BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab istimewa yang telah diberikan oleh
Allah kepada manusia. Sering juga orang menyebutnya sebagai mukjizat, karena
kandungan isinya yang begitu mendalam. Hingga sekarang, tak sedikit tinta para
ulama yang telah digoreskan hanya untuk menjelaskan kandungan kitab yang jadi
mukjizat Rasulullah Muhammad SAW ini. Kitab itulah yang sekarang kita sebut
kitab tafsir al-Qur’an. Ada banyak kitab tafsir yang telah ditulis oleh para
pemikir islam yang muncul dari latar belakang pendidikan dan daerah yang
berbeda. Namun karena al-Qur’an ini muncul dan dibawa oleh orang yang lahir di
tanah Arab, maka para pemikir atau ulama yang mencurahkan perhatiannya pada
kitab ini pun banyak muncul dari dataran Arab, Persia dan sekitarnya, sekalipun
hal ini tidak menafikan adanya kitab tafsir yang juga ditulis oleh para ulama
yang berasal dari luar Arab dan Persia seperti Inggris dan tak terkecuali juga
Indonesia.
Indonesia
adalah salah satu negara yang para ulamanya juga memberikan sumbangan pemikiran
kepada dunia melewati penafsiran-penafsiran mereka terhadap al-Qur’an. Jujur
kami katakan bahwa sebelumnya pengetahuan kami terhadap kitab-kitab tafsir yang
ditulis oleh ulama Nusantara sangatlah minim, mungkin hanya sebatas pada kitab
tafsir al-Mishbah dan tafsir al-Azhar saja. Namun setelah kami masuk pada mata
kuliah Tafsir Nusantara, serta mendengarkan pemaparan dari dosen pengampu,
barulah wawasan kami tentang kitab-kitab tafsir karangan ulama’ Nusantara mulai
terbuka. Kami baru menyadari bahwa ada banyak sekali kitab tafsir yang telah
ditulis oleh para ulama’ Indonesia dan kami tentunya sangat bangga akan hal itu
. Salah satu kitab tafsir itu adalah kitab yang bernama Marah Labid atau juga
dikenal dengan tafsir al-Munir yang ditulis oleh seorang ulama agung yang
berasal dari desa Tanara, Banten. Kitab tafsir inilah yang akan kami coba
paparkan dalam makalah ini. Walaupun analisis yang kami lakukan untuk mengkaji
kitab karya Syeikh Nawawi al-Bantani masih sangat dangkal dikarenakan kelemahan
bahasa Arab kami, namun hal ini tetap tidak meredam semangat kami untuk
mengkaji kitab tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian
permasalahan di atas maka yang menjadi rumusab masalahnya adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana biografi Imam Nawawi al-Bantani?
- Bagaimana tentang tafsir al-Munir?
- Bagaimana perkembangan tafsir Marah Labid di nusantara?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Biografi Syeikh Nawawi al-Bantani
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi itulah namanya. Beliau
adalah salah satu ulama besar dari Nusantara yang banyak berjasa dalam
perkembangan ajaran islam melewati aktivitas dakwah dan pemikiran-pemikirannya
yang mendunia. Beliau lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian
utara tepatnya pada tahun 1230 H atau 1814 M. Desa Tanara terletak kira-kira 30
km di sebelah utara kota Serang.[1] Dari beberapa referensi yang
penulis baca, terutama yang berbicara tentang perjalanan hidup Syeikh Nawawi
al-Bantani, tidak disebutkan mengenai tanggal berapa Syeikh Nawawi ini
dilahirkan.Yang disebutkan di beberapa referensi hanya bulan dan tahun
kelahirannya saja yaitu pada bulan Muharram(dalam kalender Hijriyah) dan bulan
Desember(dalam kalender Masehi). Terdapat beberapa versi pula tentang tahun
kelahiran Syeikh Nawawi, versi yang pertama yaitu yang muncul dari seorang
penulis bernama Chaidar yang menyebutkan bahwa Syeikh Nawawi lahir pada tahun
1230 H yang bertepatan dengan tahun 1813 M.[2]
Semua referensi yang membahas tentang Syeikh Nawawi
al-Bantani nampaknya sepakat bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1230 H, namun
yang agak keliru dari apa yang dituliskan oleh Chaidar adalah mengenai tahun
kelahirannya dalam tahun Masehi, yang kemudian menjadi sasaran kritikan
dari penulis lainnya seperti Yuyun Rodiana. Yuyun Rodiana mengatakan bahwa jika
dilihat dari persesuaian antara tahun Hijriyah dan Masehi, tahun 1230 H itu
sama dengan tahun 1814 atau 1815 M, jelasnya adalah bulan Muharam 1230 H sama
dengan dengan bulan Desember 1814 M. Akan tetapi jika kelahiran Syeikh Nawawi
al-Bantani ini adalah setelah bulan Muharram, maka tahun Masehinya adalah 1815
M, persisnya adalah antara bulan Januari dan November 1815 M.[3] Demikianlah mengenai tahun
kelahiran Syeikh Nawawi al-Bantani, walaupun terjadi beberapa perbedaan, namun
itu bukanlah perbedaan yang rumit, karena hanya berkisar pada masalah penetapan
tahun Masehi saja. Beliau wafat di Mekah tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah
bertepatan tahun 1897 M.
Syeikh Nawawi at-Tanari al-Bantani al-Jawi atau yang lebih
dikenal dengan Kiai Nawawi Banten itu sebetulnya bernama asli Muhammad bin Umar
Ali bin Arabi. Beliau disebut sebagai Kiai Nawawi at-Tanari al-Bantani al-Jawi
karena beliau berasal dari Tanara, Banten dan tergolong sebagai Ulama’ Jawi
atau Ulama’ yang berbangsa Melayu.[4] Namun ada beberapa hal yang
menjadi pertanyaan atas asal-usul nama panggilan yang dinisbatkan kepada Syeikh
Nawawi ini adalah mengenai nama Nawawi, yang di sini penulis masih
mempertanyakan dari mana nama Nawawi ini diambil, sementara jika kita lihat
nama asli beliau adalah Muhammad. Jika yang kita ingin pertanyakan adalah
nama belakang beliau yang diimbuhi dengan kata at-Tanari al-Bantani al-Jawi,
maka itu sudah tampak jelas bahwa nama itu diambil dari asal daerah tempat
beliau dilahirkan. Lantas bagaimana dengan kata Nawawi itu sendiri?, ini adalah
pertanyaan yang penulis rasa penting untuk didiskusikan.
a. Riwayat pendidikan
Semenjak kecil Kiai Nawawi al-Bantani mendapat pendidikan
tentang keislaman langsung dari ayahnya yang bernama K.H. Umar. K.H. Umar ini
juga dikenal sebagai salah satu ulama yang tinggal di desa Tanara. Jadi sebelum
Kiai Nawawi al-Bantani ini menerima pelajaran dari orang lain, ia terlebih
dahulu dibekali ilmu pengetahuan oleh sang ayah yang juga dikenal sebagai
ulama’. Selanjutnya beliau berguru kepada Kiai Sahal dan setelah itu beliau
berguru kepada Kiai Yusuf di Purwakarta, Jawa Barat, hingga ia mencapai usia
yang kelima belas.[5] Bersama Kiai Yusuf, beliau banyak
belajar tentang ilmu alat, seperti Bahasa Arab berikut ilmu Nahwu dan
Sharafnya. Namun hal ini tak menafikan bahwa beliau juga belajar ilmu-ilmu yang
lainnya, hanya saja beliau lebih terfokus kepada ilmu-ilmu alat tersebut.
Setelah usianya mencapai 15 tahun beliau pun pergi ke tanah
suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian bermukim di sana serta
berguru kepada para Ulama’ terkemuka seperti Syeikh Nahrawi, Syeikh Ahmad Zaini
Dahlan dan Syeikh Ahmad Dimyati, ini berlangsung pada tahun 1830-1833 M. Jika
kita perhatikan, bahwa kepergian beliau ke tanah suci Mekah itu terjadi pada
saat usia beliau masih sangat muda. Dan di usia muda seperti ini, beliau telah
belajar bersama para Ulama terkenal seperti yang telah penulis sebutkan di
atas. Tak hanya itu, beliau juga berguru kepada Syeikh Muhammad Khatib
al-Hanbali di Madinah. Setelah menimba ilmu selama tiga tahun dan usia beliau
genap mencapai 18 tahun, dikatakan bahwa beliau sempat pulang ke kampung
halaman, membantu sang ayah mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di pesantren.
Nampaknya kondisi lingkungan yang sedang dikuasai oleh para penjajah Belanda
tidak menyambut hangat kepulangan Syeikh Nawawi ke Banten. Oleh karena itu,
beliau pun merasa tak betah untuk berlama-lama berada di Banten, dan segera
memutuskan untuk kembali ke Mekah. Sebagian mengatakan bahwa beliau tinggal di
Banten hanya beberapa bulan saja, sementara yang lain mengatakan bahwa beliau
tinggal sampai tiga tahun, kemudian kembali ke Mekah dan kemudian tinggal di
sana sampai akhir hayatnya.[6]
Sekembalinya ia ke Mekah, ia pun terus berguru kepada para
ulama’, baik itu yang berasal dari Jawi maupun Timur tengah sampai tahun 1860.
Di antara guru-gurunya yang dikenal adalah Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh
Abdul Gani Bima, Syaikh Yusuf Sumbulawani, dan Syeikh Abd al-Hamid Daghestani
(berasal dari Daghestan). Syeikh Ahmad Khatib Sambas yang menjadi salah satu
guru beliau adalah seorang ulama yang berasal dari daerah Sambas(Kalimantan
Barat). Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini memiliki empat orang murid, ke empat
murid itu adalah Syaikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Mahfudz at-Tarmisi, Syeikh
Abdul Karim al-bantani dan yang terakhir adalah Syeikh Muhammad Khalil yang
akhirnya menetap di daerah Bangkalan Madura dan wafat di sana. Dikatakan bahwa
di antara ke empat murid Syeikh Sambas tersebut, Syeikh Nawawilah yang paling
senior. Karena di samping beliau adalah sahabat seperguruan mereka, terkadang
beliau juga menjadi guru mereka dalam hal-hal tertentu.[7]
Setelah lama 30 tahun lamanya beliau menimba ilmu bersama
para ulama terkemuka, akhirnya beliaupun mengabdikan dirinya sebagai seorang
pengajar sekaligus imam di Masjid al-Haram Mekah, kurang lebih selama 10 tahun.
Dan selebihnya hari-hari beliau banyak dihabiskan untuk mengarang kitab dan
mengajar serta mendidik para santri di rumahnya hingga akhir hayatnya.
b. Karya-karya Syeikh Nawawi al-Bantani
Terdapat perbedaan pendapat dari para peneliti tentang
jumlah kitab yang telah ditulis oleh Syeikh Nawawi ini. Di antaranya adalah
pendapat yang diusung oleh J.A Sarkis(sarjana Belanda) yang mengatakan bahwa
beliau telah menulis kitab sebanyak 39 kitab. Dan pendapat yang lain diusung
oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri dan KH Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa beliau
telah menulis lebih dari 100 buah kitab besar maupun kecil. Beliau merupakan
salah satu ulama besar Nusantara yang kitabnya telah menjadi rujukan bagi
instansi-instansi ternama dunia, seperti Universitas al-Azhar dan beberapa
pesantren di Nusantara.
Banyak kitab yang telah ditulis oleh Syeikh Nawawi
al-Bantani, sebagian kitab tersebut berisi pembahasan lepas yakni tidak terkait
dengan kitab-kitab lain, namun sebagian lainnya adalah kitab sebagai syarah dari
kitab-kitab yang telah ada sebelumnya. kitab-kitab hasil karangan Syeikh Nawawi
al-Bantani kangkauan pembahasannya meliputi ilmu tauhid, fikih, tasawuf,
hadits, nahwu, sharaf, fadhailul a’mal dan sebagainya. Di antara kitab-kitab
tersebut adalah Syarh al-Jurumiyah (1881), Tanqih al-Qaul (meluruskan
pendapat) syarah atas kitab Lubab al-Hadits karya as-Suyuti. Dan lain
sebagainya.
C. Garis
keturunan Syeikh Nawawi al-Bantani
Jika ditinjau dari segi nasab, maka akan kita ketahui bahwa
nasab Syeikh Nawawi al-Bantani ini bersambung hingga Sunan Gunung Jati yang
telah mashur dikenal sebagai salah satu wali penyebar islam di Nusantara. Dari
Sunan Gunung Jati pun jika kita tinjau lebih jauh, maka garis keturunannya akan
sampai kepada Rasulullah. Ayah Syaikh Nawawi al-Bantani ini bernama K.H. Umar
yang merupakan salah satu ulama di desa Tanara dan juga sebagai pemimpin masjid
serta pesantren di desa tersebut. Untuk lebih jelasnya, begini silsilah
keluarganya: Syeikh Nawawi bin Kiai Umar bin Kiai Arabi bin Kiai Ali bin Kiai
Jamad bin Ki Janta bin Ki Masbuqil bin Ki Masqun bin Ki Maswi bin Ki Tajul
Arsyi(pangeran Suryararas) bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif
Hidayatullah Cirebon bin Raja Amatuddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana
Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah
Khan bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
bin Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad
Muhajir Ilallahi bin Imam Isa an-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam
Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin
Sayyidatuna Fathimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah.[8]
2. Kitab Tafsir Marah Labid
a. Definisi dan jenis Metode Tafsir
Metodologi penafsiran adalah metode tertentu yang
digunakan oleh mufassir dalam penafsirannya. Seperti yang telah kita ketahui
bahwa pada umumnya metode penafsiran terbagi menjadi empat, yaitu metode ijmali
(global), tahlili (analitis), muqoron (perbandingan), maudhu’i (tematik).
Metode penafsiran ijmali adalah metode penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat
al-Qur’an secara ringkas tetapi komprehensif dengan bahasa yang popular, mudah
dimengerti dan enak dibaca. Metode penafsiran tahlili adalah metode yang
berupaya menafsirkan ayat demi ayat al-Qur’an dari setiap surah-surah al-Qur’an
dengan seperangkat alat-alat penafsiran (diantaranya asbabul nuzul, munasabat,
nasikh mansukh dan lain-lain). Metode penafsiran muqoron adalah metodde
penafsiran dengan membandingkan teks ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan
atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih atau memiliki redaksi yang
berbeda bagi kasus yang sama. Metode penafsiran maudhu’i adalah metode
menafsirkan dengan menghimpun semua ayat dari berbagai surah yang berbicara
tentang satu masalah tertentu yang dianggap menjadi tema sentral.[9]
b. Metode Tafsir Marah Labid
Salah satu karya Syekh Nawawi adalah “al-Munir li Ma’alim
at-Tanzil” atau dalam judul lain “Marah Labid Likasyfi Ma’na Qur’an Majid”.
Tafsirnya yang berhalaman 985 atau 987 beserta daftar isinya. Tafsir al-Munir
terdiri dari 2 jilid, jilid pertama berjumlah 510 atau 511 halaman beserta
daftar isinya dan jilid kedua berjumlah 475 atau 476 halaman beserta daftar
isinya dan diselesaikan pada rabiul akhir 1305 H. Di lihat dari cover yang
diterbitkan oleh penerbit dari Surabaya-Indonesia, tafsir ini memiliki dua
nama, pertama al-munir dan kedua al-tafsir Marah Labid. Al-tafsir Munir
diperkirakan diberikan oleh pihak penerbit. Sedangkan al-tafsir Marah Labid
berasal dari Syekh Nawawi langsung.
Tafsir al-munir ini dapat digolongkan sebagai salah satu
tafsir dengan metode ijmali (global). Dikatakan ijmali karena dalam menafsirkan
setiap ayat, Syeikh Nawawi menjelaskan setiap ayat dengan ringkas dan padat,
sehingga pun mudah dipahami. Sistematika penulisannya pun menuruti susunan
ayat-ayat dalam mushaf. Tafsir al Munir li Ma’alim at Tanzil terlihat sangat
detail dalam menafsirkan setiap kata per-kata pada setiap ayat, mungkin karena
kepiawian beliau dalam bidang bahasa yang tidak diragukan lagi. Berikut contoh
penafsiran kata per-kata oleh Syekh Nawawi dalam Kitab tafsirnya:
(الحمد الله) والشكر لله بنعمه السوابغ على عباده الذين هداهم
للإيمان (رب العالمين ) أى خالق الخلق ورازقهم ومحولهم من حال الى حال (الرحمن )
أى العاطف على البار والفاجر بالرزق لهم ودفع الآفات عنهم
Pada jilid pertama marah labid ini di mulai dari surah
al-fatihah sampai dengan surah al-kahfi dan jilid dua di mulai surah maryam
sampai surah an-nas. Penafsiran yang terlihat dalam kitab marah labid terdapat
di dalam garis, sedangkan di luar garis adalah kitab al-wajir tafsir al-qur’an
al-aziz oleh Imam Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi. Maka, dilihat dari cara
penyusunan ayat, Syeikh Nawawi menggunakan metode secara tahlili, yakni
berurutan dari surat pertama sampai surat terakhir dan tidak dikelompokkan
sesuai tema tertentu.
Selain menggunakan penafsiran metode ijmali dan tahlili,
ternyata dalam kitab al-Munir kami juga menemukan metode muqoron (perbandingan)
pada penafsiran surah al-Fatihah ayat 4 yang dibandingkan dengan surah
al-Infithar ayat 19. Berikut redaksi yang tertera dalam Kitab Tafsir al-Munir:
(ملك يوم الذين) يا ثبا ت الأ لف عند عاصم و الكسائي و يعقوب أى
متصرف في الأمر كله يوم القيامة كما قال تعالى يوم لا تملك نفس لنفس شيئا و الأمر
يومئذ الله و عند الباقين بخذق الألف و المعنى أى المتصرف في أمر القيامة با لأمر
والنهى[10]
Maka, dengan demikian tafsir al-Munir juga menggunakan
metode penafsiran muqoron dilihat dari penafsiran surah al-Fatihah ayat 4
tersebut meskipun kami belum menganalisis seluruh penafsiran ayat secara
keseluruhan.
Adapun
karakterisitik dari kitab tafsir Marah Labid diantaranya:
1.
Penafsiran baru dimulai dari halaman ke dua sedangkan
halaman pertama dimulai dengan pembukaan
- Terdapat kolofon atau penjelasan di bagian akhir tentang penafsiran pada jilid 1 dan jilid 2
- Page ayat selalu berada di dalam kurung
- Huruf-huruf muqoto’ah tidak ditafsirkan, walaupun ada yang ditafsirkan itu juga menggunkan kata قيل) ) yang nilainya ini pun dikategorikan lemah.
- Terkadang menggunakan kata (ayyu hadza) sebelum penafsiran. Akan tetapi ada juga yang tidak.
- Diawali dengan penyebutan nama surat, periode makiyyah dan madaniyyah
- Terdapat penyebutan tentang jumlah ayat bahkan menyebutkan jumlah huruf dan jumlah kalimat. Hal ini menunjukan bahwa beliau itu sangat teliti.
- Terdapat juga penjelsan tentag asbabun nuzul, ragam qiraat, dan penjelsan tentang nahwu dan sharaf. [11]
C. Corak Tafsir
Marah Labid
Alasan yang mendasari percetakan dan penulisan Marah labid
ini, sumber referensi menyebutkan ada dua kemungkinan yaitu;
Pertama,
Syekh Nawawi dikenal sebagai pemimpin Koloni Jawa di Mekkah yang
memperoleh penghormatan paling besar. Sehingga masyarakat jawa pada waktu itu
memintanya untuk memberikan ilmu pengetahuannya mengenai al-Quran.
Kedua, literatur
tafsir di Indonesia yang lengkap sebanyak 30 juz sampai abad 18-an hanyalah Tafsir
Tarjuman al-Mustafîdh karya ‘Abd Ra’uf Singkili dan itupun ditulis
dalam bahasa Melayu sehingga tidak menutup kemungkinan mereka tidak puas dengan
merujuk kepada satu kitab.
Praktisnya, permintaan ini tidak langsung ditanggapi oleh
Imam Nawawi. Akan tetapi, Imam Nawawi justru seakan-akan takut untuk melangkah.
Berdasarkan referensi bahwa ketakutan ini merupakan refleksi dari sifat ihtiath
(hati-hati) yang dimilkinya. Lebih lanjutnya Nawawi mengungkapkan bahwa
ketakutan tersebut lebih karena adanya pagar ketat yang tersurat dalam hadist
Rasul Muhammad SAW yang berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ
أَخْطَأ
Rasul
SAW bersabda:”Barang siapa menafsirkan (berkomentar) al-Quran dengan
mengedepankan pemikirannya, meskipun penafsirannya benar, maka ia telah
bersalah”.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ، فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
Rasul
SAW bersabda:”Barang siapa menafsirkan al-Quran dengan berdasarkan
pada pemikirannya, maka hendaknya ia menyiapkan tempat duduk di
dalam neraka”.
Setelah sekian lama waktu berjalan, permintaan
rekan-rekannya untuk tetap menulis tafsir akhirnya terwujud akhirnya Imam
Nawawi memutuskan untuk menulis tafsir.. Dalam tafsir Marah labid ini Imam
Nawawi menampakan konsisitensi kehati-hatiannya. Buktinya adalah dalam penulisan
tafsir tersebut Nawawi tidak mengedepankan ide-idenya saja, namun ia
mengikuti dan mengutip kitab-kitab tafsir yang mu’tabarah (sudah
diakui) yang telah ditulis ulama sebelumnya. Adapun salah satu karya yang
dijadikan rujukan adalah Mafatih al-Ghaib karya Imam
Fakhr al-Din al-Razi.
Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya
digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa arab yang berarti
warna. Jadi corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah
penafsiran. Tafsir merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seorang
mufasir ketika ia menjelaskan ujaran-ujaran al-Quran sesuai dengan
kemampuannya yang sekalipun mneggambarkan minat dan horizon pengetahuan sang
mufasir. Minat ini muncul pada abad pertengahan.
Keanekaragaman corak penafsiran sejalan dengan
keanekaragaman disiplin ilmu yang berkembang pada saat itu. Di sisi lain ilmu
yang berkembang pada Abad pertengahan ini yang bersentuhan langsung dengan
keislaman adalah ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa dan sastra,
serta filsafat. [12]
Berdasarkan referensi dalam buku yang berjudul Metodologi
Ilmu Tafsir disebutkan ada tujuh jenis corak, yaitu;
- Corak Hukum,
Atau yang disebut juga dengan tafsir Fiqhy. Tafsir ini lebih
berkonsentrasi pada ayat-ayat hukum dalam al-quran. Tafsir ayat al-Ahkam ini
berusia sudah sangat tua karena kelahirannya bersamaan dengan kelahiran tafsir
al-quran itu sendiri.
2. Corak Falsafi
Penafsiran al-Quran berdasarkan logika atau berdasarkan
pemikiran filsafat yang rasional dan radikal.
3. Corak Ilmiah
Penafsiran al-Quran yang menggunakan pendekatan
istilah-istilah ilmiah dalam rangka mengungkapkan al-Quran. Dalam tafsir ini
al-Quran tidak hanya bersifat ilmu keagamaan yang bersifat keyakinan akan
tetapi juga meliputi semua ilmu keduniaan. Ulama yang menafsirkan dengan
corak ini adalah al-Ghazali
Terdapat komentar salah satu ulama yang menyatakan bahwa
seandainya kita ingin menafsirkan al-quran dengan bercorak ilmiah itu boleh
dilakukan akan tetapi kita juga harus melihat aspek syar’inya, bahwa al-quran
diturunkan untuk petunjuk bagi umat manusia.
4. Corak Pendidikan
Lebih berorientasi pada ayat-ayat tentang pendidikan. Kitab
dengan corak ini lebih sedikit dibanding dengan yang lainnya. Seperti Namadzij
Tarbawiyyah min al-Quran al-Karim (karya Ahmad Zaki Tafafah, 1980 M). Ahmad
izzan mengatakan bahwa sebenarnya kitab ini bukan bercorak tarbawi, kitab ini
lebih kepada penggalian metode al-quran.
5. Corak akhlak
Lebih
berorientasi pada ayat-ayat tentang ahlak dan menggunakan pendekatan ilmu
ahlak.
6. Corak teologis
Tafsir yang bertujuan untuk membela sudut pandang sebuah
aliran teologis. Tafsir semacam ini lebih banyak membicarakan tema-tema
teologis dari pada mengedepankan pesan-pesan pokok al-Quran. Terkadang mereka
menggunakan ayat untuk membenarkan atas paham-paham teologis. Katagorisasi ayat
yang dipakai al-Quran sendiri, seperti Muhkam dan Mutasyabih merupkan sumber
toeritis tentang perbedaan penafsiran yang dibangun atas keyakinan-keyakinan
teologis.
7. Corak Sufi
Tafsir sufi terbagi dua, ada tafsir sufi isyari (penakwilan
ayat al-Quran yang berbeda dengan makna lahirnya yang kemudian disesuaikan
dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh) dan tafsir sufi nadhary
(tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan salah satu teori mistik dengan
menggeser tujuan al-quran kepada tujuan dan target mistis mufassir.
Mengenai corak yang digunakan oleh Imam Nawawi adalah
menurut referensi bahwa tafsir ini dikategorikan dalam corak riwayah/ mat’sur.
Karena tafsir ini belum memenuhi persyaratan untuk dikaitkan menempuh corak
bi rayi. Pernyataan ini dapat disimpulkan karena dalam permulaan
pernyataan di dalam tafsirnya pada bab pembukaan, Imam Nawawi mengatakan bahwa
ia takut menafsirkan al-Quran dengan tafsir pemikiran murninya (bil rayi)
saja. Hal ini terbukti dalam praktisnya bahwa Imam Nawawi banyak mengutip
hadis-hadis rasulullah saw, pendapat sahabat, tabiin, atau para tokoh yang
dianggapnya mutabar dalam menjelaskan ayat tertentu. Hal ini diperkuat
dengan disebutkannya nama beberapa sahabat dan tabi’in seperti Abu Bakar,
Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, al-Dahak, dan Qatadah dalam menafsirkan ayat tertentu.[13]
Dalam keterangan mengenai ini ada pendapat yang menyatakan
bahwa tulisan syeikh Nawawi yang terkenal adalah tafsir al-Munir yang
ditulisnya selama tiga tahun (1302-1305H/ 1887-1890) dengan judul asli Murah
Labid li Kasyfi Ma’na al-quran al-majid. Kitab tafsir ini termasuk tafsir yang
ilmiah dan rasional diantara sebagian kitab tafsir sebelumnya. Kitab ini
dipergunakan sebagai rujukan di Universitas al-Azhar, sehingga namanya terkenal
di sana. Jadi dapat disimpulkan bahwa tafsir ini bercorak rasional.[14]
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang ada mengenai berbagai
macam corak ini dan didapati juga dalam beberapa referensi bahwa Marah Labid
ini menggunakan corak bil Rayi yang lebih khusunya bernuansa sufi (corak
sufi). Kendati demikian terdapat juga dalam referensi yang lain yang menyatakan
bahwasanya Marah Labid ini bercorak bil Riwayah, dengan bukti bahwa
dalam pembukaan kitab Marah labid itu Imam Nawawi menyebutkan beberapa
kitab-kitab yang jadi rujukan beliau diantaranya Futuhat ilahiyah,
mafatihul Ghaib, Sirojil Munir dan tanwir al-Muqabbas dan tafsir Abu Su’ud.
Karena dalam pra-makalah ini kami tidak mengkaji kitabnya
secara keseluruhan dan karena penentuan jenis corak itu bersifat
subyektif maka kami menraik dua kesimpulan di atas mengenai corak Kitab
Marah Labid ini. adapun seandainya ada pengetahuan yang baru yang bisa
dipertanggungjawabkan mengenai jenis corak ini maka kami akan dengan senang
hati akan mendiskusikan kembali.
Mengingat bahwa tafsir marah labid ini ditulis
dalam bahasa Arab yang tidak lain berarti menggunakan bahasa asing. Penggunaan
bahasa asing di sini memberikan nilai positif dan negatifnya. Nilai positif dan
negatifnya yaitu bahwa Literatur-literatur tafsir al-Quran yang muncul dari
tangan para muslim nusantara, dengan keragaman bahasa dan aksara yang
digunakan, mencerminkan adanya “hirarki”, baik “hirarki tafsir” itu sendiri di
tengah-tengah karya-karya tafsir lain, maupun “hirarki pembaca” yang menjadi
sasarannya. Misalnya penggunaan bahasa Arab, seperti yang ditemuh oleh Imam
Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid, dari segi sasaran –dengan
memperimbangkan bahasa Arab- tafsir ini lebih mudah diakses oleh para peminat
kajian al-Quran international, namun pada posisi yang lain, yakni dalam konteks
Indonesia sendri karya tafsir ini tentu lebih bersifat elistis. Sebab, seperti
kita tahu bahwa tidak semua muslim Indonesia mahir berbahasa Arab.
Demikian juga litaratur yang ditulis dengan bahasa
daerah-jawa atau sunda misalnya- dan menggunakan huruf arab pegon, pada satu
sisi akan memudahkan bagi komunitas muslim yang kebetulan satu daerah dan
menguasai bahasa lokal tersebut. Namun apabila pada cakupan keindonesian, model
ini pun juga pada akhirnya tidak bisa menghindar dari elistisnya, sebab
seakan-akan karya ini ditulis khusus untuk daerah pemakai bahasa tersebut. [15]
Sebenarnya ini bukan menjadi pokok pembahasan makalah ini
akan tetapi karena melihat dari Kitab Tafsir Marah Labid ini berbahasa Arab
sehingga kita bisa mengetahui kebijakan disaat kita akan menghasilkan karya
tertentu.
3. Perkembangan
tafsir marah Labid di Nusantara
a. Nawawi sebagai Bapak Gerakan Intelektual
Islam di Nusantara
Kemunculan Tafsir al-Munir menandakan adanya perkembangan
penulisan tafsir di Indonesia sampai abad ke-19. Terdapat tiga nama yang
diberikan Syeikh Nawawi pada tafsirnya cetakan Beirut yang diterbitkan tahun
1981, yaitu Marah Labid, Tafsir al Nawawi dan al Tafsir al Munir li Ma’alim al
Tanzil. Tafsir al-Munir pertama kali ditulis oleh Syeikh Nawawi pada tahun
1860-an dan selesai pada hari Selasa malam Rabu 5 Rabiul Awal 1305 H (1884 M),
yang berarti proses penggarapannya berlangsung selama 15 tahunan. Sesuai dengan
kebiasaannya dalam menulis, Syeikh Nawawi menyodorkan karya tafsirnya itu
kepada ulama-ulama Mekkah untuk diteliti terlebih dahulu sebelum dicetak.
Percetakan ulang yang dilakukan di Halabi (Kairo) terdiri dari dua jilid dengan
kira-kira 500 halaman tiap jilidnya. Jilid yang pertama dimulai dari surat
al-Fâtihah sampai dengan asal surat al-Kahfi, sedangkan jilid dua dimulai dari
lanjutan surat al-Kahfi sampai dengan surat an-Nas.
Syaikh Nawawi Al-Bantani merupakan salah satu ulama dan
cendekiawan muslim yang memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat
Nusantara dan bahkan sampai sekarang melalui generasi, pengikut dan
tulisannya. Syaikh Nawawi Al-Bantani adalah penulis yang sangat produktif dan
ulama yang memiliki pengetahuan multidimensi. Menurut catatan beberapa
muridnya dan generasi murid selanjutnya, tidak kurang dari 115 karya yang
ditulisnya dalam berbagai cabang ilmu keislaman. Melalui kitab-kitabnya, ia
merefleksikan pandangan dan fatwanya. Dan kitab-kitab itu menempatkan posisi
teratas kitab-kitab paling berpengaruh dalam kurikulum pesantren-pesantren di
Nusantara maupun majelis-majelis keilmuan Islam lainnya hingga kini.
Seorang orientalis Dr. C. Snouck Hurgronje memujinya sebagai
orang Indonesia yang paling alim dan mengamalkan kealimannya. Maka pantaslah,
para ulama dan cendekiawan muslim menempatkannya sebagai bapak gerakan
intelektual Islam di Nusantara. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai
ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi
amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Dan ini
terbukti dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki
caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam
menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka.
Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk
apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak
didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT.
Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya
mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid,
ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang
ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid,
Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat
al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah,
Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah
Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin.
b.
Perkembangan Marah Labid
Karena faktor referensi yang sulit kami tenukan dalam
pembahasan ini, maka kami hanya membahas sekilas dan tidak begitu mendetail
mengenai ini. kitab Al-Munir (Tafsir Marah Labid) dimana kitab ini
menjadi salah satu rujukan masyarakat. Tafsir ini tergolong masyhur. Bahkan
pada masa kemunculannya tafsir ini dikenal juga oleh ulama di negeri arab
sendiri. Di Indonesia terutama di pesantren, tafsir ini tidak kalah masyhurnya dengan
tafsir Jalalain. Metodologinya tahlili. Uraiannya sederhana. Tapi lebih panjang
dan lebih banyak dibandingkan dengan tafsir Jalalain. Jika tafsir “Jalalain”
hanya menjelaskan kata kata muradif, maka pada tafsir “Marah Labid” Syekh
Nawawi akan menjelaskan maksud ayat tersebut secara sederhana. Tidak banyak
mendiskusikan persoalan. Bahkan jika mengetengahkan pendapat beliau tidak
menyebutkan dalil setiap pendapat. Pengarang cenderung untuk tidak menarjihkan
diantara pendapat tersebut. Uraian bahasa, cukup mendominasi. Unsur balaghah
juga banyak, begitu juga ilmu nahwu, shorof, Qira’at, Rasm Usmani, dan lain
sebagainya. Beliau sengaja menyederhanakan tafsirnya, agar pembaca langsung
memahami inti persoalan. Tanpa harus dibawa ke metode ijtihad dalam menafsirkan
Al-Qur’an. Dalam hal periwayatan, tafsir ini banyak menukil hadis, perkataan
sahabat dan tabi’in tanpa sanad. Dilihat dari sudut ini tafsir ini kombinasi
dari tafsir riwayah dan dirayah.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi
itulah namanya. Beliau adalah salah satu ulama besar dari Nusantara yang banyak
berjasa dalam perkembangan ajaran islam melewati aktivitas dakwah dan
pemikiran-pemikirannya yang mendunia. Beliau lahir di desa Tanara, kecamatan
Tirtayasa, Banten bagian utara tepatnya pada tahun 1230 H atau 1814 M. Desa
Tanara terletak kira-kira 30 km di sebelah utara kota Serang
2. Salah satu karya Syekh Nawawi adalah
“al-Munir li Ma’alim at-Tanzil” atau dalam judul lain “Marah Labid Likasyfi Ma’na
Qur’an Majid”. Tafsirnya yang berhalaman 985 atau 987 beserta daftar isinya.
