Senin, 30 Desember 2013

tafsir Jami al Bayan fi Tafsir al-Qur’an oleh ibnu Jarir at-Thabari


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Al-Qur’an adalah qalamullah yang memiliki kedudukan tertinggi di sisi Allah yang bersifat global yang kadang dimengerti hanya dengan cara tekstual tanpa memahami makusud dan tujuan dari padanya.
Sehingga para mufassir mencoba menjelaskan maksud dan tujuannya, salah satunya seperti dalam kitab tafsir Jami al Bayan fi Tafsir al-Qur’an karangan Ibnu Jarir at-Thabari.
Maka dari itu pemakalah akan mencoba menguraikan tentang kitab tafsir dan riwayat mufassir tersebut serta metode yang digunakannya melalui berbagai macam buku tentang ilmu tafsir.

B.     RUMUSAN MASALAH
            Bertitik tolak dari uraian permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan  masalah yaitu:
  1. Bagaimana riwayat hidup  ibnu jarir at-thabari?
  2. Bagaimana tentang kitab tafsir Jami al Bayan fi Tafsir al-Qur’an?












BAB II
PEMBAHASAN

1.      Riwayat hidup ibnu jarir at-thabari
            Dia adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib at-Thabari, warga Thabaristan yang lahir pada tahun 224 H(839-840). Ia telah berkelana ke berbagai kawasan untuk menuntut ilmu, ia pernah pergi ke Mesir, Syam dan irak serta berakhir di Baghdad. Ia wafat dan dimakamkan di sana tahun 310 H.[1]
            Namun ada sumber lain yang menyatakan bahwa nama yang lebih lengkap yaitu Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Ghalid al-Thabari al-Amuli yang dilahirkan tahun 223 H(838-839).[2]
            Dia hidup dan tumbuh berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap masalah pendidikan, terutama bidang keagamaan. Berbarengan dengan situasi islam yang sedang mengalami kejayaan dan kemajuannya di bidang pemikiran. Kondisi sosial yang demikian itu secara psikologis turut berperan dalam membentuk kepribadian al-Thabari dalam menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu. Aktivitas menghafal al-Qur’an dimulainya sejak usia 7 tahun, dan melakukan pencataan al-Hadis dimulaimya sejak usia 9 tahun. Integritasnya tingi dalam menuntut ilmu dan semangat (girah) untuk melakukan ibadah, dibuktikannya dengan melakukan safari ilmiah ke berbagai negara untuk memperkaya pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu.[3]
            Al-Thabari secara kultural akademik termasuk makhluk yang beruntung, jika dilihat setting sosial yang diwarnai oleh kemajuan peradaban islam dan perkembangannya pemikiran ilmu-ilmu keislaman pada abad III hingga abad IV H. keadaan ini sangat berpengaruh secara mental maupun intelektual terhadap perkembangan keilmuannya. Al-Thabari di usianya yang ketujuh telah mampu menghafalkan al-Qur’an sehgingga memperoleh kepercayaan menjadi imam shalat pada usia 8 tahun. Hasil tempaan dan gemblengan orang tua (terutama ayahnya) meninggalkan goresan intelektual yang kuat, hingga waktu yang lama.[4]
            Karir pendidikan dimulai dari kampung halamannya di amul, tempat yang cukup kondusif untuk membangun struktur fundamental awal pendidikan al-Thabari. Di Rayy dia berguru kepada Ibn Humayd, abu Abdillah Muhammad bin Humayd al-Razi. Belajar hadis dengan al-Musanna bin Ibrahim al-Ibili, pernah untuk belajar dengan Ahmad bin Hanbal di Baghdad tapi beliau wafat.pernah belajar kepada Muhammad bin Abd al-A’la al-San’ani di Basrah. Di bidang tafsir kepada Humayd bin Mas’adah dan Bisr bin Mu’az al-‘Aqadi di Basrah, meski sebelumnya pernah belajar tafsir dari seorang Kufah Haannad bin al-Sari.[5] 
            Dia dipandang sebagai tokoh pewaris terpenting dalam tradisi keilmuan islam klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, raariikh termasuk tafsir al-Qur’an.
            Semasa hidupnya sebelum beliau wafat pada hari senin 27 Syawal 310 H bertepatan dengan 17 februari 923 M[6], dia telah memberikan banyak karya-karya diberbagai bidang namun belum ditemukan data berapa jumlah buku yang berhasil diproduksi dan terpublikasi. Sejumlah karya berdasarkan klasifikasi substansi materialnya, sebagai berikut:
A.    Bidang Hukum
1)      Adab al- manasik
2)      Al-adar fi al-usul
3)      Basit (belum selesai ditulis)
4)      Ikhtilaf
5)      Khalif
6)      Latif al-Qaulsyara’I al-islam[7]
7)      Mujaz (belum sempurna ditulis)
8)      Radd ‘ala ‘abd al-hakam (sekitar 255 H).
B.     Bidang Qur’an (termasuk tafsir)
1)      Fasl Bayan fi al-Qira’at
2)      jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (270-290)
3)      Kitab al-Qira’at, yang diduga berbeda dari kitab yang telah disebutkan di atas.
C.     Hadis
1)                              ‘ibarah al-Ru’ya
2)                              Tahzib (belum sempurna ditulis)
3)                              Fada’il (belum sempurna ditulis)
4)                              Al-Musnad al-Mujarrad
D.    Teologi
1)                              Dalalah
2)                              Fada’il Ali bin Abi Thalib
3)      Radd ‘ala zi al-asfar (sebelum 270 H) dan belum sempurna ditulis berupa risalah
4)      Al-Radd ‘ala al-Harqusiyyah
5)      Sarih
6)      Tabsyir atau al-Basyir fi Ma’alim al-Din (sekitar 290 H).
E.     Etika keagamaan
1)                  Adab al-Nufus al-Jayyidah wa al-Akhlak al-Nafisah
2)                  Fadail dan Mujas
3)                  Adab al-Tanzil, berupa risalah
F.      sejarah
1)      Zayl al-Muzayyil (setelah 300 H), mengenai riwayat para sahabat dan tabi’in
2)      Tarikh al-Umam wa al-Muluk (294 H), kitab sejarah yang amat terkenal
3)      Tahzib al-Asar.





2.      Tentang Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
Kitab ini dinilai sebagai literature penting dalam bidang tafsir bil ma’tsur, bahkan dalam bidang tafsir bi ra’yi, karena memadukan pendapat-pendapat dan mencari-cari pendapat yang paling kuat, di samping memuat istinbath dan wajah-wajah I’rab. karena itu kitab ini merupakan kitab yang paling agung, paling shahih dan lengkap, karena memuat pendapat sahabat dasn tabi’in. para pengkaji menilainya bukunya itu tiada duanya di bidang tafsir.
Al-nawawi berkata belum ada yang karya yang ditulis oleh orang yang semisal dengan kitab tafsir ibn jarir.[8]
Model tafsir yang dihasilkan ath-thabari ini idnilai oleh sebagian ulama spesialis sebagai karya yang baru. Mereka mengatakan tafsir ibn Jarir ath-thabari telah menjadi tafsir ilmiah yang cenderung mengedepankan sisi analisa dari pada atsar. Oleh karena itu kita dapat katakan bahwa karya ini merupakan titik langkah perubahan dalam metode pembuatan tafsir yang memiliki dampak sangat jauh, dimana ia memutus tali yang sebelumnya senantiasa mengaitkannya dengan ilmu hadis.[9]
Barangkali dapat dikatakan bahwa tafsir Thabari adalah penggabungan antara dua sisi tersebut secara seimbang dan sempurna di dalamnya terdapat sejumkah riwayat hadis yang melebihi riwayat hadis yang ada dalam kitab tafsir bil ma’tsur yang ada pada masanya. kemudian lebih dari itu di dalamnya terdapat teori ilmiah yang dibangun atas dasar perbandingan dan penyaringan antar pendapat. Itu semua dilakukan dengan mengkaji illah, sebab-sebab da qarinah ( sisi indikasi dalil).[10]
Di samping itu Thabari adalah seorang yang memiliki unsure-unsur yang jelas dan sempurna. Ia telah menggabungkan riwayat, dirayah, ashalah (keauntetikan). Sisi riwayat ia peroleh dari studinya terhadap sejarah sirah nabawiyah, bahasa, syair, qira’at dan ucapan orang terdahulu.[11]
Di dalam kitab tersebut terdapat bahan ilmiah yang padat yang mungkin dapat diambil unutk dijadikan sebagai buku sesuai dengan temanya masing-masing separti kajian mengenai bahasa, nahwu, wira’at, asbab nuzul, ayat-ayat hukum, masalah aqidah dan lainnya.[12]
di samping lengkap dengan paparan pendapat-pendapat para ulama, Thabari juga menambahkan pendapatnya sendiri pada pendapat-pendapat tersebut. Ia tidak hanya cukup dengan menyebutkan defenisi, melainkan menjelaskan pendapat yang paling benar setelah disebutkan dalil-dalilnya.
Ada beberapa langkah-langkah karateristik yang ditempuh oleh al-Thabari dalam menafsirkan yaitu:
1)         Mengawali penafsiran ayat dengan mengatakan “pendapat tentang takwil firman Allah” begini.
2)         Kemudian menafsirkan ayat dan menguatkan pendapatnya dengan apa yang diriwayatkannya dengan sanadnya sendiri dari para sahabat dan tabi’in
3)         Menyimpulkan pendapat umum dari nash al-Qur’an dengan bantuan atsar-atsar yang diriwayatkannya.
4)         Menyebutkan atsar-atsar yang berasal dari Rasulullah saw, sahabat dan tabi’in dengan menuturkan sanad-sanadnya, dimulai dari sanad yang paling kuat sampai shahih.
5)         Menguatkan pendapat yang menurutnya kuat dengan menyebutkan alas an-alasannya
6)         Melanjutkannya dengan menjelaskan pendapat ahli bahasa,seperti bentuk kata dan maknanya, baik tunggal maupun gabungan serts menjelaskan makna yang dimaksud dalam nash yang bersangkutan
7)         Melanjutkannnya denan menjelaskan qira’at-qira’atnya dengan menunjukkan qara’at yang kuat dan meningkatkan akan qira’at yang tidak benar
8)         Menyertakan banyak syair untuk menjelaskan dan mengukuhkan makna nash
9)         Menuturkan I’rab dan pendapat para ahli nahwu untuk menjelaskan makna sebagai akibat dari perbedaan I’rab
10)     Memaparkan pendapat-pendapat fiqh ketika menjelaskan ayat-ayat hokum, mendiskusikannya dan menguatkan pendapat yang menurutnya benar
11)     kadang-kadang ia menuturkan pendapat para ahli kalam dan menjuluki mereka dengan ahli jadal ( ahli teologi dialektis), mendiskusikanya, kemudian condong kepada pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah
12)     memberikan tempat yang tinggi kepada ijma’ umat krtika memilih suatu pendapat.[13]
