BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Al-Qur’an adalah qalamullah yang memiliki kedudukan tertinggi di sisi
Allah yang bersifat global yang kadang dimengerti hanya dengan cara tekstual
tanpa memahami makusud dan tujuan dari padanya.
Sehingga para mufassir mencoba menjelaskan maksud dan tujuannya, salah
satunya seperti dalam kitab tafsir Jami al Bayan fi Tafsir al-Qur’an karangan
Ibnu Jarir at-Thabari.
Maka dari itu pemakalah akan mencoba menguraikan tentang kitab tafsir dan
riwayat mufassir tersebut serta metode yang digunakannya melalui berbagai macam
buku tentang ilmu tafsir.
B.
RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak dari uraian
permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah yaitu:
- Bagaimana riwayat hidup ibnu jarir at-thabari?
- Bagaimana tentang kitab tafsir Jami al Bayan fi Tafsir al-Qur’an?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Riwayat hidup ibnu jarir
at-thabari
Dia adalah Abu Ja’far Muhammad ibn
Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib at-Thabari, warga Thabaristan yang lahir
pada tahun 224 H(839-840). Ia telah berkelana ke berbagai kawasan untuk
menuntut ilmu, ia pernah pergi ke Mesir, Syam dan irak serta berakhir di
Baghdad. Ia wafat dan dimakamkan di sana tahun 310 H.[1]
Namun ada sumber lain yang
menyatakan bahwa nama yang lebih lengkap yaitu Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir
Ibn Yazid Ibn Ghalid al-Thabari al-Amuli yang dilahirkan tahun 223 H(838-839).[2]
Dia hidup dan tumbuh berkembang di
lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap masalah
pendidikan, terutama bidang keagamaan. Berbarengan dengan situasi islam yang
sedang mengalami kejayaan dan kemajuannya di bidang pemikiran. Kondisi sosial
yang demikian itu secara psikologis turut berperan dalam membentuk kepribadian
al-Thabari dalam menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu. Aktivitas menghafal
al-Qur’an dimulainya sejak usia 7 tahun, dan melakukan pencataan al-Hadis
dimulaimya sejak usia 9 tahun. Integritasnya tingi dalam menuntut ilmu dan
semangat (girah) untuk melakukan ibadah, dibuktikannya dengan melakukan safari
ilmiah ke berbagai negara untuk memperkaya pengetahuan dalam berbagai disiplin
ilmu.[3]
Al-Thabari secara kultural akademik
termasuk makhluk yang beruntung, jika dilihat setting sosial yang diwarnai oleh
kemajuan peradaban islam dan perkembangannya pemikiran ilmu-ilmu keislaman pada
abad III hingga abad IV H. keadaan ini sangat berpengaruh secara mental maupun
intelektual terhadap perkembangan keilmuannya. Al-Thabari di usianya yang
ketujuh telah mampu menghafalkan al-Qur’an sehgingga memperoleh kepercayaan
menjadi imam shalat pada usia 8 tahun. Hasil tempaan dan gemblengan orang tua
(terutama ayahnya) meninggalkan goresan intelektual yang kuat, hingga waktu
yang lama.[4]
Karir pendidikan dimulai dari
kampung halamannya di amul, tempat yang cukup kondusif untuk membangun struktur
fundamental awal pendidikan al-Thabari. Di Rayy dia berguru kepada Ibn Humayd,
abu Abdillah Muhammad bin Humayd al-Razi. Belajar hadis dengan al-Musanna bin
Ibrahim al-Ibili, pernah untuk belajar dengan Ahmad bin Hanbal di Baghdad tapi
beliau wafat.pernah belajar kepada Muhammad bin Abd al-A’la al-San’ani di
Basrah. Di bidang tafsir kepada Humayd bin Mas’adah dan Bisr bin Mu’az
al-‘Aqadi di Basrah, meski sebelumnya pernah belajar tafsir dari seorang Kufah
Haannad bin al-Sari.[5]
Dia dipandang sebagai tokoh pewaris
terpenting dalam tradisi keilmuan islam klasik, seperti ilmu hadis, fiqh,
raariikh termasuk tafsir al-Qur’an.
Semasa hidupnya sebelum beliau wafat
pada hari senin 27 Syawal 310 H bertepatan dengan 17 februari 923 M[6],
dia telah memberikan banyak karya-karya diberbagai bidang namun belum ditemukan
data berapa jumlah buku yang berhasil diproduksi dan terpublikasi. Sejumlah
karya berdasarkan klasifikasi substansi materialnya, sebagai berikut:
A.
Bidang Hukum
1)
Adab al- manasik
2)
Al-adar fi al-usul
3)
Basit (belum selesai ditulis)
4)
Ikhtilaf
5)
Khalif
6)
Latif al-Qaulsyara’I al-islam[7]
7)
Mujaz (belum sempurna ditulis)
8)
Radd ‘ala ‘abd al-hakam (sekitar
255 H).
B.
Bidang Qur’an (termasuk tafsir)
1)
Fasl Bayan fi al-Qira’at
2)
jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
(270-290)
3)
Kitab al-Qira’at, yang diduga
berbeda dari kitab yang telah disebutkan di atas.
C.
Hadis
1)
‘ibarah al-Ru’ya
2)
Tahzib (belum sempurna ditulis)
3)
Fada’il (belum sempurna ditulis)
4)
Al-Musnad al-Mujarrad
D.
Teologi
1)
Dalalah
2)
Fada’il Ali bin Abi Thalib
3)
Radd ‘ala zi al-asfar (sebelum 270
H) dan belum sempurna ditulis berupa risalah
4)
Al-Radd ‘ala al-Harqusiyyah
5)
Sarih
6)
Tabsyir atau al-Basyir fi Ma’alim
al-Din (sekitar 290 H).
E.
Etika keagamaan
1)
Adab al-Nufus al-Jayyidah wa
al-Akhlak al-Nafisah
2)
Fadail dan Mujas
3)
Adab al-Tanzil, berupa risalah
F.
sejarah
1)
Zayl al-Muzayyil (setelah 300 H),
mengenai riwayat para sahabat dan tabi’in
2)
Tarikh al-Umam wa al-Muluk (294
H), kitab sejarah yang amat terkenal
3)
Tahzib al-Asar.
2. Tentang Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
Kitab ini dinilai sebagai literature penting dalam bidang
tafsir bil ma’tsur, bahkan dalam bidang tafsir bi ra’yi, karena memadukan
pendapat-pendapat dan mencari-cari pendapat yang paling kuat, di samping memuat
istinbath dan wajah-wajah I’rab. karena itu kitab ini merupakan
kitab yang paling agung, paling shahih dan lengkap, karena memuat pendapat
sahabat dasn tabi’in. para pengkaji menilainya bukunya itu tiada duanya di
bidang tafsir.
Al-nawawi berkata belum ada yang karya yang ditulis oleh
orang yang semisal dengan kitab tafsir ibn jarir.[8]
Model tafsir yang dihasilkan ath-thabari ini idnilai oleh
sebagian ulama spesialis sebagai karya yang baru. Mereka mengatakan tafsir ibn
Jarir ath-thabari telah menjadi tafsir ilmiah yang cenderung mengedepankan sisi
analisa dari pada atsar. Oleh karena itu kita dapat katakan bahwa karya ini
merupakan titik langkah perubahan dalam metode pembuatan tafsir yang memiliki
dampak sangat jauh, dimana ia memutus tali yang sebelumnya senantiasa
mengaitkannya dengan ilmu hadis.[9]
Barangkali dapat dikatakan bahwa tafsir Thabari adalah
penggabungan antara dua sisi tersebut secara seimbang dan sempurna di dalamnya
terdapat sejumkah riwayat hadis yang melebihi riwayat hadis yang ada dalam
kitab tafsir bil ma’tsur yang ada pada masanya. kemudian lebih dari itu di
dalamnya terdapat teori ilmiah yang dibangun atas dasar perbandingan dan
penyaringan antar pendapat. Itu semua dilakukan dengan mengkaji illah,
sebab-sebab da qarinah ( sisi indikasi dalil).[10]
Di samping itu Thabari adalah seorang yang memiliki
unsure-unsur yang jelas dan sempurna. Ia telah menggabungkan riwayat, dirayah,
ashalah (keauntetikan). Sisi riwayat ia peroleh dari studinya terhadap sejarah sirah nabawiyah, bahasa, syair, qira’at
dan ucapan orang terdahulu.[11]
Di dalam kitab
tersebut terdapat bahan ilmiah yang padat yang mungkin dapat diambil unutk
dijadikan sebagai buku sesuai dengan temanya masing-masing separti kajian
mengenai bahasa, nahwu, wira’at, asbab nuzul, ayat-ayat hukum, masalah aqidah
dan lainnya.[12]
di samping
lengkap dengan paparan pendapat-pendapat para ulama, Thabari juga menambahkan
pendapatnya sendiri pada pendapat-pendapat tersebut. Ia tidak hanya cukup dengan
menyebutkan defenisi, melainkan menjelaskan pendapat yang paling benar setelah
disebutkan dalil-dalilnya.
Ada beberapa langkah-langkah karateristik yang ditempuh
oleh al-Thabari dalam menafsirkan yaitu:
1)
Mengawali penafsiran ayat dengan
mengatakan “pendapat tentang takwil firman Allah” begini.
2)
Kemudian menafsirkan ayat dan
menguatkan pendapatnya dengan apa yang diriwayatkannya dengan sanadnya sendiri
dari para sahabat dan tabi’in
3)
Menyimpulkan pendapat umum dari
nash al-Qur’an dengan bantuan atsar-atsar yang diriwayatkannya.
4)
Menyebutkan atsar-atsar yang
berasal dari Rasulullah saw, sahabat dan tabi’in dengan menuturkan
sanad-sanadnya, dimulai dari sanad yang paling kuat sampai shahih.
5)
Menguatkan pendapat yang
menurutnya kuat dengan menyebutkan alas an-alasannya
6)
Melanjutkannya dengan menjelaskan
pendapat ahli bahasa,seperti bentuk kata dan maknanya, baik tunggal maupun
gabungan serts menjelaskan makna yang dimaksud dalam nash yang bersangkutan
7)
Melanjutkannnya denan menjelaskan
qira’at-qira’atnya dengan menunjukkan qara’at yang kuat dan meningkatkan akan
qira’at yang tidak benar
8)
Menyertakan banyak syair untuk
menjelaskan dan mengukuhkan makna nash
9)
Menuturkan I’rab dan pendapat para
ahli nahwu untuk menjelaskan makna sebagai akibat dari perbedaan I’rab
10)
Memaparkan pendapat-pendapat fiqh
ketika menjelaskan ayat-ayat hokum, mendiskusikannya dan menguatkan pendapat
yang menurutnya benar
11)
kadang-kadang ia menuturkan
pendapat para ahli kalam dan menjuluki mereka dengan ahli jadal ( ahli teologi dialektis), mendiskusikanya, kemudian condong
kepada pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah
12)
memberikan tempat yang tinggi
kepada ijma’ umat krtika memilih suatu pendapat.[13]
Thabari
telah menempuh langkah metodelogis yang sangat penting, di mana tafsir bukan
hanya sekedar berisi penjelasan tentang riwayat dan atsar yang kerap disebut
dengan tafsir bil Ma’tsur melainkan dengan karya Thabari ini tafsir telah
bercampur dengan kajian analisa yang tidak keluardari jalur kebenaran. Model
tafsir yang dihasilkan Thabari ini dinilai oleh sebagian ulama spesialis
sebagai karya yang baru.[14]
Metode
yang diikuti Thabari adalah apabila hendak menafsirkan suatu ayat ia berkata
mengenai takwil tafsir al-qur’an, kemudian menafsirkan ayat tersebut dengan
mendasar pada pendapat para ulama, sahabat dan tabi’in yang diriwayatkan dengan
sanad lengkap, yakni tafsir bil ma’tsur berasal dari mereka. Ia memaparkan
segala riwayat yang berkenaan dengan ayat, namun tidak hanya sekedar
mengemukakannya semata melainkan juga mengkonfrontir pendapat-pendapat tersebut
satu dengan yang lain lalu mentarjihkan salah satunya. Di samping itu ia juga
menerangkan aspek i’rab jika hal ini dianggap perlu dan mengistinbatkan
sejumlah hukum. Ia menta’dilkan beberapa perawi, mentarjihkan perawi lain yang
memang cacat.[15]
Thabari
menaruh perhatian besar terhadap masalah qira’at dengan menyebutkan
bermacam-macam qira’at dan menghubungkan masing-masing qira’at dengan makna
yang berbeda-beda. Thabari juga memperhatikan penggunaan bahasa arab sebagai
pegangan, di samping riwayat hadis yang dinukil, berpedoman pada syair-syair
Arab kuno, memperhatikan mazhab ilmu nahwu dan berpijat pada pengunaan bahasa
arab yang telah dikenal.[16]
metodelogis
tafsir at-Thabari dapat disederhanakan
sebagai berikut:
a)
menempuh jalan tafsir dan atau takwil
b)
melakukan penafsiran ayat dengan ayat sebagai aplikasi norma tematis
c)
menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunah (bil ma’tsur)
d)
bersandar pada analisis bahasa bagi kata yang riwayatnya diperselisihkan
e)
mengeksplorasi syair dan menggali prosa arab lama ketika menjelaskan makna
kosakata dan kalimat
f)
memperhatikan aspek i’rab dengan proses pemikiran analogis untul ditashih
dan tarjih
g)
pemaparan ragam qira’at dalam rangka mengungkap makna ayat
h)
membeberkan perdebatan di bidang fiqh dan teori hukum islam untuk
kepentingan analisis dan istinbath hukum
i)
mencermati korelasi ayat sebelum dan sesudahnya, meski dalam kadar yang
relaitf kecil
j)
melakukan sinkronisasi antar makna ayat untuk memperoleh kejelasan dalam
rangka untuk menagkap makan secara utuh
k)
melakukan kompromi antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak
kontrdiktif dari berbagai aspek termasuk kesepadaman kualitas sanad.[17]
Adapun
contoh-contoh penafsirannya adalah ketika ia menafsirkan firman Allah QS.
al-Maidah ayat 89 :
yang
dicermati Thabari adalah kalimat min ausati maa tut ‘imuna ahlikum. Potongan
ayat ini telah ditafsirkan oleh sebagian sahabat nabi Saw secara berbeda. ibnu
Abbas misalnya menafsirkan ayat itu dengan
maksudnya, jenis makanan yang dikonsumsi
sehari-hari oleh keluarga (pembayar denda) secara moderat tidak mahal dan tidak
murah, tidak sulit dan tidak terlalu mudah. Sementara Sa’id bin Jubair dan
Ikrimah menafsirkan dengan
(atau dari jenis makanan yang sederhana
yang dikonsumsi keluarga). Sahabat Atha’ menafsirkan
(semisal apa yang dikonsumsi oleh keluargamu).[18]
Setelah
ditopang oleh sejumlah refrensi yang cukup akurat, kemudian Thabari menyatakan
secara tegas bahwa yang dimaksud oleh fiman Allah:
adalah dalam hal kuantitas, moderat tidak
sedikit dan tidak pula banyak. Dari sinilah kemudian muncul wacana di kalaingan
ulama tentang standar bahan makana n yang harus dibyarkan oleh si pembayar
kifarat (denda).[19]
Berkenaan
dengan qira’at yang banyak dijelaskan oleh Thabari misalnya ketiak ia
berhadapan dengan Qs. al-Fatihah ayat 3: . Ia
memaparkan adanya tiga jenis cara baca dalam ayat tersebut.
a) ( dengan ma pendek)
b) ( dengan ma dibaca
panjang)
c) ( dengan membaca
fathah ka).[20]
setelah
ia membeberkan sejumlah cara baca lantas ia memberikan komentar demikian.