Tafsir al-Munir terdiri dari 2 jilid, jilid pertama berjumlah 510 atau 511
halaman beserta daftar isinya dan jilid kedua berjumlah 475 atau 476 halaman
beserta daftar isinya dan diselesaikan pada rabiul akhir 1305 H. Di lihat dari
cover yang diterbitkan oleh penerbit dari Surabaya-Indonesia, tafsir ini
memiliki dua nama, pertama al-munir dan kedua al-tafsir Marah Labid. Al-tafsir
Munir diperkirakan diberikan oleh pihak penerbit. Sedangkan al-tafsir Marah
Labid berasal dari Syekh Nawawi langsung.
3. Kemunculan Tafsir al-Munir
menandakan adanya perkembangan penulisan tafsir di Indonesia sampai abad ke-19.
Terdapat tiga nama yang diberikan Syeikh Nawawi pada tafsirnya cetakan Beirut yang
diterbitkan tahun 1981, yaitu Marah Labid, Tafsir al Nawawi dan al Tafsir al
Munir li Ma’alim al Tanzil. Tafsir al-Munir pertama kali ditulis oleh Syeikh
Nawawi pada tahun 1860-an dan selesai pada hari Selasa malam Rabu 5 Rabiul Awal
1305 H (1884 M), yang berarti proses penggarapannya berlangsung selama 15
tahunan. Sesuai dengan kebiasaannya dalam menulis, Syeikh Nawawi menyodorkan
karya tafsirnya itu kepada ulama-ulama Mekkah untuk diteliti terlebih dahulu
sebelum dicetak. Percetakan ulang yang dilakukan di Halabi (Kairo) terdiri dari
dua jilid dengan kira-kira 500 halaman tiap jilidnya. Jilid yang pertama
dimulai dari surat al-Fâtihah sampai dengan asal surat al-Kahfi, sedangkan
jilid dua dimulai dari lanjutan surat al-Kahfi sampai dengan surat an-Nas.
B.
SARAN
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para
akademisi dan juga pembaca yang lainnya. Namun pemakalah juga menyadari akan
adanya kekurangan pada makalah ini, maka pemakalah mengharapkan kritikan dan
sarannya untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Abdullah, Khazanah Tafsir
Indonesia. Penerbit Teraju: 2003
Badruzzaman, Dimyati, MA dalam “Studi
Kritis Kisah kisah Israiliyat dalam Tafsir Munir Karya Syekh Nawawi”, Tesis
MA di IIQ, Jakarta, 2001).
Bibit Suprapto, Ensiklopedia
Ulama-Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia,
hal 652
Chaidar, Sejarah Pujangga Islam
Syaikh Nawawi al-Bantani Indonesia, (Jakarta: CV. Sarana Utama, 1979).
Htttp//www//Wikipedia. Website, Motif
Tulisan Nawawi
Kementrian Agama RI. Al-Qur’an
& Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi. 2010.
Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama
Hijaz; Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani. Yogyakarta : Pustaka Pesantren,
LKiS Cet : I, Februari 2009
Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama’
Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani.
Syekh Nawawi. Marah Labid Tafsir
Munir. Surabaya: Darul Ilmi .tt.
Yuyun Rodiana, “Syaikh Nawawi
al-Bantani: Riwayat hidup dan sumbangannya terhadap islam”, 1990, skripsi,
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta,
[1] Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama’
Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, hlm. 9.
[2] Chaidar, Sejarah Pujangga Islam
Syaikh Nawawi al-Bantani Indonesia, (Jakarta: CV. Sarana Utama, 1979). Hlm.
5.
[3] Yuyun Rodiana, “Syaikh Nawawi
al-Bantani: Riwayat hidup dan sumbangannya terhadap islam”, 1990, skripsi,
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 12
[4] H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi
Ulama’ Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan sejarah perjuangan 157 Ulama’
Nusantara, hlm. 653.
[5] Ibid, hlm. 653
[6] Ibid, hlm. 654
[7] Ibid. Hlm. 654
[8] Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama’
Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, hlm. 15
[9]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an
& Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hal. 68-74.
[10] Imam Nawawi, Marah Labid Tafsir
Munir, (Surabay:a]Darul Ilmi ,tt), hal. 3
[11] Imam Nawawi, Marah Labid Tafsir
Munir, (Surabay:a]Darul Ilmi ,tt)
[12] Meteodologi Ilmu Tafsir, Ahmad
Izzan; Tafakur 2011, Bandung, hal 199
[13] Wikipedia. Website, Motif
Tulisan Nawawi,
[14] Bibit Suprapto, Ensiklopedia
Ulama-Ulama Nusantara. Jakarta; Gelegar Media Indonesia, hal 652
[15] Amin Abdullah, Khazanah Tafsir
Indonesia, 2003; Penerbit Teraju
Terimakasih, artikel yg bagus dan. Bermanfaat ,
BalasHapusJudulnya kuta baca Murah Labiid atau Marah Labid ya, kira2 mana yg lebih tepat dan benar , dan apa arti dari Marah atau Murah labid. Terimaksi