            Thabari telah menempuh langkah metodelogis yang sangat penting, di mana tafsir bukan hanya sekedar berisi penjelasan tentang riwayat dan atsar yang kerap disebut dengan tafsir bil Ma’tsur melainkan dengan karya Thabari ini tafsir telah bercampur dengan kajian analisa yang tidak keluardari jalur kebenaran. Model tafsir yang dihasilkan Thabari ini dinilai oleh sebagian ulama spesialis sebagai karya yang baru.[14]
            Metode yang diikuti Thabari adalah apabila hendak menafsirkan suatu ayat ia berkata mengenai takwil tafsir al-qur’an, kemudian menafsirkan ayat tersebut dengan mendasar pada pendapat para ulama, sahabat dan tabi’in yang diriwayatkan dengan sanad lengkap, yakni tafsir bil ma’tsur berasal dari mereka. Ia memaparkan segala riwayat yang berkenaan dengan ayat, namun tidak hanya sekedar mengemukakannya semata melainkan juga mengkonfrontir pendapat-pendapat tersebut satu dengan yang lain lalu mentarjihkan salah satunya. Di samping itu ia juga menerangkan aspek i’rab jika hal ini dianggap perlu dan mengistinbatkan sejumlah hukum. Ia menta’dilkan beberapa perawi, mentarjihkan perawi lain yang memang cacat.[15]
            Thabari menaruh perhatian besar terhadap masalah qira’at dengan menyebutkan bermacam-macam qira’at dan menghubungkan masing-masing qira’at dengan makna yang berbeda-beda. Thabari juga memperhatikan penggunaan bahasa arab sebagai pegangan, di samping riwayat hadis yang dinukil, berpedoman pada syair-syair Arab kuno, memperhatikan mazhab ilmu nahwu dan berpijat pada pengunaan bahasa arab yang telah dikenal.[16]
metodelogis tafsir at-Thabari  dapat disederhanakan sebagai berikut:
a)      menempuh jalan tafsir dan atau takwil
b)      melakukan penafsiran ayat dengan ayat sebagai aplikasi norma tematis
c)      menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunah (bil ma’tsur)
d)     bersandar pada analisis bahasa bagi kata yang riwayatnya diperselisihkan
e)      mengeksplorasi syair dan menggali prosa arab lama ketika menjelaskan makna kosakata dan kalimat
f)       memperhatikan aspek i’rab dengan proses pemikiran analogis untul ditashih dan tarjih
g)      pemaparan ragam qira’at dalam rangka mengungkap makna ayat
h)      membeberkan perdebatan di bidang fiqh dan teori hukum islam untuk kepentingan analisis dan istinbath hukum
i)        mencermati korelasi ayat sebelum dan sesudahnya, meski dalam kadar yang relaitf kecil
j)        melakukan sinkronisasi antar makna ayat untuk memperoleh kejelasan dalam rangka untuk menagkap makan secara utuh
k)      melakukan kompromi antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak kontrdiktif dari berbagai aspek termasuk kesepadaman kualitas sanad.[17] 
            Adapun contoh-contoh penafsirannya adalah ketika ia menafsirkan firman Allah QS. al-Maidah ayat 89 :
            yang dicermati Thabari adalah kalimat min ausati maa tut ‘imuna ahlikum. Potongan ayat ini telah ditafsirkan oleh sebagian sahabat nabi Saw secara berbeda. ibnu Abbas misalnya menafsirkan ayat itu dengan                                                                                   
 maksudnya, jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh keluarga (pembayar denda) secara moderat tidak mahal dan tidak murah, tidak sulit dan tidak terlalu mudah. Sementara Sa’id bin Jubair dan Ikrimah menafsirkan dengan                                             
(atau dari jenis makanan yang sederhana yang dikonsumsi keluarga). Sahabat Atha’ menafsirkan                                                                 (semisal  apa yang dikonsumsi oleh keluargamu).[18]
            Setelah ditopang oleh sejumlah refrensi yang cukup akurat, kemudian Thabari menyatakan secara tegas bahwa yang dimaksud oleh fiman Allah:                                     
                  adalah dalam hal kuantitas, moderat tidak sedikit dan tidak pula banyak. Dari sinilah kemudian muncul wacana di kalaingan ulama tentang standar bahan makana n yang harus dibyarkan oleh si pembayar kifarat (denda).[19]
            Berkenaan dengan qira’at yang banyak dijelaskan oleh Thabari misalnya ketiak ia berhadapan dengan Qs. al-Fatihah ayat 3:                                 . Ia memaparkan adanya tiga jenis cara baca dalam ayat tersebut.
a)                                 ( dengan ma pendek)
b)                                 ( dengan ma dibaca panjang)
c)                                 ( dengan membaca fathah ka).[20]
            setelah ia membeberkan sejumlah cara baca lantas ia memberikan komentar demikian.