lebih
lanjut ia menjelaskan bahwa makan ta’wil qira’at yang membaca lafaz ma dibaca
panjang bersandar pada sebuah riwayat dari ibn Kuraib, dari Abbas berkata
kemudian
Thabari mentarjih dari varian cara baca tersebut bahwa cara yang benar adalah
dengan ma pendek y6ang maknanya adalah “al-Mulk” dengan argumentasi sebagai
berikut:
sedangkan
bagi yang menasabkan pada huruf kaf dalam lafaz malika dimaksudkan adalah “yaa
malik yaumiddin” dengan tambahn ya yang berfungsi sebagai huruf nida dan juga
berarti du’a.[21]
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Dia adalah Abu Ja’far Muhammad
ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib at-Thabari, warga Thabaristan yang
lahir pada tahun 224 H(839-840). Ia telah berkelana ke berbagai kawasan
untuk menuntut ilmu, ia pernah pergi ke Mesir, Syam dan irak serta berakhir di
Baghdad. Ia wafat dan dimakamkan di sana tahun 310 H.Namun ada sumber lain yang menyatakan bahwa nama
yang lebih lengkap yaitu Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Ghalid
al-Thabari al-Amuli yang dilahirkan tahun 223 H(838-839). Aktivitas
menghafal al-Qur’an dimulainya sejak usia 7 tahun, dan melakukan pencataan
al-Hadis dimulaimya sejak usia 9 tahun. Integritasnya tingi dalam menuntut ilmu
dan semangat (girah) untuk melakukan ibadah, dibuktikannya dengan melakukan
safari ilmiah ke berbagai negara untuk memperkaya pengetahuan dalam berbagai
disiplin ilmu.
Kitab ini dinilai sebagai
literature penting dalam bidang tafsir bil ma’tsur, bahkan dalam bidang tafsir
bi ra’yi, karena memadukan pendapat-pendapat dan mencari-cari pendapat yang
paling kuat, di samping memuat istinbath
dan wajah-wajah I’rab. karena itu
kitab ini merupakan kitab yang paling agung, paling shahih dan lengkap, karena
memuat pendapat sahabat dasn tabi’in. para pengkaji menilainya bukunya itu
tiada duanya di bidang tafsir
2.
SARAN
Mudah-mudahan dengan adanya
makalah ini bisa menambah wawasan kita tentang kitab tafsir Jami al Bayan fi
Tafsir al-Qur’an karangan Ibnu Jarir at-Thabari. namun pemakalah juga menyadari
akan adanya kekurangan pada makalah ini maka dari itu pemakalah mengaharapkan
kritikan yang sifatnya membangun agar makalah ini lebih sempuran.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar Rosihon, Melacak
Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir at-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Pustaja Setia, 1999.
Brockelman, Tarikh
al-Adab al-Arabi, Mesir: Dar al-Ma’arif.
Hasan Abidu Yunus, Tafsir
al-Qur’an, Sejarah Tafsir Dan Metode Mufassirnya, Tangerang: Gaya Media
Pratama, 2007.
khalil al-Qattan Manna, Studi ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Bogor: Lintera Antar
Nusa, 2007.
Qadir Mahmud al-Bakkar Abd, Terjemahan Jami
al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Yusuf Muhammad, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang
Bisu, Depok: Teras, 2004
[1]Yunus
Hasan Abidu, Tafsir al-Qur’an, Sejarah
Tafsir Dan Metode Mufassirnya, (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2007), h.
68.
[2]Muhammad
Yusuf, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan
Teks Yang Bisu, (Depok: Teras, 2004), h. 20.
[3]Muhammad
Yusuf, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan
Teks Yang Bisu, h. 21.
[4]Muhammad
Yusuf, Studi
Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu, h. 21-22
[7]Brockelman,
Tarikh al-Adab al-Arabi, (Mesir: Dar
al-Ma’arif, tt), h. 50.
[8]Rosihon
Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat
Dalam Tafsir at-Thabari dan Tafsir Ibnu
Katsir, (Bandung: Pustaja Setia, 1999), h. 68
[9]Abd
Qadir Mahmud al-Bakkar, Terjemahan Jami
al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 43.
[13]Yunus
Hasan Abidu, tafsir al-Qur’an, sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir,
h.70-71
[16]Manna khalil al-Qattan, Studi ilmu-Ilmu
al-Qur’an, h. 503.
[18]Muhammad
Yusuf, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan
Teks Yang Bisu, h. 35
[19]Muhammad
Yusuf, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan
Teks Yang Bisu, h. 35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar