuk atas sesuatu yang semakna dan dengan keterangan yang sama
pula atau sesuatu yang lafaznya berbilang dan mengandung satu makna.
c.
Kaidah-kaidah taraduf dalam
Al-qur'an adalah sebagai berikut:
1.
selama makna lafaz-lafaz Al-qur'an
memungkinkan untuk menghindari taraduf, maka itulah yang diinginkan.
2.
terkadang perbedaan dan lafaz
menerangkan sesuatu yang sama, maka sebaiknya keduanya disebutkan dengan cara
memberikan ta’kid.
3.
Makna yang dihasilkan dari
penggabungan dua mutarddif, tidak didapatkan ketiak salah satu dari keduanya
berdiri sendiri
- saran
Demikianlah apa yang dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, kritik Dan
saran yang sifatnya membangun tetap penulis nantikan, utamanya dari bapak
Pembina mata kuliah Qawaid al-Tafsir, untuk perbaikan di waktu mendatang.
Semoga tulisan ini membawa manfaat. Kesempurnaanya hanya milik Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
M. Muchoyyar, “pengantar”
dalam Mohammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-qur'an; Refleksi Atas
Persoalan Linguistik, Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002.
Muhammad Husain al-Zahabi, Al-Tafsir
wa al-Mufassirun, Juz I, Cet. VII; t.t: Maktabah Wahbah, 2000.
M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-qur'an, Cet. XXV; Bandung: Mizan, 2003.
Said Agli Husin al-Munawwar, Al-qur'an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki ,Cet. III; Jakarta:
Ciputat Press, 2004.
Khalid bin Usman al-Sabt, Qawa’id al- Tafsir Jam’an wa Dirasah, Cet.
I; Madinah: Dar al- Affan, 1421.
Al-Imam al-Allamah ibn al-fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram ibn
Manzur al-Misri, Lisan al-Arab, Cet. I; Beirut: Dar Sadr, 2000.
Departemen Agama RI, Al-qur'an dan terjemahannya, Bandung: Syaamil Cipta
Media
[1]M.
Muchoyyar, “pengantar” dalam Mohammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-qur'an;
Refleksi Atas Persoalan Linguistik (Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), h. x.
[2]Muhammad
Husain al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Cet. VII; t.t: Maktabah
Wahbah, 2000), h. 190.
[3]M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-qur'an (Cet. XXV; Bandung: Mizan, 2003), h. 79.
[4]Said
Agli Husin al-Munawwar, Al-qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki
(Cet. III; Jakarta:
Ciputat Press, 2004), h. 33.
[5]M.
Quraish Shihab, Op. Cit, h. 97.
[6]Khalid
bin Usman al-Sabt, Qawa’id al- Tafsir Jam’an wa Dirasah (Cet. I;
Madinah: Dar al- Affan, 1421 h), h. 460.
[7]Al-Imam
al-Allamah ibn al-fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram ibn Manzur al-Misri, Lisan
al-Arab (Cet. I; Beirut:
Dar Sadr, 2000), h. 136.
[8]ibid
[9]Khalid
bin Usman al-sabt, Qawaid al-Tafsir, Op Cit, h. 460-461
[10]Departemen
Agama RI, Al-qur'an dan terjemahannya (Bandung: Syaamil Cipta Media, t.th.), h.
24.
[11]Khalid
bin Usman al-Sabt, Qawa’id al-Tafsir, Op. Cit., h. 467
[12]Departemen
Agama RI,
Al-qur'an Dan Terjemahannya, Op. Cit., h. 131
[13]M.
Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah, Vol 10, Op. Cit, h. 511
[14]Departemen
Agama RI, Al-qur'an dan Terjemahannya, Op. Cit., h. 263.
[15]Al-ragib
al-Isfahani, al-Mufradat fi Garib al-Qur’an, Op. Cit., h. 493.
[16]
Departemen Agama RI, Al-qur'an dan Terjemahannya, Op. Cit., h. 83.
[17]Ibid,
h.328.
[18]Departemen
Agama RI, Al-qur'an dan Terjemahannya, Op. Cit., h. 437
[19]Ibid,
h. 358
[20]Ibid,
h. 576.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar