Kamis, 03 Juli 2014

tafsir MARAH LABID oleh SYEIKH AN-NAWAWI AL-BANTANI


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab istimewa yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia. Sering juga orang menyebutnya sebagai mukjizat, karena kandungan isinya yang begitu mendalam. Hingga sekarang, tak sedikit tinta para ulama yang telah digoreskan hanya untuk menjelaskan kandungan kitab yang jadi mukjizat Rasulullah Muhammad SAW ini. Kitab itulah yang sekarang kita sebut kitab tafsir al-Qur’an. Ada banyak kitab tafsir yang telah ditulis oleh para pemikir islam yang muncul dari latar belakang pendidikan dan daerah yang berbeda. Namun karena al-Qur’an ini muncul dan dibawa oleh orang yang lahir di tanah Arab, maka para pemikir atau ulama yang mencurahkan perhatiannya pada kitab ini pun banyak muncul dari dataran Arab, Persia dan sekitarnya, sekalipun hal ini tidak menafikan adanya kitab tafsir yang juga ditulis oleh para ulama yang berasal dari luar Arab dan Persia seperti Inggris dan tak terkecuali juga Indonesia.
Indonesia adalah salah satu negara yang para ulamanya juga memberikan sumbangan pemikiran kepada dunia melewati penafsiran-penafsiran mereka terhadap al-Qur’an. Jujur kami katakan bahwa sebelumnya pengetahuan kami terhadap kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh ulama Nusantara sangatlah minim, mungkin hanya sebatas pada kitab tafsir al-Mishbah dan tafsir al-Azhar saja. Namun setelah kami masuk pada mata kuliah Tafsir Nusantara, serta mendengarkan pemaparan dari dosen pengampu, barulah wawasan kami tentang kitab-kitab tafsir karangan ulama’ Nusantara mulai terbuka. Kami baru menyadari bahwa ada banyak sekali kitab tafsir yang telah ditulis oleh para ulama’ Indonesia dan kami tentunya sangat bangga akan hal itu . Salah satu kitab tafsir itu adalah kitab yang bernama Marah Labid atau juga dikenal dengan tafsir al-Munir yang ditulis oleh seorang ulama agung yang berasal dari desa Tanara, Banten. Kitab tafsir inilah yang akan kami coba paparkan dalam makalah ini. Walaupun analisis yang kami lakukan untuk mengkaji kitab karya Syeikh Nawawi al-Bantani masih sangat dangkal dikarenakan kelemahan bahasa Arab kami, namun hal ini tetap tidak meredam semangat kami untuk mengkaji kitab tersebut.
B.       Rumusan Masalah
            Bertitik tolak dari uraian permasalahan di atas maka yang menjadi rumusab masalahnya adalah sebagai berikut:
1.       Bagaimana biografi Imam Nawawi al-Bantani?
  1. Bagaimana tentang tafsir al-Munir?
  2. Bagaimana perkembangan tafsir Marah Labid di nusantara?














BAB II
PEMBAHASAN
1.        Biografi Syeikh Nawawi al-Bantani
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi itulah namanya. Beliau adalah salah satu ulama besar dari Nusantara yang banyak berjasa dalam perkembangan ajaran islam melewati aktivitas dakwah dan pemikiran-pemikirannya yang mendunia. Beliau lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara tepatnya pada tahun 1230 H atau 1814 M. Desa Tanara terletak kira-kira 30 km di sebelah utara kota Serang.[1] Dari beberapa referensi yang penulis baca, terutama yang berbicara tentang perjalanan hidup Syeikh Nawawi al-Bantani, tidak disebutkan mengenai tanggal berapa Syeikh Nawawi ini dilahirkan.Yang disebutkan di beberapa referensi hanya bulan dan tahun  kelahirannya saja yaitu pada bulan Muharram(dalam kalender Hijriyah) dan bulan Desember(dalam kalender Masehi). Terdapat beberapa versi pula tentang tahun kelahiran Syeikh Nawawi, versi yang pertama yaitu yang muncul dari seorang penulis bernama Chaidar yang menyebutkan bahwa Syeikh Nawawi lahir pada tahun 1230 H yang bertepatan dengan tahun 1813 M.[2]
Semua referensi yang membahas tentang Syeikh Nawawi al-Bantani nampaknya sepakat bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1230 H, namun yang agak keliru dari apa yang dituliskan oleh Chaidar adalah mengenai tahun kelahirannya dalam tahun Masehi, yang kemudian menjadi sasaran kritikan  dari penulis lainnya seperti Yuyun Rodiana. Yuyun Rodiana mengatakan bahwa jika dilihat dari persesuaian antara tahun Hijriyah dan Masehi, tahun 1230 H itu sama dengan tahun 1814 atau 1815 M, jelasnya adalah bulan Muharam 1230 H sama dengan dengan bulan Desember 1814 M. Akan tetapi jika kelahiran Syeikh Nawawi al-Bantani ini adalah setelah bulan Muharram, maka tahun Masehinya adalah 1815 M, persisnya adalah antara bulan Januari dan November 1815 M.[3] Demikianlah mengenai tahun kelahiran Syeikh Nawawi al-Bantani, walaupun terjadi beberapa perbedaan, namun itu bukanlah perbedaan yang rumit, karena hanya berkisar pada masalah penetapan tahun Masehi saja. Beliau wafat di Mekah tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah bertepatan tahun 1897 M.
Syeikh Nawawi at-Tanari al-Bantani al-Jawi atau yang lebih dikenal dengan Kiai Nawawi Banten itu sebetulnya bernama asli Muhammad bin Umar Ali bin Arabi. Beliau disebut sebagai Kiai Nawawi at-Tanari al-Bantani al-Jawi karena beliau berasal dari Tanara, Banten dan tergolong sebagai Ulama’ Jawi atau Ulama’ yang berbangsa Melayu.[4] Namun ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan atas asal-usul nama panggilan yang dinisbatkan kepada Syeikh Nawawi ini adalah mengenai nama Nawawi, yang di sini penulis masih mempertanyakan dari mana nama Nawawi ini diambil, sementara jika kita lihat nama asli beliau adalah Muhammad. Jika yang kita ingin pertanyakan adalah  nama belakang beliau yang diimbuhi dengan kata at-Tanari al-Bantani al-Jawi, maka itu sudah tampak jelas bahwa nama itu diambil dari asal daerah tempat beliau dilahirkan. Lantas bagaimana dengan kata Nawawi itu sendiri?, ini adalah pertanyaan yang penulis rasa penting untuk didiskusikan.
 a.   Riwayat pendidikan
Semenjak kecil Kiai Nawawi al-Bantani mendapat pendidikan tentang keislaman langsung dari ayahnya yang bernama K.H. Umar. K.H. Umar ini juga dikenal sebagai salah satu ulama yang tinggal di desa Tanara. Jadi sebelum Kiai Nawawi al-Bantani ini menerima pelajaran dari orang lain, ia terlebih dahulu dibekali ilmu pengetahuan oleh sang ayah yang juga dikenal sebagai ulama’. Selanjutnya beliau berguru kepada Kiai Sahal dan setelah itu beliau berguru kepada Kiai Yusuf di Purwakarta, Jawa Barat, hingga ia mencapai usia yang kelima belas.[5] Bersama Kiai Yusuf, beliau banyak belajar tentang ilmu alat, seperti Bahasa Arab berikut ilmu Nahwu dan Sharafnya. Namun hal ini tak menafikan bahwa beliau juga belajar ilmu-ilmu yang lainnya, hanya saja beliau lebih terfokus kepada ilmu-ilmu alat tersebut.
Setelah usianya mencapai 15 tahun beliau pun pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian bermukim di sana serta berguru kepada para Ulama’ terkemuka seperti Syeikh Nahrawi, Syeikh Ahmad Zaini Dahlan dan Syeikh Ahmad Dimyati, ini berlangsung pada tahun 1830-1833 M. Jika kita perhatikan, bahwa kepergian beliau ke tanah suci Mekah itu terjadi pada saat usia beliau masih sangat muda. Dan di usia muda seperti ini, beliau telah belajar bersama para Ulama terkenal seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Tak hanya itu, beliau juga berguru kepada Syeikh Muhammad Khatib al-Hanbali di Madinah. Setelah menimba ilmu selama tiga tahun dan usia beliau genap mencapai 18 tahun, dikatakan bahwa beliau sempat pulang ke kampung halaman, membantu sang ayah mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di pesantren. Nampaknya kondisi lingkungan yang sedang dikuasai oleh para penjajah Belanda tidak menyambut hangat kepulangan Syeikh Nawawi ke Banten. Oleh karena itu, beliau pun merasa tak betah untuk berlama-lama berada di Banten, dan segera memutuskan untuk kembali ke Mekah. Sebagian mengatakan bahwa beliau tinggal di Banten hanya beberapa bulan saja, sementara yang lain mengatakan bahwa beliau tinggal sampai tiga tahun, kemudian kembali ke Mekah dan kemudian tinggal di sana sampai akhir hayatnya.[6]
Sekembalinya ia ke Mekah, ia pun terus berguru kepada para ulama’, baik itu yang berasal dari Jawi maupun Timur tengah sampai tahun 1860. Di antara guru-gurunya yang dikenal adalah Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Gani Bima, Syaikh Yusuf Sumbulawani, dan Syeikh Abd al-Hamid Daghestani (berasal dari Daghestan). Syeikh Ahmad Khatib Sambas yang menjadi salah satu guru beliau adalah seorang ulama yang berasal dari daerah Sambas(Kalimantan Barat). Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini memiliki empat orang murid, ke empat murid itu adalah Syaikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Mahfudz at-Tarmisi, Syeikh Abdul Karim al-bantani dan yang terakhir adalah Syeikh Muhammad Khalil yang akhirnya menetap di daerah Bangkalan Madura dan wafat di sana. Dikatakan bahwa di antara ke empat murid Syeikh Sambas tersebut, Syeikh Nawawilah yang paling senior. Karena di samping beliau adalah sahabat seperguruan mereka, terkadang beliau juga menjadi guru mereka dalam hal-hal tertentu.[7]
Setelah lama 30 tahun lamanya beliau menimba ilmu bersama para ulama terkemuka, akhirnya beliaupun mengabdikan dirinya sebagai seorang pengajar sekaligus imam di Masjid al-Haram Mekah, kurang lebih selama 10 tahun. Dan selebihnya hari-hari beliau banyak dihabiskan untuk mengarang kitab dan mengajar serta mendidik para santri di rumahnya hingga akhir hayatnya.
       b.  Karya-karya Syeikh Nawawi al-Bantani
Terdapat perbedaan pendapat dari para peneliti tentang jumlah kitab yang telah ditulis oleh Syeikh Nawawi ini. Di antaranya adalah pendapat yang diusung oleh J.A Sarkis(sarjana Belanda) yang mengatakan bahwa beliau telah menulis kitab sebanyak 39 kitab. Dan pendapat yang lain diusung oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri dan KH Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa beliau telah menulis lebih dari 100 buah kitab besar maupun kecil. Beliau merupakan salah satu ulama besar Nusantara yang kitabnya telah menjadi rujukan bagi instansi-instansi ternama dunia, seperti Universitas al-Azhar dan beberapa pesantren di Nusantara.
Banyak kitab yang telah ditulis oleh Syeikh Nawawi al-Bantani, sebagian kitab tersebut berisi pembahasan lepas yakni tidak terkait dengan kitab-kitab lain, namun sebagian lainnya adalah kitab sebagai syarah dari kitab-kitab yang telah ada sebelumnya. kitab-kitab hasil karangan Syeikh Nawawi al-Bantani kangkauan pembahasannya meliputi ilmu tauhid, fikih, tasawuf, hadits, nahwu, sharaf, fadhailul a’mal dan sebagainya. Di antara kitab-kitab tersebut adalah Syarh al-Jurumiyah (1881), Tanqih al-Qaul (meluruskan pendapat) syarah atas kitab Lubab al-Hadits karya as-Suyuti. Dan lain sebagainya.
     C.    Garis keturunan Syeikh Nawawi al-Bantani
Jika ditinjau dari segi nasab, maka akan kita ketahui bahwa nasab Syeikh Nawawi al-Bantani ini bersambung hingga Sunan Gunung Jati yang telah mashur dikenal sebagai salah satu wali penyebar islam di Nusantara. Dari Sunan Gunung Jati pun jika kita tinjau lebih jauh, maka garis keturunannya akan sampai kepada Rasulullah. Ayah Syaikh Nawawi al-Bantani ini bernama K.H. Umar yang merupakan salah satu ulama di desa Tanara dan juga sebagai pemimpin masjid serta pesantren di desa tersebut. Untuk lebih jelasnya, begini silsilah keluarganya: Syeikh Nawawi bin Kiai Umar bin Kiai Arabi bin Kiai Ali bin Kiai Jamad bin Ki Janta bin Ki Masbuqil bin Ki Masqun bin Ki Maswi bin Ki Tajul Arsyi(pangeran Suryararas) bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja Amatuddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Muhajir Ilallahi bin Imam Isa an-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidatuna Fathimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah.[8]

2.   Kitab Tafsir Marah Labid
      a.  Definisi dan jenis Metode Tafsir
Metodologi  penafsiran adalah metode tertentu yang digunakan oleh mufassir dalam penafsirannya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pada umumnya metode penafsiran terbagi menjadi empat, yaitu metode ijmali (global), tahlili (analitis), muqoron (perbandingan), maudhu’i (tematik). Metode penafsiran ijmali adalah metode penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tetapi komprehensif dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca. Metode penafsiran tahlili adalah metode yang berupaya menafsirkan ayat demi ayat al-Qur’an dari setiap surah-surah al-Qur’an dengan seperangkat alat-alat penafsiran (diantaranya asbabul nuzul, munasabat, nasikh mansukh dan lain-lain). Metode penafsiran muqoron adalah metodde penafsiran dengan membandingkan teks ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih atau memiliki redaksi yang berbeda bagi kasus yang sama. Metode penafsiran maudhu’i adalah metode menafsirkan dengan menghimpun semua ayat dari berbagai surah yang berbicara tentang satu masalah tertentu yang dianggap menjadi tema sentral.[9]
      b.   Metode Tafsir Marah Labid
Salah satu karya Syekh Nawawi adalah “al-Munir li Ma’alim at-Tanzil” atau dalam judul lain “Marah Labid Likasyfi Ma’na Qur’an Majid”. Tafsirnya yang berhalaman 985 atau 987 beserta daftar isinya. Tafsir al-Munir terdiri dari 2 jilid, jilid pertama berjumlah 510 atau 511 halaman beserta daftar isinya dan jilid kedua berjumlah 475 atau 476 halaman beserta daftar isinya dan diselesaikan pada rabiul akhir 1305 H. Di lihat dari cover yang diterbitkan oleh penerbit dari Surabaya-Indonesia, tafsir ini memiliki dua nama, pertama al-munir dan kedua al-tafsir Marah Labid. Al-tafsir Munir diperkirakan diberikan oleh pihak penerbit. Sedangkan al-tafsir Marah Labid berasal dari Syekh Nawawi langsung.
Tafsir al-munir ini dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir dengan metode ijmali (global). Dikatakan ijmali karena dalam menafsirkan setiap ayat, Syeikh Nawawi menjelaskan setiap ayat dengan ringkas dan padat, sehingga pun mudah dipahami. Sistematika penulisannya pun menuruti susunan ayat-ayat dalam mushaf. Tafsir al Munir li Ma’alim at Tanzil terlihat sangat detail dalam menafsirkan setiap kata per-kata pada setiap ayat, mungkin karena kepiawian beliau dalam bidang bahasa yang tidak diragukan lagi. Berikut contoh penafsiran kata per-kata oleh Syekh Nawawi dalam Kitab tafsirnya:
(الحمد الله) والشكر لله بنعمه السوابغ على عباده الذين هداهم للإيمان (رب العالمين ) أى خالق الخلق ورازقهم ومحولهم من حال الى حال (الرحمن ) أى العاطف على البار والفاجر بالرزق لهم ودفع الآفات عنهم
Pada jilid pertama marah labid ini di mulai dari surah al-fatihah sampai dengan surah al-kahfi dan jilid dua di mulai surah maryam sampai surah an-nas. Penafsiran yang terlihat dalam kitab marah labid terdapat di dalam garis, sedangkan di luar garis adalah kitab al-wajir tafsir al-qur’an al-aziz oleh Imam Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi. Maka, dilihat dari cara penyusunan ayat, Syeikh Nawawi menggunakan metode secara tahlili, yakni berurutan dari surat pertama sampai surat terakhir dan tidak dikelompokkan sesuai tema tertentu.
Selain menggunakan penafsiran metode ijmali dan tahlili, ternyata dalam kitab al-Munir kami juga menemukan metode muqoron (perbandingan) pada penafsiran surah al-Fatihah ayat 4 yang dibandingkan dengan surah al-Infithar ayat 19. Berikut redaksi yang tertera dalam Kitab Tafsir al-Munir:
(ملك يوم الذين) يا ثبا ت الأ لف عند عاصم و الكسائي و يعقوب أى متصرف في الأمر كله يوم القيامة كما قال تعالى يوم لا تملك نفس لنفس شيئا و الأمر يومئذ الله و عند الباقين بخذق الألف و المعنى أى المتصرف في أمر القيامة با لأمر والنهى[10]
Maka, dengan demikian tafsir al-Munir juga menggunakan metode penafsiran muqoron dilihat dari penafsiran surah al-Fatihah ayat 4 tersebut meskipun kami belum menganalisis seluruh penafsiran ayat secara keseluruhan.
Adapun karakterisitik dari kitab tafsir Marah Labid diantaranya:
1.       Penafsiran baru dimulai dari halaman ke dua sedangkan halaman pertama dimulai dengan pembukaan
  1. Terdapat kolofon atau penjelasan di bagian akhir tentang penafsiran pada jilid 1 dan jilid 2
  2. Page ayat selalu berada di dalam kurung
  3. Huruf-huruf muqoto’ah tidak ditafsirkan, walaupun ada yang ditafsirkan itu juga menggunkan kata قيل) ) yang nilainya ini pun dikategorikan lemah.
  4. Terkadang menggunakan kata  (ayyu hadza) sebelum penafsiran. Akan tetapi ada juga yang tidak.
  5. Diawali dengan penyebutan nama surat, periode makiyyah dan madaniyyah
  6. Terdapat penyebutan tentang jumlah ayat bahkan menyebutkan jumlah huruf dan jumlah kalimat. Hal ini menunjukan bahwa beliau itu sangat teliti.
  7. Terdapat juga penjelsan tentag asbabun nuzul, ragam qiraat, dan penjelsan tentang nahwu dan sharaf. [11]
      C. Corak Tafsir Marah Labid
Alasan yang mendasari percetakan dan penulisan Marah labid ini, sumber referensi menyebutkan ada dua kemungkinan yaitu;
Pertama, Syekh Nawawi   dikenal sebagai pemimpin Koloni Jawa di Mekkah yang memperoleh penghormatan paling besar. Sehingga masyarakat jawa pada waktu itu memintanya untuk memberikan ilmu pengetahuannya mengenai al-Quran.
Kedua, literatur tafsir di Indonesia yang lengkap sebanyak 30 juz sampai abad 18-an hanyalah Tafsir Tarjuman al-Mustafîdh karya ‘Abd Ra’uf Singkili dan itupun ditulis dalam bahasa Melayu sehingga tidak menutup kemungkinan mereka tidak puas dengan merujuk kepada satu kitab.
Praktisnya, permintaan ini tidak langsung ditanggapi oleh Imam Nawawi. Akan tetapi, Imam Nawawi justru seakan-akan takut untuk melangkah. Berdasarkan referensi bahwa ketakutan ini merupakan refleksi dari sifat ihtiath (hati-hati) yang dimilkinya. Lebih lanjutnya  Nawawi mengungkapkan bahwa ketakutan tersebut lebih karena adanya pagar ketat yang tersurat dalam hadist Rasul Muhammad SAW yang berbunyi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأ
Rasul SAW bersabda:”Barang siapa menafsirkan (berkomentar) al-Quran dengan mengedepankan pemikirannya, meskipun penafsirannya benar, maka ia telah bersalah”.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
Rasul SAW bersabda:”Barang siapa menafsirkan al-Quran dengan berdasarkan pada pemikirannya, maka hendaknya ia menyiapkan tempat duduk di dalam neraka”.
Setelah sekian lama waktu berjalan, permintaan rekan-rekannya untuk tetap menulis tafsir akhirnya terwujud akhirnya Imam Nawawi memutuskan untuk menulis tafsir.. Dalam tafsir Marah labid ini Imam Nawawi menampakan konsisitensi kehati-hatiannya. Buktinya adalah dalam penulisan tafsir tersebut Nawawi tidak mengedepankan  ide-idenya saja, namun ia mengikuti  dan mengutip kitab-kitab tafsir yang mu’tabarah (sudah diakui) yang telah ditulis ulama sebelumnya. Adapun salah satu karya yang dijadikan rujukan adalah  Mafatih al-Ghaib karya Imam Fakhr al-Din al-Razi.
Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa arab yang berarti warna. Jadi corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran. Tafsir merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seorang mufasir  ketika ia menjelaskan ujaran-ujaran al-Quran sesuai dengan kemampuannya yang sekalipun mneggambarkan minat dan horizon pengetahuan sang mufasir. Minat ini muncul pada abad pertengahan.
Keanekaragaman corak penafsiran sejalan dengan keanekaragaman disiplin ilmu yang berkembang pada saat itu. Di sisi lain ilmu yang berkembang pada Abad pertengahan ini yang bersentuhan langsung dengan keislaman adalah ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa dan sastra, serta filsafat. [12]
Berdasarkan referensi dalam buku yang berjudul Metodologi Ilmu Tafsir disebutkan ada tujuh jenis corak, yaitu;
  1. Corak Hukum,
Atau yang disebut juga dengan tafsir Fiqhy. Tafsir ini lebih berkonsentrasi pada ayat-ayat hukum dalam al-quran. Tafsir ayat al-Ahkam ini berusia sudah sangat tua karena kelahirannya bersamaan dengan kelahiran tafsir al-quran itu sendiri.
2.      Corak Falsafi
Penafsiran al-Quran berdasarkan logika atau berdasarkan pemikiran filsafat yang rasional dan radikal.
3.      Corak Ilmiah
Penafsiran al-Quran yang menggunakan pendekatan istilah-istilah ilmiah dalam rangka mengungkapkan al-Quran. Dalam tafsir ini al-Quran tidak hanya bersifat ilmu keagamaan yang bersifat keyakinan akan tetapi juga meliputi semua ilmu keduniaan.  Ulama yang menafsirkan dengan corak ini adalah al-Ghazali
Terdapat komentar salah satu ulama yang menyatakan bahwa seandainya kita ingin menafsirkan al-quran dengan bercorak ilmiah itu boleh dilakukan akan tetapi kita juga harus melihat aspek syar’inya, bahwa al-quran diturunkan untuk petunjuk bagi umat manusia.
4.      Corak Pendidikan
Lebih berorientasi pada ayat-ayat tentang pendidikan. Kitab dengan corak ini lebih sedikit dibanding dengan yang lainnya. Seperti Namadzij Tarbawiyyah min al-Quran al-Karim (karya Ahmad Zaki Tafafah, 1980 M). Ahmad izzan mengatakan bahwa sebenarnya kitab ini bukan bercorak tarbawi, kitab ini lebih kepada penggalian metode al-quran.
5.      Corak akhlak
Lebih berorientasi pada ayat-ayat tentang ahlak dan menggunakan pendekatan ilmu ahlak.
6.      Corak teologis
Tafsir yang bertujuan untuk membela sudut pandang sebuah aliran teologis. Tafsir semacam ini lebih banyak membicarakan tema-tema teologis dari pada mengedepankan pesan-pesan pokok al-Quran. Terkadang mereka menggunakan ayat untuk membenarkan atas paham-paham teologis. Katagorisasi ayat yang dipakai al-Quran sendiri, seperti Muhkam dan Mutasyabih merupkan sumber toeritis tentang perbedaan penafsiran yang dibangun atas keyakinan-keyakinan teologis.
7.      Corak Sufi
Tafsir sufi terbagi dua, ada tafsir sufi isyari (penakwilan ayat al-Quran yang berbeda dengan makna lahirnya yang kemudian disesuaikan dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh) dan tafsir sufi nadhary (tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan salah satu teori mistik dengan menggeser tujuan al-quran kepada tujuan dan target mistis mufassir.
Mengenai corak yang digunakan oleh Imam Nawawi adalah menurut referensi bahwa tafsir ini dikategorikan dalam corak riwayah/ mat’sur. Karena tafsir ini belum memenuhi persyaratan untuk dikaitkan menempuh corak bi rayi. Pernyataan ini dapat disimpulkan karena dalam permulaan pernyataan di dalam tafsirnya pada bab pembukaan, Imam Nawawi mengatakan bahwa ia takut menafsirkan al-Quran dengan tafsir pemikiran murninya (bil rayi) saja. Hal ini terbukti dalam praktisnya bahwa Imam Nawawi banyak mengutip hadis-hadis rasulullah saw, pendapat sahabat, tabiin, atau para tokoh yang dianggapnya mutabar dalam menjelaskan ayat tertentu. Hal ini diperkuat dengan disebutkannya nama beberapa sahabat dan tabi’in  seperti Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, al-Dahak, dan Qatadah dalam menafsirkan ayat tertentu.[13]
Dalam keterangan mengenai ini ada pendapat yang menyatakan bahwa tulisan syeikh Nawawi yang terkenal adalah tafsir al-Munir yang ditulisnya selama tiga tahun (1302-1305H/ 1887-1890) dengan judul asli Murah Labid li Kasyfi Ma’na al-quran al-majid. Kitab tafsir ini termasuk tafsir yang ilmiah dan rasional diantara sebagian kitab tafsir sebelumnya. Kitab ini dipergunakan sebagai rujukan di Universitas al-Azhar, sehingga namanya terkenal di sana. Jadi dapat disimpulkan bahwa tafsir ini bercorak rasional.[14]
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang ada mengenai berbagai macam corak ini dan didapati juga dalam beberapa referensi bahwa Marah Labid ini menggunakan corak bil Rayi yang lebih khusunya bernuansa sufi (corak sufi). Kendati demikian terdapat juga dalam referensi yang lain yang menyatakan bahwasanya Marah Labid ini bercorak bil Riwayah, dengan bukti bahwa dalam pembukaan kitab Marah labid itu Imam Nawawi menyebutkan beberapa kitab-kitab yang jadi rujukan beliau diantaranya  Futuhat ilahiyah, mafatihul Ghaib, Sirojil Munir dan tanwir al-Muqabbas dan tafsir Abu Su’ud.
Karena dalam pra-makalah ini kami tidak mengkaji kitabnya secara keseluruhan dan karena penentuan jenis corak itu bersifat subyektif  maka kami menraik dua kesimpulan di atas mengenai corak Kitab Marah Labid ini. adapun seandainya ada pengetahuan yang baru yang bisa dipertanggungjawabkan mengenai jenis corak ini maka kami akan dengan senang hati akan mendiskusikan kembali.
Mengingat bahwa tafsir marah labid ini ditulis dalam bahasa Arab yang tidak lain berarti menggunakan bahasa asing. Penggunaan bahasa asing di sini memberikan nilai positif dan negatifnya. Nilai positif dan negatifnya yaitu bahwa Literatur-literatur tafsir al-Quran yang muncul dari tangan para muslim nusantara, dengan keragaman bahasa dan aksara yang digunakan, mencerminkan adanya “hirarki”, baik “hirarki tafsir” itu sendiri di tengah-tengah karya-karya tafsir lain, maupun “hirarki pembaca” yang menjadi sasarannya. Misalnya penggunaan bahasa Arab, seperti yang ditemuh oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid, dari segi sasaran –dengan memperimbangkan bahasa Arab- tafsir ini lebih mudah diakses oleh para peminat kajian al-Quran international, namun pada posisi yang lain, yakni dalam konteks Indonesia sendri karya tafsir ini tentu lebih bersifat elistis. Sebab, seperti kita tahu bahwa tidak semua muslim Indonesia mahir berbahasa Arab.
Demikian juga litaratur yang ditulis dengan bahasa daerah-jawa atau sunda misalnya- dan menggunakan huruf arab pegon, pada satu sisi akan memudahkan bagi komunitas muslim yang kebetulan satu daerah dan menguasai bahasa lokal tersebut. Namun apabila pada cakupan keindonesian, model ini pun juga pada akhirnya tidak bisa menghindar dari elistisnya, sebab seakan-akan karya ini ditulis khusus untuk daerah pemakai bahasa tersebut. [15]
Sebenarnya ini bukan menjadi pokok pembahasan makalah ini akan tetapi karena melihat dari Kitab Tafsir Marah Labid ini berbahasa Arab sehingga kita bisa mengetahui kebijakan disaat kita akan menghasilkan karya tertentu.
3.  Perkembangan tafsir marah Labid di Nusantara
       a.  Nawawi sebagai Ba­pak Gerakan Intelektual Islam di Nusan­tara
Kemunculan Tafsir al-Munir menandakan adanya perkembangan penulisan tafsir di Indonesia sampai abad ke-19. Terdapat tiga nama yang diberikan Syeikh Nawawi pada tafsirnya cetakan Beirut yang diterbitkan tahun 1981, yaitu Marah Labid, Tafsir al Nawawi dan al Tafsir al Munir li Ma’alim al Tanzil. Tafsir al-Munir pertama kali ditulis oleh Syeikh Nawawi pada tahun 1860-an dan selesai pada hari Selasa malam Rabu 5 Rabiul Awal 1305 H (1884 M), yang berarti proses penggarapannya berlangsung selama 15 tahunan. Sesuai dengan kebiasaannya dalam menulis, Syeikh Nawawi menyodorkan karya tafsirnya itu kepada ulama-ulama Mekkah untuk diteliti terlebih dahulu sebelum dicetak. Percetakan ulang yang dilakukan di Halabi (Kairo) terdiri dari dua jilid dengan kira-kira 500 halaman tiap jilidnya. Jilid yang pertama dimulai dari surat al-Fâtihah sampai dengan asal surat al-Kahfi, sedangkan jilid dua dimulai dari lanjutan surat al-Kahfi sampai dengan surat an-Nas.
Syaikh Nawawi Al-Bantani merupakan salah satu ulama dan cendekiawan muslim yang memiliki  penga­ruh besar di kalangan masyarakat Nu­san­tara dan bahkan sampai sekarang melalui generasi, pengikut dan tulisannya. Syaikh Nawawi Al-Bantani adalah penulis yang sangat produktif dan ulama yang memiliki pengetahuan multidi­men­si. Menurut catatan beberapa muridnya dan generasi murid selanjutnya, tidak kurang dari 115 karya yang ditulisnya dalam berbagai cabang ilmu keislaman. Melalui kitab-kitabnya, ia merefleksikan pandangan dan fatwanya. Dan kitab-kitab itu menempatkan posisi teratas kitab-kitab paling berpengaruh dalam kurikulum pesantren-pesantren di Nu­santara maupun majelis-majelis keilmu­an Islam lainnya hingga kini.
Seorang orientalis Dr. C. Snouck Hurgronje memujinya sebagai orang Indonesia yang paling alim dan mengamalkan kealimannya. Maka pan­taslah, para ulama dan cendekiawan mus­lim menempatkannya sebagai ba­pak gerakan intelektual Islam di Nusan­tara. Selain itu, beliau juga  dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Dan ini terbukti dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT.
Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin.
      b.   Perkembangan Marah Labid
Karena faktor referensi yang sulit kami tenukan dalam pembahasan ini, maka kami hanya membahas sekilas dan tidak begitu mendetail mengenai ini. kitab Al-Munir (Tafsir Marah Labid) dimana kitab ini menjadi salah satu rujukan masyarakat. Tafsir ini tergolong masyhur. Bahkan pada masa kemunculannya tafsir ini dikenal juga oleh ulama di negeri arab sendiri. Di Indonesia terutama di pesantren, tafsir ini tidak kalah masyhurnya dengan tafsir Jalalain. Metodologinya tahlili. Uraiannya sederhana. Tapi lebih panjang dan lebih banyak dibandingkan dengan tafsir Jalalain. Jika tafsir “Jalalain” hanya menjelaskan kata kata muradif, maka pada tafsir “Marah Labid” Syekh Nawawi akan menjelaskan maksud ayat tersebut secara sederhana. Tidak banyak mendiskusikan persoalan. Bahkan jika mengetengahkan pendapat beliau tidak menyebutkan dalil setiap pendapat. Pengarang cenderung untuk tidak menarjihkan diantara pendapat tersebut. Uraian bahasa, cukup mendominasi. Unsur balaghah juga banyak, begitu juga ilmu nahwu, shorof, Qira’at, Rasm Usmani, dan lain sebagainya. Beliau sengaja menyederhanakan tafsirnya, agar pembaca langsung memahami inti persoalan. Tanpa harus dibawa ke metode ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dalam hal periwayatan, tafsir ini banyak menukil hadis, perkataan sahabat dan tabi’in tanpa sanad. Dilihat dari sudut ini tafsir ini kombinasi dari tafsir riwayah dan dirayah.
BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
1.      Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi itulah namanya. Beliau adalah salah satu ulama besar dari Nusantara yang banyak berjasa dalam perkembangan ajaran islam melewati aktivitas dakwah dan pemikiran-pemikirannya yang mendunia. Beliau lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara tepatnya pada tahun 1230 H atau 1814 M. Desa Tanara terletak kira-kira 30 km di sebelah utara kota Serang
2.      Salah satu karya Syekh Nawawi adalah “al-Munir li Ma’alim at-Tanzil” atau dalam judul lain “Marah Labid Likasyfi Ma’na Qur’an Majid”. Tafsirnya yang berhalaman 985 atau 987 beserta daftar isinya. Tafsir al-Munir terdiri dari 2 jilid, jilid pertama berjumlah 510 atau 511 halaman beserta daftar isinya dan jilid kedua berjumlah 475 atau 476 halaman beserta daftar isinya dan diselesaikan pada rabiul akhir 1305 H. Di lihat dari cover yang diterbitkan oleh penerbit dari Surabaya-Indonesia, tafsir ini memiliki dua nama, pertama al-munir dan kedua al-tafsir Marah Labid. Al-tafsir Munir diperkirakan diberikan oleh pihak penerbit. Sedangkan al-tafsir Marah Labid berasal dari Syekh Nawawi langsung.
3.      Kemunculan Tafsir al-Munir menandakan adanya perkembangan penulisan tafsir di Indonesia sampai abad ke-19. Terdapat tiga nama yang diberikan Syeikh Nawawi pada tafsirnya cetakan Beirut yang diterbitkan tahun 1981, yaitu Marah Labid, Tafsir al Nawawi dan al Tafsir al Munir li Ma’alim al Tanzil. Tafsir al-Munir pertama kali ditulis oleh Syeikh Nawawi pada tahun 1860-an dan selesai pada hari Selasa malam Rabu 5 Rabiul Awal 1305 H (1884 M), yang berarti proses penggarapannya berlangsung selama 15 tahunan. Sesuai dengan kebiasaannya dalam menulis, Syeikh Nawawi menyodorkan karya tafsirnya itu kepada ulama-ulama Mekkah untuk diteliti terlebih dahulu sebelum dicetak. Percetakan ulang yang dilakukan di Halabi (Kairo) terdiri dari dua jilid dengan kira-kira 500 halaman tiap jilidnya. Jilid yang pertama dimulai dari surat al-Fâtihah sampai dengan asal surat al-Kahfi, sedangkan jilid dua dimulai dari lanjutan surat al-Kahfi sampai dengan surat an-Nas.

B.       SARAN
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para akademisi dan juga pembaca yang lainnya. Namun pemakalah juga menyadari akan adanya kekurangan pada makalah ini, maka pemakalah mengharapkan kritikan dan sarannya untuk menyempurnakan makalah ini.















DAFTAR PUSTAKA
Amin Abdullah, Khazanah Tafsir Indonesia. Penerbit Teraju: 2003
Badruzzaman, Dimyati, MA dalam “Studi Kritis Kisah kisah Israiliyat dalam Tafsir Munir Karya Syekh Nawawi”, Tesis MA di IIQ, Jakarta, 2001).
Bibit Suprapto, Ensiklopedia Ulama-Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia, hal    652
Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Bantani Indonesia, (Jakarta: CV. Sarana Utama, 1979).
Htttp//www//Wikipedia. Website, Motif Tulisan Nawawi
Kementrian Agama RI. Al-Qur’an & Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi. 2010.
Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz; Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani. Yogyakarta : Pustaka Pesantren, LKiS Cet : I, Februari 2009
Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama’ Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani.
Syekh Nawawi. Marah Labid Tafsir Munir. Surabaya: Darul Ilmi .tt.
Yuyun Rodiana, “Syaikh Nawawi al-Bantani: Riwayat hidup dan sumbangannya terhadap islam”, 1990, skripsi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta,






[1] Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama’ Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, hlm. 9.
[2] Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Bantani Indonesia, (Jakarta: CV. Sarana Utama, 1979). Hlm. 5.
[3] Yuyun Rodiana, “Syaikh Nawawi al-Bantani: Riwayat hidup dan sumbangannya terhadap islam”, 1990, skripsi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 12
[4] H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama’ Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan sejarah perjuangan 157 Ulama’ Nusantara, hlm. 653.
[5] Ibid, hlm. 653
[6] Ibid, hlm. 654
[7] Ibid. Hlm. 654
[8] Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama’ Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, hlm. 15
[9]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hal. 68-74.
[10] Imam Nawawi, Marah Labid Tafsir Munir, (Surabay:a]Darul Ilmi ,tt), hal. 3
[11] Imam Nawawi, Marah Labid Tafsir Munir, (Surabay:a]Darul Ilmi ,tt)
[12] Meteodologi Ilmu Tafsir, Ahmad Izzan; Tafakur 2011, Bandung, hal 199
[13] Wikipedia. Website, Motif Tulisan Nawawi,
[14] Bibit Suprapto, Ensiklopedia Ulama-Ulama Nusantara. Jakarta; Gelegar Media Indonesia, hal 652
[15] Amin Abdullah, Khazanah Tafsir Indonesia, 2003; Penerbit Teraju