            lebih lanjut ia menjelaskan bahwa makan ta’wil qira’at yang membaca lafaz ma dibaca panjang bersandar pada sebuah riwayat dari ibn Kuraib, dari Abbas berkata


            kemudian Thabari mentarjih dari varian cara baca tersebut bahwa cara yang benar adalah dengan ma pendek y6ang maknanya adalah “al-Mulk” dengan argumentasi sebagai berikut:







            sedangkan bagi yang menasabkan pada huruf kaf dalam lafaz malika dimaksudkan adalah “yaa malik yaumiddin” dengan tambahn ya yang berfungsi sebagai huruf nida dan juga berarti du’a.[21]

























BAB III
PENUTUP

1.        KESIMPULAN

Dia adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib at-Thabari, warga Thabaristan yang lahir pada tahun 224 H(839-840). Ia telah berkelana ke berbagai kawasan untuk menuntut ilmu, ia pernah pergi ke Mesir, Syam dan irak serta berakhir di Baghdad. Ia wafat dan dimakamkan di sana tahun 310 H.Namun ada sumber lain yang menyatakan bahwa nama yang lebih lengkap yaitu Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Ghalid al-Thabari al-Amuli yang dilahirkan tahun 223 H(838-839). Aktivitas menghafal al-Qur’an dimulainya sejak usia 7 tahun, dan melakukan pencataan al-Hadis dimulaimya sejak usia 9 tahun. Integritasnya tingi dalam menuntut ilmu dan semangat (girah) untuk melakukan ibadah, dibuktikannya dengan melakukan safari ilmiah ke berbagai negara untuk memperkaya pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu.
Kitab ini dinilai sebagai literature penting dalam bidang tafsir bil ma’tsur, bahkan dalam bidang tafsir bi ra’yi, karena memadukan pendapat-pendapat dan mencari-cari pendapat yang paling kuat, di samping memuat istinbath dan wajah-wajah I’rab. karena itu kitab ini merupakan kitab yang paling agung, paling shahih dan lengkap, karena memuat pendapat sahabat dasn tabi’in. para pengkaji menilainya bukunya itu tiada duanya di bidang tafsir
2.        SARAN

Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini bisa menambah wawasan kita tentang kitab tafsir Jami al Bayan fi Tafsir al-Qur’an karangan Ibnu Jarir at-Thabari. namun pemakalah juga menyadari akan adanya kekurangan pada makalah ini maka dari itu pemakalah mengaharapkan kritikan yang sifatnya membangun agar makalah ini lebih sempuran.








DAFTAR PUSTAKA

Anwar Rosihon, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir at-Thabari dan Tafsir  Ibnu Katsir, Bandung: Pustaja Setia, 1999.

Brockelman,  Tarikh al-Adab al-Arabi, Mesir: Dar al-Ma’arif.

Hasan  Abidu Yunus, Tafsir al-Qur’an, Sejarah Tafsir Dan Metode Mufassirnya, Tangerang: Gaya Media Pratama, 2007.

khalil al-Qattan Manna, Studi ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Bogor: Lintera  Antar  Nusa, 2007.
                       
Qadir Mahmud al-Bakkar Abd, Terjemahan  Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Yusuf Muhammad, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu, Depok: Teras, 2004


[1]Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qur’an, Sejarah Tafsir Dan Metode Mufassirnya, (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2007), h. 68.
 
[2]Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu, (Depok: Teras, 2004), h. 20.
[3]Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu, h. 21.

[4]Muhammad Yusuf,  Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu, h. 21-22

[5]Muhammad Yusuf,  Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu, h. 22-23.

[6]Muhammad Yusuf,  Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu, h. 24.

[7]Brockelman,  Tarikh al-Adab al-Arabi, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tt), h. 50.
[8]Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir at-Thabari dan Tafsir  Ibnu Katsir, (Bandung: Pustaja Setia, 1999), h. 68
       
[9]Abd Qadir Mahmud al-Bakkar, Terjemahan  Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 43.

[10]Abd Qadir Mahmud al-Bakkar, Terjemahan  Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, h. 43

[11]Abd Qadir Mahmud al-Bakkar, Terjemahan  Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, h. 33

[12]Abd Qadir Mahmud al-Bakkar, Terjemahan  Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, h. 42.
[13]Yunus Hasan Abidu, tafsir al-Qur’an, sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir, h.70-71

[14] Abd Qadir Mahmud al-Bakkar, Terjemahan  Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, h. 43

[15]Manna khalil al-Qattan, Studi ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Bogor: Lintera  Antar  Nusa,2007), h.502-503.
[16]Manna khalil al-Qattan, Studi ilmu-Ilmu al-Qur’an, h. 503.

[17]Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu, h. 33
[18]Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu, h. 35

[19]Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu, h. 35.

[20]Muhammad  Yusuf, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu, h. 37.
[21]Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu, h. 38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar